Kali ini dengan terpaksa saya akan memperkenalkan tokoh-tokoh pendamping. Tanpa mereka, Anda tidak akan bisa mengenal dengan baik almarhum sahabat saya.
Tokoh pertama bernama Bagor. Tahun 1994, ia diterima di Fakultas Sastra UGM (sekarang kalau tidak salah Fakultas Ilmu Budaya), di jurusan Antropologi, lewat jalur UMPTN. Tapi kemudian ia memilih masuk ke D3 Ekonomi UGM. Tahun berikutnya ia ikut UMPTN lagi dengan mengincar jurusan favoritnya: Ekonomi Manajemen. Tapi tetap tidak tembus.
Ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah di kampungnya ini malah berkenalan dengan gerakan melawan Orde Baru. Ia masuk organisasi Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID), dan menjabat sebagai ketua komisiariat UGM. Ketika peristiwa 27 Juli meletus, ia termasuk diburu aparat. Kemudian keluarganya mengirim anak muda yang mengidolakan Soekarno dan Permadi ini ke pesantren Termas, Pacitan.
Namun keluarganya kemudian menarik balik Bagor karena aparat mencarinya terus. Ia pulang ke Yogya. Diinterogasi selama tiga hari berturut-turut, kemudian dibebaskan. Semenjak itu, ia rajin salat, mulai menyukai karya-karya Emha Ainun Nadjib, kalau makan tidak pakai sendok, dan seusai makan ia tidak mau mencuci tangan dan cukup membersihkan kedua tangannya di kedua tulang kering kakinya. Kalau ditanya, jawabannya singkat: biar sakti.
Bagor tidak suka mabuk-mabukan. Ia jarang mau minum alkohol. Jarang juga mau menghisap ganja. Satu-satunya yang paling ia sukai adalah minum lexotan. “Mabuk kok sengsara. Minum alkohol kan tenggorokan panas, rasanya pahit. Ngisap ganja kan hidung dan mulut kering. Ngapain? Kalau nguntal lexotan gak perlu merasakan pahit.” begitu alasannya.
Tapi ia punya ketrampilan verbal yang bagus. Maklum mantan orator. Dan kadang-kadang manuvernya di luar dugaan. Suatu saat, kami berlima naik mobil kijang merah yang legendaris itu. Saya lupa dari mana dan mau ke mana. Di pertigaan Colombo, mobil kami hampir bertabrakan dengan sebuah jip. Spontan kami membuka jendela mobil dan sama-sama berteriak: bajingan!
Mobil jip berhenti. Mobil kami berhenti. Tiga laki-laki gempal memakai kacamata hitam menghampiri mobil kami. Sejenak kami panik. Tidak ada satu pun yang berani turun. Mereka bertiga menggedor mobil kami, meminta turun dan menantang berkelahi. Tidak ada satu pun dari kami yang berani turun. Akhirnya hanya Bagor yang dengan muka pucat, turun. Ia hampir saja dipukul, tapi kemudian berlari sambil berteriak, “Sabar, Mas! Sabar! Kowe nek meh niat gelut ojo karo aku!”
Ketiga orang itu mengepung Bagor. Kami berempat tetap di dalam mobil. Bagor terdengar bicara, “Enteni neng kene dhilit, tak undangke kancaku sing hobine gelut!”
“Kowe cah ngendi?!” terdengar salah satu orang membentak.
“Aku cah Kotagede!”
Entah mukjizat apa, tiba-tiba ketiga orang itu kemudian berjalan pelan ke arah jip mereka lalu meninggalkan kami.
Bagor begitu masuk mobil langsung misuh, “Kalian ki bajingan! Ora ana sing wani medhun.”
Sahabat saya menyahut santai sambil menghidupkan mobilnya, “Lha kowe kan ngerti nek aku ki aktor humoris, mosok mbok kon dadi aktor laga…”
Bagor melihat ke arah Proton dan Kunthet. Proton segera menjawab, “Aku ki wong seneng damai je, Bung. Kok malah mbok kon kerengan.”
“Damai kok misuhi uwong.”
“Lha kan spontan.”
