Almarhum teman saya memang berasal dari keluarga yang kaya. Bahkan kakeknya dikenal sebagai salahsatu orang yang gemar menyumbang pembangunan masjid. Pernah saya bertanya ke almarhum kenapa bisa begitu? Ia menjawab ringan, “Mungkin eyangku pengen nduwe tanah kaplingan sing akeh neng suwarga.”
Kegemaran eyangnya itu juga dikenal luas oleh teman-teman sahabat saya, terutama saat KKN tiba. Seperti yang Anda ketahui, salah satu ciri khas, untuk tidak menyebut kebuntuan kreatif mahasiswa yang KKN, selain plangisasi, neonisasi dan melatih Pramuka, adalah ikut membangun masjid atau musala. Pada saat seperti itulah, sahabat saya ditemui banyak temannya di kampus sambil membawa proposal pembangunan masjid. Tentu saja proposal untuk eyangnya.
Dengan senang hati teman saya membantu teman-temannya. Dan ia tidak pernah mengutip atau mengkorupsi sumbangan eyangnya. Cuma kadang ‘dipinjam sebentar’. Apa maksudnya? Misalnya begini, eyangnya menyumbang pembangunan masjid sejumlah 3 juta. Kepada si pemberi proposal, teman saya bilang kalau uang sudah dititipkan ke dia, hanya ia minta waktu untuk meminjam sehari. Untuk apa? Terang saja untuk berjudi. Menang atau kalah, uang itu akan diberikan utuh.
Pernah suatu saat saya tanyakan kenapa harus begitu? Toh tidak ada bedanya, uang ya uang. Ia menjawab: beda, uang untuk menyumbang masjid itu uang yang diniatkan untuk kebaikan.
“Njur apa hubungane nek dienggo judi?” kejar saya.
“Lho piye to kowe ki? Ya awake dhewe judi karo duit barokah!”
“Barokah kok tetep akeh kalahe…”
“Sing penting kan berusaha!”
“Berusaha apa?”
“Ya berusaha judi!”
Mendengar jawaban seperti itu saya hanya bisa kukur-kukur gundul.
Ada dua judi kegemaran kami. Judi utama kami adalah judi mesin dan judi bola. Judi mesin itu kita bermain kartu melawan mesin. Sementara judi bola bukan judi taruhan sepakbola, melainkan judi dengan alat bola-bola ber-angka serta berwarna merah dan hitam. Bola-bola itu ditaruh di tabung transparan, lalu diputar dan akan memuntahkan satu bola. Warna dan angka bola itulah yang akan menentukan pemenang.
Tim inti judi kami adalah sahabat saya, saya, Bagor, Kunthet, Proton dan Babe. Sahabat saya dan babe adalah pendonor utama tim ini. Maklum mereka berdua memang anak orang kaya.
Biasanya begitu masuk ke tempat judi, kami pemanasan dengan main kartu melawan mesin. Setelah mulai panas, kami masuk ke ruang judi bola. Ada tiga tempat judi yang jadi langganan kami. Di ketiga tempat tersebut kami cukup tenar: masih muda, berani pasang, humoris dan cenderung tolol.
Suatu saat ketika kami asyik main judi mesin, sahabat saya ragu untuk memasang poin pada bukaan terakhir di permainannya. Ia menyetop kami semua. Lalu meminta kami ‘menggantung kursi’ yakni kursi disandarkan ke meja judi sebagai pertanda bahwa meja tersebut dipakai. Tentu kami bingung. Ke mana?
“Golek dukun!”
“Neng ngendi?”
“Prambanan!”
“Takon apa?”
“Ora sah padha crewet, ayo mangkat!”
Semua berangkat kecuali saya. Saya diminta memastikan agar kursi-kursi yang kami gantung aman. Kira-kira sejam kemudian, kawan-kawan saya datang dengan muka riang.
“Piye?”
“Wani.” begitu katanya, sambil memencet tombol pasang. Dua kartu terbuka. Semua diam. Kalah. Teman saya cuma ndomblong sambil berujar, “Dukun asu!”
Keesokan sorenya, saat kami mau main judi lagi, mobil bergerak ke Prambanan.
“Meh neng ngendi iki?” tanya Bagor.
“Neng dukun-e wingi…”
“Mbok uwis ra sah emosi. Wong wis kadung. Ora usah gegeran…”
“Sing meh gegeran ki sapa?”
“Lha njuk ngapa?”
“Takon meja judi sing hoki dina iki nomer pira.”
Kami semua saling berpandangan. Singkat cerita Si Dukun memberi nomor 68. Bergegas kami ke tempat judi. Mata kami jelalatan, mencari nomor meja yang dimaksud. Sampai kami capek mencari gak ketemu juga. Ternyata setelah kami periksa dengan teliti, meja judi hanya ada 40 buah. Kami semua melihat mata sahabat kami…
Ia kelihatan putus asa dan berujar, “Dukun asu!”
Selain judi utama, kami juga melakukan judi sampingan yakni main samgong di kantin sastra. Kantin itu dikenal dengan nama Bonbin. Supaya tidak terlihat bahwa itu judi betulan, kami main dengan memakai hitungan kertas. Tidak ada uang di atas meja. Biasanya sampai jam 8 malam. Sampai kami harus memakai lilin. Karena terbiasa bermain judi mesin dengan nominal besar, judi samgong ini kami anggap sebagai judi senang-senang. Kalah senang, menang makin senang.
Kalau kami menang judi mesin dan judi bola, tentu saja suasana riang. Lalu masing-masing mengeluarkan teori. Biasanya sahabat saya langsung berujar dengan muka datar, “Nek menang mbagusi, nek kalah nggawe teori. Kalian ki penjudi apa doktor?”
Kalau kami kalah besar, kami punya cara untuk menghibur diri. Kami membeli ganja lalu mengisap sambil mendengarkan rekaman dagelan Basiyo di rumah salah satu kawan yang koleksi Basiyonya lengkap. Biasanya kami tertawa cekikikan sampai subuh, sampai perut sakit, sampai capek tertawa.
Sampai sahabat saya itu sambat, “Ya Allaaaah, aku kok ngguyu terus to ya Allaaaah… Padhahal aku kan bar kalah judi akeeeeh…”
Mendengar kalimat itu, perut kami makin sakit karena makin tertawa ngikik…