Kini giliran saya berkisah tentang tokoh pendamping yang lain: Proton. Dari nama julukannya, sebagian Anda mungkin bisa dengan mudah menebak. Ia memang kuliah di Fakultas Teknik, jurusan Teknik Kimia, UGM.
Proton punya banyak hobi yang asing bagi saya saat itu, seperti misalnya mengoleksi koin dan keris, mengumpulkan virus komputer, dan yang paling ganjil menurut saya adalah hobinya bergonta-ganti agama. Jadi kadang-kadang saya dan kawan-kawan harus jeli mencermati, di hari apa dia sedang beragama apa.
Di rumah-rumah judi yang sering kami kunjungi, Proton juga punya perbedaan interes. Saya, Bagor dan Babe, lebih suka judi poker melawan mesin. Almarhum teman saya dan Kunthet lebih suka judi bola. Sementara Proton satu-satunya orang yang suka berjudi mesin dengan permainan kodok-kodokan dan pacuan kuda. Saya bahkan sekarang sudah lupa aturan main mesin kodok-kodokan. Pokoknya di monitor ada banyak kodok. Tidak tahu yang menang yang bagaimana.
Karena pandangannya tentang agama yang agak ganjil, Proton sering membuat masalah di kehidupan Bagor.
Suatu saat, saya dikasih tahu almarhum teman saya bahwa nanti malam akan main judi. Tugas saya memberitahu Bagor. Siang itu juga saya ke wartel, menelepon Bagor. “Tapi aku dipethuk ya, Bung…”
“Lha ngapa?”
“Pit motorku rusak, je.”
“Nek rusak dibengkelke, Bung!”
“Nek kuwi ra sah tok nasehati aku, cah goblok…”
“Ya mengko aku tak nelpon Proton, tak kon njemput kowe.”
“Kuwi ya ora usah tok kandhani! Aku ya iso nelpon dheke dhewe.”
“Lha njuk ngapa kok ra tok telpon dhewe?”
“Sekedar kowe ngerti ya, iki wulan romadon. Proton ki nek dolan neng omahku njuk karo udud klepas-klepus, je.”
“Lha njuk ngapa salahe dheke?”
“Lha ya bapakku ngira nek aku ora pasa to… tur mesthi ngira nek aku mbeling.”
“Hei cah goblok, kowe kan pancen ora pasa. Tur kowe ki ra mung mbeling ning mbeling banget.”
“O asu! Pokmen aku jemput!”
“Ya!”
Telpon saya tutup. Kemudian saya memencet telpon rumah Proton.
“Bung, awake dhewe mengko bar magrib judi neng Mataram. Tulung kowe methuk Bagor ya, soale motore lagi rusak.”
“Jam pira?”
“Ya nek iso saiki. Njuk mengko tok ajak neng omahe Kunthet. Iki aku langsung meluncur neng omahe Kunthet.”
“Woke, beris!”
Telpon saya tutup. Saya meluncur ke rumah Kunthet. Sampai di sana sudah ada almarhum dan Kunthet. Saya ceritakan apa yang barusan saya lakukan. Kami bertiga cekikikan.
Dua jam kemudian terlihat Proton memboncengkan Bagor. Muka Bagor mecucu. Mulutnya umak-umik melafalkan kata ‘asu’ berkali-kali tanpa terdengar. Kami bertiga pura-pura tidak ada masalah.
Setelah mereka berdua masuk kamar Kunthet, saya tanya tanggap, “Eh, aku ki lali, Pakne Bagor dhek kapan kae nakoni kowe je, Ton…”
“Lha iki mau aku pethuk je. Aku pas teka ki Bagor adus we durung. Dadi aku jagongan ro Pakne Bagor rada suwe.”
“Ho’oh. Jare Pakne Bagor kowe ki menyenangkan nek diajak diskusi.”
“Ya lumayan gayeng iki mau. Tapi Pakne Bagor ki mandheg udud po ya? Taktawani udud ra gelem je…”
Kontan tawa kami meledak. Proton dengan muka heran bertanya, “Ngapa je?”
“Takona Bagor…”
Bagor yang mukanya merah langsung bilang, “Ton, bapakku ki Islam tur pengurus Muhammadiyah je…”
“Paklik-ku ki Muhammadiyah tur ya udud je…”
“Woo.. cah bajingan… kowe ngerti ra bahwa saiki ki wulan pasa?”
Proton dengan muka datar menjawab, “O iya ding…” Selanjutnya ia sibuk dengan komputer di kamar Kunthet. Kami semua tertawa terbahak-bahak.
Tokoh pendamping terakhir bernama Babe. Ia anak seorang mayor jenderal. Kami bertemu pertama kali di rumah judi jalan Solo. Ia tampaknya terpikat dengan gaya kami yang senantiasa ceria, lebih tepatnya konyol, lebih tepat lagi tolol. Akhirnya Babe masuk ke lingkaran kami. Ia kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tapi hanya kuliah seminggu. Selebihnya ia ‘ngampus’ di rumah-rumah judi.
Sebelum bertemu kami, Babe sudah kalah judi kira-kira habis 5 sepeda motor dan belasan televisi. Setelah kenal kami, ia kalah 2 mobil. Tapi kekalahannya pasti tidak begitu berharga dibanding pengalamannya bisa berteman dengan kami.
Semenjak kenal Babe, gaya berjudi kami agak lain. Kalau kami main judi, kami menginap di hotel. Kalau menang banyak, kami menginap di hotel yang mahal. Kalau kalah, kami menginap di losmen. Semenjak itu kami merasa bahwa kami penjudi profesional. Kami semua sudah sangat yakin bahwa kelak kami akan menjadi penjudi profesional dan akan bisa hidup serta kaya dari bermain judi. Layaknya di film-film seperti misalnya God of Gamblers. Mulai saat itu, jika kami berjudi selalu berpakaian necis dengan menyemprotkan parfum mahal dan rambut kelimis. Kami semua hafal gestur dan gaya Chow Yun Fat.
Orang-orang di rumah-rumah judi makin akrab dengan kami. Hampir semua pemain judi besar kami kenal: Dari mulai para pengusaha tionghoa, para pengacara, pentolan preman, sampai para pemain yang bangkrut. Salah satunya bernama Mbah Ganden.
Mbah Ganden mangkal di rumah judi Mataram. Kerjanya menunggu penjudi yang menang lalu menghibahkan beberapa koinnya ke dia. Kemudian dengan bekal koin itu, ia main judi.
Konon dari cerita yang kami dengar, Mbah Ganden dulu kaya-raya. Ia jatuh miskin karena judi. Suatu saat karena kami penasaran, kami ikuti di mana Mbah Ganden pulang. Ternyata setelah rumah judi ditutup pada pukul 5 pagi, ia berjalan ke stasiun tugu. Ia lalu menggelar tikar di luar tembok stasiun tugu kemudian tidur.
Pernah kami bertanya ke penjudi senior di sana, kenapa tidak ada keluarga Mbah Ganden yang mengurusnya? Orang tersebut menjawab, “Bagaimana mereka mau mengurus Mbah Ganden kalau harta mereka dihabiskan Mbah Ganden?”
Kami tetap menaruh simpati mendalam kepada Mbah Ganden. Kalau tersenyum lucu sekali. Tidak nampak wajah jahat. Kami berjanji suatu saat kalau menjadi penjudi besar, kami akan buatkan rumah untuk Mbah Ganden.
Cita-cita itu kemudian hilang, seturut dengan kebangkrutan kami semua.