Sebelum melanjutkan kisah ini, ada baiknya jika saya beri perbandingan harga untuk mempermudah menempatkan kisah ini di situasi saat itu. Judi memakai uang. Dan nilai uang berbeda antara dulu dengan sekarang.
Sebagai perbandingan, ketika cerita ini terjadi, harga seporsi kepala tongkol warung padang Untuang di Terban adalah 3.000 rupiah. Harga seporsi pecel lele di tenda kaki lima: 1.500 rupiah. Harga rokok Gudang Garam Internasional dan Djarum Super kurang-lebih 2.000an rupiah.
Di rumah-rumah judi yang kami datangi, sama dengan rumah-rumah judi yang kami lihat di film-film Barat. Begitu datang kami menukar uang kami dengan koin. Ada 4 jenis koin: pecahan 5 ribuan, 10 ribuan, 20 ribuan dan 50 ribuan. Koin 5 ribuan jarang dipakai. Kecuali diberi kasir saat kami menang. Koin-koin tersebut kami pakai untuk berjudi.
Rumah judi andalan kami yang pertama kali ada di jalan Magelang. Di sana, kami punya sahabat baik. Nama lengkap dan aslinya tidak ingin kami ketahui. Kami memanggilnya dengan nama: Mas Mul. Karena mirip almarhum Mulyana W Kusuma yang saat itu sering nongol di teve. Ia tidak keberatan dipanggil Mas Mul. Orangnya baik sekali. Saking menghayati judi, ia sering tertidur tertelungkup di depan mesin judi.
Ia hampir bisa menebak semua bukaan kartu di mesin. Kami sampai takjub. Akhirnya kami tanya, “Nek ngerti ngono berarti njenengan menangan, Mas?”
“Ora. Aku kalahan.”
“Lho kok iso, Mas?”
“Lha bukaan kertu terakhir ki sing ngerti mung loro.”
“Sapa kuwi, Mas?”
“Gusti Allah karo sing nggawe mesin.”
Kami cekakakan. Pernah ia kami tanya, “Mas, njenengan wis pirang tahun main judi mesin?”
“Ya kira-kira pas kalian isih latihan ngocok.”
Kami tergelak. “Kira-kira wis entek duit pira, Mas?”
“Ya mungkin iso kanggo tuku alun-alun sepuluh.”
Alun-alun? Almarhum teman saya ngakak. Ketika kami memisahkan diri dengan Mas Mul, lalu main judi di meja-meja yang saling berdekatan, Kunthet menegur almarhum teman saya. “Bung, kowe ki nek ana wong kesusahan mbok aja digeguyu.”
Almarhum membantah, “Cah goblok, penjudi ki seneng nek pamer kekalahane.”
“Ya tapi kan kalahe akeh.”
“Tansaya akeh, tansaya bangga.”
Kami akhirnya berdebat. Apakah penjudi bangga dengan kekalahan atau kemenangan. Semua orang setuju dengan Kunthet. Merasa terdesak, almarhum berteriak kencang sekali, “Mas Muuuuuul!”
Mas Mul menoleh ke arah kami. Tentu saja kami kaget.
“Kowe selama iki kalah judi akeh to, Mas?” ucap almarhum dengan keras sekali karena jarak kami dengan meja Mas Mul agak jauh. Orang-orang di seluruh ruangan menoleh ke kami. Saya dan ketiga teman yang lain pucat. Sementara almarhum masih tenang.
“Kowe, ra masalah to Mas nek kalah?”
Mas Mul teriak, “Oraaaaa!”
Almarhum langsung menoleh ke kami semua. “Percaya ra?!”
Kami terdiam. Bukan percaya tapi takjub atas solusi almarhum yang ‘betul-betul…’
Hari ketika sahabat saya bertanya dengan cara ganjil adalah hari kemenangan kami. Kartu apapun yang kami pencet keluar full house, siki dan sekali goki. Kami menang sekitar 15 juta. Mas Mul kami tinggali poin berkisar 1 juta. Kami keluar dari rumah judi di jakan Magelang dengan sumringah.
Almarhum teman saya punya cara yang nyentrik untuk merayakan kemenangan. Kami pergi ke mal Ramai di Malioboro. Kami bersepakat bahwa begitu masuk ke pintu mal tersebut, setiap orang diputar tiga kali lalu menuding sesuatu. Apapun yang kami tuding, harus kami beli.
Saya mendapatkan giliran pertama. Mata saya merem lalu berputar tiga kali. Lalu saya menuding. Begitu saya melek, tudingan saya pas menunjuk ke gerai kacamata. Saya kemudian melangkah ke gerai tersebut, lalu membeli kacamata yang harganya masih bisa saya ingat: 350 ribu.
Lalu saya balik ke keempat teman saya yang lain. Waktu itu masih kami berlima, Babe belum kami kenal.
Orang-orang di mal mulai memperhatikan kami.
Tiba giliran Kunthet. Ia lega ketika telunjuknya mengarah ke gerai baju.
Almarhum mendapat giliran ketiga. Ketika membuka matanya, ia menunjuk ke arah luar, pas ke arah penjual martabak. Orang-orang tertawa. Semakin banyak orang mengelilingi kami.
Kini giliran Bagor. Ia membuat orang-orang di mal yang makin ramai mengelilingi kami tertawa. Telunjuknya pas ke arah BH. Sambil misuh-misuh Bagor menuju ke gerai pakaian dalam wanita.
“Tuku sing akeh, Gor!” goda teman saya.
“Lha kanggo apa?”
“Ya terserah kowe to, kok malah takon aku!”
Kami semua ngakak melihat muka Bagor yang memerah.
Terakhir, giliran Proton. Dari matanya, saya menduga ia mengincar gerai sepatu. Ketika matanya terbuka, telunjuknya pas ke arah satpam.
“Wis gek ndang…”
“Ndang dikapakke?”
“Ya dituku to!”
“Lha piye carane nuku satpam?”
“Lha embuh kok malah takon kami!”
Proton pucat. Orang-orang tertawa. Karena banyak orang yang tertawa, satpam yang posisinya agak jauh dari kami menoleh ke arah kami. Proton makin pucat. Ia akhirnya lari ke arah parkiran. Kami mengikutinya sambil tertawa.
Kalau menang, begitulah tingkah kami. Kalau kalah, basanya kami mencoba peruntungan ke rumah-rumah judi lain di jalan Solo dan di dekat kompleks gedung bioskop Mataram.
Begitu masuk mobil kijang merah, kami meneriakkan slogan pertama kami: “Nek menang mbagusi, nek kalah nggawe teori!”
Mobil bergerak melaju. Isinya penuh tawa. Tidak ada kegembiraan yang melebihi para penjudi yang menang. Dunia rasanya berisi dua hal: tiga As dan dua Joker.