Kalau ada salah satu ruang yang lazim ada di sebuah rumah, dan bagi saya ganjil, itu adalah ruang makan.
Siang ini, untuk pertama kalinya di rumah mungil saya ada meja makan. Benar-benar meja makan. Lengkap dengan 4 kursinya. Dan ketika saya mencoba makan di sana, saya merasa ada yang aneh di hidup saya. Lebih tepatnya perasaan geli.
Saya akan menarik mundur ke masa lalu saya. Di keluarga saya, mungkin seperangkat meja makan diletakkan oleh ibu dan bapak saya persis di sebelah dapur ketika saya menginjak bangku kalau tidak kelas 5 ya kelas 6 SD. Semenjak itu, saya punya tertib baru: makan di meja makan. Hal yang tidak saya sukai.
Kalau makan malam, mau tidak mau saya harus melakukannya. Karena Ibu dan Bapak ada di rumah. Tapi kalau siang hari karena mereka masih mengajar, saya makan di mana saja. Di teras, ruang tamu, kebun belakang rumah, dll. Suka-suka saya. Dan saya merasakan kemerdekaan yang berbeda. Asyik.
Ketika saya tinggal di Yogya, ruang makan termasuk meja makan, nyaris tak pernah punya prioritas di hidup saya. Anak kos ya makan di mana saja. Makan di dalam kamar sambil mendengarkan Geronimo atau menonton teve ya biasa.
Saat saya bisa mengontrak rumah sendiri, satu-satunya ruang yang tidak pernah saya bikin adalah ruang makan. Saya makan kalau tidak di kamar kerja ya di ruang biasa saya menerima kunjungan dari para sahabat. Kalau tidak ya di gazebo. Bahkan kadang juga saya lakukan di dalam kamar tidur. Menurut saya, ini menurut saya lho ya, kamar tidur itu kamar yang dipakai untuk tidur. Kalau tidak sedanh dipakai untuk tidur, ya bisa dipakai apa saja. Ruang membaca buku, ruang menonton teve, ruang main medsos, dll. Termasuk ruang untuk makan.
Tidak heran, ketika saya membeli rumah mungil, karena saking mungilnya, ada ruang yang mesti saya korbankan untuk tidak ada, dan tentu saja ruang makan. (Kata ‘mungil’ ini eufemisme saja, karena lebih tepatnya ya kecil, cuma kok kesannya tidak bersyukur, jadi izinkan saya memperhalusnya).
Di rumah mungil saya ada meja biasa untuk meletakkan lauk-pauk dan nasi, untuk lebih mudahnya kami, para penghuni rumah, menyebutnya: meja makan. Letaknya jadi satu dengan dapur.
Kalau pas kami bertiga makam, meja itu tidak cukup menampung kami bertiga. Jadi akhirnya Ibu Kali yang memilih mengalah agak menyingkir. Memberi kesempatan kepada saya dan Kali makan.
Kalau mereka tidak sedang di rumah, atau saya telat makan, ya saya makan di mana saja. Kecuali di kamar tidur. Ibu Kali bisa marah. Tapi kalau dia tidak sedang di rumah, saya kadang makan juga di kamar tidur.
Karena mungil pula, saya tidak punya ruang kerja dan ruang menerima tamu. Pendek cerita, akhirnya kami mendirikan rumah kayu di belakang rumah untuk sekian fungsi: ruang makan, tempat kerja, dan mungkin tempat kami menerima tamu.
Beberapa hari lalu, kami berbelanja meja makan. Begitu mau berangkat, saya sudah tertawa sendiri. Ruang makan? Apa-apaan ini? Tapi ya sudahlah. Ketika Ibu Kali mulai masuk Informa, saya deg-degan. Bukan karena keganjilan meja makan. Ayolah adik-adik, kelak kamu akan tahu, betapa kalau istrimu masuk Informa dan sejenisnya, seorang suami yang uangnya tak seberapa banyak akan deg-degan. Beruntunglah, Ibu Kali tahu, revolusi sebentar lagi terjadi, eh maksud saya, memilih meja makan yang pas di rekening suaminya. Sudah. Beres.
Kemarin sore, seperangkat meja makan sudah berdiri di bangunan kayu di belakang rumah. Ibu Kali kelihatan suka sekali. Kebetulan ibu dan bapak saya sedang berkunjung ke Yogya karena Ibu mesti mengontrol alat pacu jantungnya di Sardjito.
Mereka makan malam di rumah. Di meja makan. Saya terlambat pulang ke rumah karena mesti bertemu Iqbal Daryono, untuk mendengar kisah suksesnya laris manis jadi pengajar menulis dengan honorarium yang berlipat dibanding tahun sebelumnya. Sebagai seorang sahabat tentu saja saya ikut bersyukur.
Siang ini barusan, seporsi lotek tersaji di atas meja makan. Benar-benar meja makan. Di sebuah bangunan yang kira-kira pantas disebut ruang makan. Istri saya meminta agar saya makan di sana.
Saya merasakan getaran ganjil di diri saya. Lutut sebelah kiri pun mesti didorong masuk oleh Ibu Kali ke celah antarkaki meja. Saya mencoba makan pelan. Tidak berkecipak. Menikmati makanan dengan nikmat sekalipun hanya seporsi lotek.
Dan ketika selesai, saya cepat-cepat pergi dari sana. Uripku rasane kaya doboool… wkwkwk.
Urip itu yang enak ya makan metingkrang, mulut berkecipak (yang kata orang Jawa gak sopan, haeeesss ra masyuuuuk!), sambil bergurau sama teman, bersendawa tanpa harus direm dan diredam, nguyup kuah langsung dari piring. Selesai. Gelegeken lagi. Minum teh nasgitel. Terus udud.
Dan sebagaimana pelajaran hidup lain, saya jadi tahu tidak pentingnya meja makan justru setelah saya punya.