Salah satu kemampuan almarhum sahabat saya yang selalu membuat teman-teman dekatnya, termasuk saya, merasa takjub adalah kemampuannya membuat istilah. Dan istilah itu kemudian segera ditiru oleh banyak orang. Uniknya, istilah-istilah tersebut susah untuk didefinisikan.
Setidaknya ada tiga istilah yang paling saya ingat: ‘betul-betul’, ‘sama sekali’ dan ‘menjerit’.
Saya harus memberi contoh kalimat untuk mempermudah anda memahaminya, sebab saya tidak sanggup menjelaskannya. Misalnya ada orang yang pelit. Lalu orang tersebut diomongin banyak orang di kantin bonbin. Almarhum teman saya mendengar. Ia kemudian berkomentar, “O jebule cah kae ki betul-betul ya…”
Contoh lain. Suatu saat, ada teman kami yang berangkat kuliah, naik bis, kecopetan, sudah begitu pas mau menyeberang tertabrak sepeda motor. Teman ini lalu tidak jadi masuk kuliah dan menceritakan kisahnya di kantin bonbin. Teman saya mendengarkan, lalu ia mengulungkan uang untuk dipakai berobat dan meminta kawannya yang lain supaya mengantar berobat. Ketika teman tersebut sudah pergi, almarhum berkomentar, “Nasibe cah kuwi ki betul-betul…”
Lanjut ke istilah ‘sama sekali’. Misalnya begini, kami makan ke sebuah restoran, lalu masing-masing pesan menu yang asing. Kemudian jika ia ditanya apakah menunya enak, ia menggeleng sambil menjawab, “Sama sekali…”
Atau ketika ia bermain judi sendiri, karena kami berhalangan, dan ketika kami tanya keesokan harinya apakah menang atau kalah, ia menggeleng, “Sama sekali…”
Sedangkan contoh kalimat dengan istilah ‘menjerit’ itu misalnya, ia melihat ada teman yang memakai sepatu baru. Segera ia berkomentar, “Weh nggleleng, mentang-mentang sepatune menjerit…”
Bisa juga kalau ada cewek yang berbusana agak nyentrik, ia langsung teriak, “Mbake kae kostume menjerit, je…”
Selebihnya ada belasan kata yang keluar khas dari mulut dia yang tidak bisa dijelaskan atau ditempatkan pada kalimat yang tidak pada tempatnya. “Raimu mlotrok ki bar diputus pacarmu po, Bung?” Perhatikan pilihan kata ‘mlotrok’ yang disematkan pada ‘raimu’.
Di antara semua geng judi saya itu, hanya saya satu-satunya yang suka menonton sepakbola. Karena kebanyakan dari mereka tidak suka, maka saya sering tidak menonton. Sekali pernah saya memaksa teman-teman saya ikut menonton sepakbola dan itu untuk pertama sekaligus saya putuskan yang terakhir kali.
Waktu itu di seberang Hotel Cakra Kembang Jalan Kaliurang ada warung indomie yang lumayan ramai dan sering dipakai menonton sepakbola bareng-bareng. Tidak seperti sekarang yang kalau nobar bisa puluhan bahkan ratusan. Saat itu paling hanya belasan orang. Ketika itu yang main derby antara AS Roma vs Lazio.
Kami baru datang, pesan indomie dan minum, saya langsung konsentrasi menonton. Eh, tiba-tiba Bagor nyeletuk, “Zidane dimainke ra, Bung?”
Semua orang menoleh ke arah Bagor. Menjadi bahan perhatian, Bagor langsung diam tanpa tahu apa kesalahannya. Bagor ini pula yang kelak ketika kami pergi ke toko kaset dan beli CD, ia bertanya dengan pede, “Ada album grup rock Manchester United, Mbak?” Dia pikir MU itu grup musik.
Tapi yang paling fenomenal dan selalu saya ceritakan adalah ketika almarhum komentar di pertandingan malam itu. “Kuwi Si Ammonito diwenehi kertu kuning bola-bali kok ra ditokke seka lapangan ki piye to? Wasite kok goblok…”
Mendengar itu, saya langsung meneguk es teh dan pura-pura menunduk karena tahu semua orang di warung itu menoleh ke arah almarhum teman saya. Ketika pulang, di dalam mobil, saya bilang, “Kowe ngerti ra ngopo Si Ammonito kuwi ora ditokke seka lapangan?”
“Ora.”
“Soale ammonito kuwi artine kertu kuning. Kuwi dudu jeneng menungsa, cah bajingan…”
“O ngono… Makasih ya atas informasimu…” ia menjawab begitu dengan muka datar.
Setelah hening sesaat, almarhum nyeletuk, “Aku entuk ra memberi masukan neng kowe?”
“Masukan apa?”
“Mending tok lereni kuwi lehmu seneng nonton bal-balan. Luwih produktif nek awake dhewe judi bal.”
Satu mobil tertawa ngakak kecuali saya.