Saya sudah terlalu banyak bertemu dengan pendukung Jokowi yang kecewa. Bahkan saking seringnya, jadi terbiasa. Tapi hari-hari kemarin, saya bertemu dengan beberapa pendukung Prabowo yang kecewa. Ini baru menarik.
Para pendukung Prabowo yang kecewa ternyata punya kesamaan pandangan bahwa Prabowo tidak “segarang” yang mereka duga. Mestinya di saat seperti ini, Prabowo sekalipun tidak memimpin secara formal Pemerintahan, dia bisa memimpin secara informal. Konsolidasi politik yang berlarut-larut di pemegang kuasa rezim Jokowi, ditambah dengan beberapa kebijakan yang tidak solutif terhadap persoalan ekonomi, adalah jalan lapang bagi Prabowo dan kubunya untuk mengambil inisiatif dan merebut ruang kepemimpinan nasional.
Tapi ternyata hal itu tidak dilakukan oleh Prabowo. “Ternyata dia tidak setegas dan seberani yang saya bayangkan…” ucap salah satu pendukungnya.
Bagi saya, ini menyisakan sebuah pertanyaan besar. Jangan-jangan elit politik di Indonesia, tidak peduli apakah itu kubu Jokowi atau kubu Prabowo, sudah punya kesatuan pandang dan sikap yang sama tentang bagaimana persoalan ke depan akan direspons. Sebuah kesatuan pandang entitas elit politik yang melihat ada kemungkinan bagi mereka untuk menangguk keuntungan dari mata badai persoalan yang kelak membesar. Ketika krisis ekonomi, sebutlah begitu, menguntungkan mereka semua.
Bagaimana itu mungkin? Sangat mungkin. Sebab elit politik di Indonesia adalah para “pengusaha” atau terintegrasi dengan sistem pembiayaan para pengusaha. Memang apa yang bisa jadi jaminan jika para politikus menyebut: kepentingan bangsa, kepentingan nasional, kepentingan rakyat dll, adalah benar-benar panggilan politik mereka?
Siapa yang menjamin mereka tidak tergiur dan tergoda untuk berkolaborasi berbagi keuntungan ketika situasi krisis? Negara lemah ketika Pemerintah dan Oposisi sama-sama tidak mengerjakan tugas politik mereka. Negara makin lemah ketika kedua belah kubu berbagi brankas.
Saya kira, fenomena politik mutakhir Indonesia sudah tidak lagi harus membedakan mana kubu Jokowi dan mana kubu Prabowo. Garis batas mereka bukan hanya sudah kabur tapi juga lenyap. Maka yang terjadi adalah garis-garis politik yang sengkarut.
Tentu dalam situasi seperti ini kompetisi dan saling bantai antar-elit bisa terus terjadi. Tapi kita akan keliru melihat persoalan kalau masih memakai peta lawas dikotomi kedua kubu tersebut.
Kita mungkin keliru berharap mata badai krisis ekonomi cepat dihalau oleh Pemerintah dan elit politik. Mereka justru menunggunya. Karena dalam krisis semacam itu, ada banyak hal yang bisa diperdagangkan. Indonesia, lagi-lagi adalah sebuah negeri di mana para elit politiknya sama-sama senang. Sambil sesekali tampak bertengkar.
Supaya rakyat berpikir bahwa mereka, para elit politik itu, sedang serius bekerja.