Beberapa kali, Wayan Jengki Sunarta alias Jengki mengajak saya bertemu Umbu Landu Paranggi. Tapi saya selalu menghindar dengan sekian alasan. Jangan berpikir bahwa saya orang hebat, ketika banyak sastrawan ingin bertemu beliau, saya justru menghindar. Ini soal nama.
Dulu waktu zaman mbejujak, saya kerap jalan malam di Bali, menikmati apa yang biasa dinikmati anak muda. Suatu saat kami singgah di sebuah kafe lalu ngobrol sambil minum bir dingin. Lazim kemudian ada waitress yang menemani kami, sekadar menuangkan bir. Lazim pula ia mengenalkan diri dan mengajak berkenalan. Karena waktu itu Jengki sedang asyik ngobrol soal Umbu, sewaktu diajak berkenalan dengan Mbak Waitress tersebut saya menyebut nama saya: Umbu.
Jengki pucat. Ia syok mendengar nama mahaguru para penyair Indonesia itu saya pakai untuk mengenalkan diri saya. Jangankan dia, saya sendiri juga kaget. Seperti spontan saja. Sialnya hal seperti itu berkali-kali terjadi karena rasanya enak sekali menyebut nama beliau. Sampai sekarang saya merasa tidak enak bertemu dengan Umbu Sang Mahaguru gara-gara hal itu.
Saya memang sering berkenalan dengan orang asing tanpa menyebut nama asli saya sendiri. Entah kenapa. Suatu saat di atas kapal menuju Pontianak, saya dan Kang Sigit Susanto asyik bercengkerama dengan para sopir dan beberapa transmigran yang barusan menengok kampung halaman mereka di Jawa. Salah satunya ternyata pintar main catur. Kebetulan saya bawa kotak catur. Jadilah kami berdua bermain catur, dan Kang Sigit menonton sambil membaca buku. Akhirnya kami berkenalan. Saya langsung menyebut nama saya: Sigit. Tentu saja Kang Sigit bingung. Pas giliran dia memperkenalkan diri, dia sempat bingung milih nama. Walhasil sepanjang perjalanan, bapak penyuka catur itu berkali-kali menyebut “Mas Sigit”, yang spontan merespons Kang Sigit. Si Bapak tersebut sering bingung, Kang Sigit Kagok, saya biasa saja.
Tapi saya pernah kena batunya. Suatu saat, masih bersama Kang Sigit, kami berdua singgah di stasiun Gubeng, Surabaya. Dulu saya betah sekali berada di stasiun ini. Adem, banyak makanan enak, ada musik live-nya. Tidak seperti sekarang yang pengunjung dibatasi masuk stasiun satu jam sebelum kereta berangkat. Dulu, jam berapapun kita bisa masuk stasiun ini.
Kang Sigit janjian sama beberapa orang. Saya sarankan tidak usah keluar dari stasiun. Cukup di dalam stasiun. Saat itu Surabaya belum seadem dan banyak taman seperti sekarang.
Maka mulailah berdatangan teman-teman Kang Sigit yang rata-rata berkecimpung dalam dunia penulisan. Ada yang penyair, novelis, cerpenis dll. Sekalipun profesi saya waktu itu sebagai penulis, saya tidak kenal mereka. Saya memang agak kuper. Sewaktu mereka mengajak kenalan saya, yang terlintas di kepala saya nama sahabat saya Andy. Jadi ya saya sebut saja Andy.
Mereka asyik ngobrol. Mau tidak mau saya terjebak di meja riuh tersebut. Celakanya, salah seorang di meja itu kemudian menyebut nama “Puthut EA”. Matek, saya. Saya lirik Kang Sigit, ia pucat. Apalagi saya. Sekalipun obrolan tersebut positif, saya tidak jenak. Terlebih ketika saya mendengar ada kenalan Kang Sigit yang saya kuga kenal sedang menuju ke stasiun. Akhirnya saya meminta ijin mau ke toilet, kemudian melarikan diri keluar dari stasiun.
Nah, sialnya, orang yang menyebut nama “Puthut EA” itu Mbak Lan Fang. Sekarang sudah almarhumah. Dan saya belum sempat meminta maaf kepada beliau tentang kejadian itu. Alfatihah…
Di zaman mbejujak itu, saya dikenal oleh teman-teman dekat saya, sering ngawur kalau memperkenalkan diri ke orang asing. Siapa saja yang terlintas di kepala saya, bahkan nama teman yang ada di samping saya, bisa saya sebut sebagai nama saya. Orangnya biasa bingung terus plonga-plongo… Biasa, tidak siap menghadapi serangan kilat.
Bukan hanya nama. Asal kota pun saya permainkan. Kalau di rantau ketemu orang-orang Lamongan, Madura dan Jawa Timur lain, saya bilang berasal dari Tuban. Kalau ketemu orang Tegal, Brebes, Kendal, dan sekitarnya, saya bilang orang Rembang. Kalau ketemu orang Jakarta, Solo, Yogya, Jawa Barat dan luar Jawa, saya menyebut dari Yogya. Saya merasa tidak salah. Asal saya dari kota kecamatan yang terletak di perbatasan Rembang dengan Tuban. Dan saya sudah 15 tahun lebih tinggal di Yogya.
Asal tahu saja, di perantauan, menyebut asal kota yang “tepat” dalam konteks tertentu adalah kunci. Kalau tidak percaya, praktekkan saja…