Sampai detik ini, saya tidak tahu apakah saya bisa menuntaskan kisah kecil ini. Saya memulai menulis dengan berdoa, hal yang jarang sekali saya lakukan. Catatan ini sekalipun nanti sangat singkat, adalah sesuatu yang tidak pernah sanggup saya tulis selama belasan tahun.
Saya punya seorang sahabat. Bahkan saya tidak sanggup menulis namanya di sini. Ia salahsatu sahabat terbaik saya. Kini ia sudah almarhum. Dan saking melankolisnya persahabatan kami, sampai sekarang saya tidak berani mendatangi kuburannya. Namun setiap kali saya mengingatnya, saya kirim Alfatihah. Di sana, entah di bagian mana, saya percaya ia sedang tertawa bersama Tuhan.
Kami dipertemukan oleh satu hobi: bermain judi. Ia gabungan antara sifat konyol, jenius, naif, dan kekanak-kanakan. Salah satu slogan kami dulu: kami tidak ingin dewasa.
Ia mengajari saya banyak hal. Dari hal yang paling konyol sampai soal adab. Suatu saat, kami harus mendatangi kondangan salah seorang teman yang menikah. Seumur-umur saya datang ke pernikahan orang setelah akil balig adalah pernikahan Bang Nezar Patria dan Mbak Titik. Terang saja saya datang karena yang satu senior saya di pergerakan dan yang satu dosen saya. Kala itu, saya mengenakan kaos oblong, celana jins dan sandal gunung. Bahkan saya tidak tahu kalau adab ke pernikahan itu harus menyalami mempelai. Kalau tidak diajak teman menyalami mempelai, pasti tidak saya lakukan. Demikian juga saat kami mau ke kondangan kali itu. Kalau tidak salah kami berangkat ber-enam. Lokasi kondangan di luar kota. Saya datang pertama kali ke rumah sahabat saya karena di sana tempat ngumpulnya. Begitu ia membuka pagar, dahinya mengernyit, sepasang matanya menyipit…
“Kowe meh kondangan to, Nyuk?”
“Lha ho’oh. Ning nek meh judi sik ya rapapa.” jawab saya rileks sambil duduk di teras rumahnya.
Ia tidak menjawab lalu masuk ke rumah kembali. Tak lama pembantunya keluar menyuguh kopi hitam. Saya klepas-klepus udud. Tidak lama kemudian sahabat saya keluar dengan muka seperti habis mandi. Ia melemparkan kemeja ke pangkuan saya.
“Apa je iki?”
“Rupamu, ya klambi, mosok monas?”
“Nggo apa?”
“Hei cah bagus tak kandhani, kowe ki meh kondangan neng omahe wong nikahan, ora arep samgong. Nek kondangan ki ya nganggo klambi, cah pekok…”
Saya diam. Ini pengetahuan baru buat saya. Lalu saya melihat ke arahnya. Kostumnya sungguh menjerit. Paduan antara kemeja dengan celana pendek olahraga.
“Lha gene kostummu ya malah remuk?”
“Aku kan nyetir. Mengko nek tekan nggone, aku ganti celana dawa.”
Tidak lama kemudian, satu per satu teman saya datang. Kami pun berangkat menuju lokasi pernikahan, di Temanggung. Sesampai di lokasi, acara sudah dimulai. Oleh panitia pernikahan, mobil tang kami tumpangi di parkir persis di dekat mempelai. Kami langsung keluar mobil kecuali sahabat saya. Terdengar dari dalam mobil suara, “Hei cah bajingan kabeh, aku aja mbok tinggal.”
Saya mendekati bagian setir, lantas bertanya: “Ngapa je?”
“Aku durung nganggo celana!”
“Ya dienggo wae to…”
“Lha piye carane?”
“Ora iso. Wis takcoba ket mau!”
Postur teman saya memang agak tinggi dengan ukuran kaki yang panjang. Sehingga sulit sekali ia memakai celana di dalam mobil. Akhirnya ia keluar dari mobil dengan masih memakai celana pendek dan mencangking celana panjang lalu meminta izin ke kamar mandi. Jadilah ia bahan tontonan di kondangan tersebut. Sepanjang perjalanan ia jadi bahan tertawaan seluruh mobil.
Sahabat saya ini tidak suka membaca buku. Suatu kali saya dijemput untuk pergi ke kampus bareng. Kampus kami berdekatan. Ia di Fakultas Ekonomi, saya di Fakultas Filsafat. Saya heran, karena di dasbor mobilnya ada buku ‘Sang Nabi’ karya Kahlil Gibran.
“Iku duweke sapa je?”
“Duweke Pak Maryoto Galgendu.”
“Aku ki takon serius.”
“Mulai kapan je kowe serius? Nek serius awake dhewe ra sah kekancan wae.”
“Woo cah bajingan…”
“Lha yo duwekku!”
“Kok tumben kowe nduwe buku?”
“Mosok ra entuk?”
“Wis mbok waca?”
“Piye to pertanyaanmu ki? Lha ya cetha durung. Aku ki penjudi je, kok malah kon maca buku. Hei cah goblok tak kandhani, buku ki gunane ora mung kanggo diwaca. Iso juga kanggo hiasan neng dasbor. Tur sisan ben mripatku ora blereng nek sinar mataharine terlalu panas. Paham ra kowe?”
Kalau sudah seperti itu saya hanya bisa tertawa ngekek.
Kadang kalau di dalam mobil berdua, tidak selamanya kami bicara. Terutama saya. Maklum, saya kan agak pemikir. Jadi kadang-kadang saya diam memikirkan sesuatu. Ia biasanya lantas menegur: “Awake dhewe nek sak mobil njuk meneng-menengan ki kaya wong pacaran, je. Kaya sing siji konangan selingkuh. Ngomong, Nyuk!”
Kalau sudah seperti itu kami ngobrol dan cekikikan. Ini salah satu penjelasan kenapa saya tidak masuk dalam kategori pemikir yang luarbiasa di jagat intelektual Indonesia, karena saat belajar merenung sering kali diinterupsi oleh almarhum sahabat saya.