Sebelum Bagor melihat ke arah saya, saya sudah menjawab, “Nek aku sih aktor romantis…”
“O, asu…”
Kami tertawa cekikikan. Selepas lulus dari D3 UGM dengan nilai yang cukup menyedihkan, Bagor melanjutkan S1 di UGM. Ia lulus dengan nilai pas-pasan. Kemudian ia diterima bekerja di salah satu BUMN ternama di negeri ini dan disekolahkan lagi oleh perusahaannya di Boston. Kalau almarhum teman saya masih hidup, ia tidak akan percaya Bagor bisa punya otak secemerlang itu. Kini ia sering memberikan analisis ekonomi di beberapa komunitas dan lembaga ternama.
Ada satu yang berubah drastis dari alumnus ponpes Termas itu. Kini ia hobi makan babi. Salah satu hal yang paling ia khawatirkan dalam hidupnya adalah jika saya kumat iseng, mengirim foto dia yang sedang makan babi ke orangtuanya.
Dan hal itu sangat mungkin saya lakukan.
Tokoh pendamping kedua bernama Kunthet. Seperti julukannya, orangnya pendek. Dia satu-satunya orang di kelompok ini yang otaknya lumayan cemerlang. Kunthet kuliah di jurusan Geofisika UGM. Ia penjudi yang sangat tangguh dan satu-satunya orang yang pernah beberapa kali mengeluarkan teori judi. Dan tidak ada satu pun teori judinya yang membuat kami menang.
Teori terakhir yang ia keluarkan dan semenjak itu kami melarangnya mengeluarkan teori judi adalah ‘teori bola salju’. Teori ini untuk permainan judi bola.
Begini teorinya. Kami pasang pertama kali dengan nominal terkecil untuk bisa judo bola yakni 50 ribu rupiah. Kami pasang warna hitam. Kalau yang keluar merah, maka kami dua kali lipatnya yakni 100 ribu rupiah. Kalau kalah demikian seterusnya: 200 ribu, 400 ribu, 800 ribu, 1,6 juta dan 3,6 juta. Menurut analisis dia, sangat kecil kemungkinan warna yang muncul sama selama 7 kali berturut-turut. Kami semua setuju. Berangkatlah malam itu kami ke rumah judi Mataram dengan semangat kemenangan.
Kami mulai pasang hitam, 50 ribu. Bola keluar merah. Kami pasang lagi 100 ribu. Bola keluat merah. Pasang 200 ribu. Merah lagi. Pasang 400 ribu. Merah lagi. Pasang 800 ribu, dan merah juga yang keluar. Kami mulai deg-degan. Kami pasang 1,6 juta. Pelan bejana tranaparan itu berputar…. Bola keluar… Merah! Kami makin pucat dan panik. Kami pasang 3,6 juta. Keringat mulai keluar… dan bola keluar hitam. Kami hampir melompat dan teriak. Tapi bola hitam tersumbat. Macet. Bejana berputar lagi. Bola keluar merah…
Kami benar-benar terpukul. Almarhum teman saya hampir pasang dua kali lipatnya: 7,2 juta. Tapi peraturan judi bola hanya memperbolehkan kami pasang maksimal 4 juta, kecuali manajer judi memperbolehkan dengan klausul tertentu. Namun uang kami ternyata tinggal sekian ratus ribu. Akhirnya, almarhum teman saya negosiasi dengan seseorang. Ia menggadaikan mobilnya di tempat itu. Kami pasang 4 juta tetap dengan memasang hitam. Dan yang keluar tetap saja merah.
Akhirnya kami berlima pulang ke rumah Kunthet dengan naik taksi. Sesampai di rumah Kunthet tidak ada yg bicara. Semua diam.
Akhirnya almarhum teman saya bilang ke Kunthet, “Kowe mulai saiki ora entuk nggawe teori judi! Teori liyane wae sing berguna kanggo kehidupan manusia!”
Mendengar ucapan itu, kami mulai bisa tertawa lagi.
Kunthet sekarang bekerja di sebuah perusahaan consumer goods di Surabaya dengan pangkat yang mentereng: district supervisor. Naluri judinya tidak pernah mati. Kini ia menyalurkan hasrat judinya dengan cara bermain saham dan sering mengeluarkan teori tentang saham.
Dan sampai sekarang, ia tetap sering kalah dalam bermain saham.