Ketika terpilih sebagai kepala desa, Pak Kamdani mengajak beberapa sesepuh, pamong desa, dan tokoh pemuda untuk membicarakan persoalan desa mereka. Ada terlalu banyak hal yang mesti diselesaikan: sampah yang menyumbat hampir sebagian aliran sungai; jalan desa yang rusak parah; percekcokan antarwarga yang sering terjadi; pembangunan masjid yang terbengkalai, dan masih banyak hal lain.
Tidak mudah membedah dan menjernihkan persoalan di hadapan para tokoh. Ada yang awalnya pesimistis, ada yang menaruh curiga berlebihan, ada yang tidak siap dengan risikonya. Tapi dengan kesabaran beberapa orang bijak, forum itu berhasil menyatukan pendapat. Ada saatnya semua harus ditata ulang, diperbaiki, dan mengambil hikmah dari semua masalah itu. Intinya: semua sepakat bahwa masalah yang ada bukan terjadi ‘di luar sana’ melainkan ‘di sini’. Itu artinya, mereka menganggap bahwa apapun yang terjadi, semua berlarut-larut, sedikit atau banyak semua punya kontribusi atas terjadinya masalah di desa ini. Dan itu semua harus dihadapi bukan oleh para tokoh tapi juga semua warga desa.
Mereka berbagi tugas. Proses mengajak, penyadaran, keterlibatan warga dimulai. Hingga akhirnya semua orang penuh kesadaran berkumpul di balai desa.
Ketika forum hendak dimulai, seorang pendatang yang baik hati, datang terlebih dahulu dan menyampaikan uneg-unegnya kepada Pak Kamdani dan para sesepuh serta tokoh masyarakat yang terlebih dahulu berkumpul di balai desa. “Pak, saya mewakili beberapa warga mau menyampaikan uneg-uneg kami atas agenda ini.”
Pak Kamdani mempersilakan. “Silakan, Pak. Silakan bicara sebebas mungkin dan tidak perlu merasa sungkang.”
Pak Giyono, orang baru itu lalu menyatakan dengan tegas dan lantang. “Bagaimana Bapak bisa percaya kerja ini melibatkan orang-orang yang seenaknya membuang sampah, tidak taat aturan kampung, jadi biang kerok persoalan di kampung ini? Mereka yang melalukannya kenapa kami yang harus menanggungnya? Kalaupun toh kami menanggungnya, setidaknya jangan libatkan mereka. Kami tidak percaya itikad baik mereka.”
Pak Kamdani hanya diam. Dia memberi waktu agar uneg-uneg itu tuntas. “Sudah, Pak Giyono?”
“Sudah, Pak. Harap Bapak dan para sesepuh serta tokoh masyarakat di sini memikirkan itu semua. Supaya kebijakan Anda tidak melukai hati kami.”
“Pak Giyono, tolong jawab pertanyaan saya. Kalau sungai itu penuh sampah, jadi sarang penyakit, jika musim hujan datang mengakibatkan banjir, siapakah yang kena musibah itu? Apakah yang membuang sampah sembarangan atau semua warga desa?”
“Semua warga desa.”
“Kalau jalanan rusak, anak-anak kecil sering jatuh jika naik sepeda, ibu-ibu yang hamil punya potensi besar keguguran karena jalanan yang rusak itu, apakah anak-anak dan ibu-ibu itu yang salah?”
“Tidak. Yang salah ya yang sering membawa truk masuk ke jalanan kampung ini.”
“Tapi siapa korbannya?”
“Anak-anak dan ibu-ibu.”
“Baik.” Pak Kamdani lalu diam sejenak. Kemudian dia melanjutkan, “Kalau ada orang cekcok, dikit-dikit berantem, dikit-dikit mau bacok-bacokan, siapa korban utamanya menurut Sampeyan?”
Pak Giyono berpikir sejenak. “Anak-anak kecil. Mereka terteror. Mereka ketakutan. Mereka bahkan bisa mengikuti cara-cara kekerasan seperti itu.”
“Tepat.” ucap Pak Kamdani dengan tenang. “Sekarang saya mau bertanya, apakah orang yang membuang sampah sembarangan di sungai, membuat jalanan rusak dengan truk mereka, sering bikin onar, warga sini atau tidak?”
“Warga sini.”
“Apakah mereka bisa kita usir dari kampung sini karena kesalahan mereka?”
Pak Giyono lagi-lagi berpikir keras. Dia terdiam.
“Pak Giyono, justru mereka kita libatkan untuk bicara dan bekerja, bahu-membahu, supaya sedikit demi sedikit mereka punya kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan itu keliru. Kita tidak bisa mengusir mereka. Kalaupun toh bisa, di tempat lain, mereka bisa melakukan hal yang sama.”
Pak Giyono makin terdiam.
“Kalau urusan hidup ini sekadar mendepak orang-orang yang berbuat salah, tidak memberi kesempatan mereka untuk terlibat mengatasi masalah dan menyadari kekeliruan mereka, itu namanya mengajak hidup ini rusak-rusakan. Hidup bersama itu saling mengisi. Saling mengingatkan. Memberi kesempatan yang keliru untuk memperbaiki diri. Nabi-nabi dan orang-orang mulia diturunkan bukan untuk membunuh orang-orang jahat. Tapi mengajak mereka kembali ke jalan kebaikan. Tidak ada hidup menang-menangan.”
“Tapi mestinya mereka dihukum berat.”
“Saya ini kepala desa. Baru terpilih. Saya bukan hakim masyarakat yang bisa mengetuk vonis kesalahan orang. Lagipula, Pak Giyono…. Saya mau bertanya, apakah Sampeyan yakin orang-orang yang bersama Anda tidak punya kesalahan di masa lalu sehingga desa ini hancur-hancuran begini? Sampeyan sebut satu persatu nama-nama mereka, kami, akan paparkan 10 kesalahan terbesar mereka yang tidak Sampeyan ketahui. Bagaimana?”
Pak Giyono mulai menundukkan kepala. Dia ingin sekali menyebut nama-nama yang dipikirnya tak punya kesalahan di masa lalu atas desa ini. Tapi lidahnya mendadak kelu. Dia khawatir begitu disebut nama, maka akan meluncur daftar kesalahan orang yang disebut namanya.
“Bagaimana, Pak Giyono?”
Pak Giyono tetap diam.
“Desa ini harus diperbaiki sama-sama. Tidak peduli oleh orang yang pernah berbuat salah banyak atau sedikit. Atau bahkan oleh orang yang tidak punya kesalahan sama sekali. Walaupun orang seperti itu jelas tidak ada. Kecuali mungkin Sampeyan…”
Muka Pak Giyono agak memerah.
“Kami di sini sedang berpikir untuk memperbaiki apa yang salah dan telanjur rusak. Sedikit demi sedikit. Namanya juga ikhtiar. Semua itu tidak mudah. Karena memperbaiki selalu lebih susah dibanding merusak. Tapi pikiran seperti Sampeyan itu jangan dilanjutkan ya… Itu namanya mengajak rusak-rusakan.”
Pak Giyono mematung. Mungkin bingung. Mungkin juga tersentuh hati dan pikirannya. Tak ada yang tahu.