Kali ini, sebelum saya mulai berkisah, ada dua hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, kisah kali ini menurut saya punya tantangan teknis untuk menyampaikannya. Dan saya bisa mengukur diri sendiri. Sepertinya saya tidak bisa menyampaikan dengan baik. Jika itu yang terjadi, saya minta maaf yang mendalam kepada almarhum sahabat saya karena salah satu ‘legacy’ penting dalam hidupnya tidak bisa saya sampaikan dengan baik ke hadirin pembaca.
Kedua, bagi Anda yang memiliki rasa kepemilikan agama dan ketuhanan yang besar, kemungkinan Anda akan tersinggung. Saya meminta maaf dari awal, dan mewanti-wanti sebaiknya Anda tidak usah meneruskan membaca kisah ini.
Satu-satunya tempat kami nongkrong di kampus adalah di kantin bonbin. Kantin tersebut terletak di Fakuktas Sastra. Kebanyakan yang jajan dan nongkrong di sana selain anak sastra adalah anak ekonomi, psikologi, sospol dan tentu saja filsafat. Saya tidak tahu kenapa disebut bonbin dan sangat tidak ingin tahu dan tidak berkepentingan untuk tahu.
Meja favorit saya di pojok, dekat meja penjual yang bernama Mbak Ning, dekat kethoprak Heru dan sedikit melangkah saja dekat dengan pos lapak koran dan majalah.
Kami bukan hanya makan, minum dan becanda di sana. Tapi juga mabuk-mabukan dan tentu saja main samgong.
Suatu saat, almarhum bilang, “Aku kok mulai ora seneng ya nek ngerti wong meh mangan ndadak nganggo merem, berdoa, umak-umik…”
Mendengar kalimat itu, feeling saya langsung mengatakan bahwa sahabat saya itu sedang memikirkan suatu hal yang ndrawasi.
Bagor yang aktivis prodem dan pencinta Cak Nun langsung menyahut, “Ha mbok ben to, wong umak-umik nganggo cangkem-cangkeme dhewe, merem nganggo matane dhewe, kowe kok ribut…”
“Mengganggu pemandanganku, je…” ucap sahabat saya dengan lempang.
Keesokan harinya, peristiwa pertama kali terjadi. Seorang perempuan berada persis di depan almarhum. Di piringnya ada nasi, telor dan tempe. Ia berdoa. Saat memejamkan mata, tangan almarhum berkelepat menyahut tempe di piring perempuan tersebut. Lalu memindahkannya ke piring orang lain di meja seberang yang masih bisa di jangkaunya. Kebetulan orang tersebut sedang ngobrol dengan temannya.
Dua adegan bersamaan terjadi. Begitu si perempuan usai berdoa lalu pelan menyendok nasinya, ia mengernyit. Sementara laki-laki di meja seberang yang usai menengok ke arah temannya, lalu kembali menyantap hidangannya, juga mengernyit.
Perut saya sakit menahan tawa. Lalu saya lari ke parkiran sastra dan ngekek kepingkel-pingkel sampai dlosoran. Saya perhatika dari jauh, saat perempuan itu pergi, saya baru kembali ke meja semula. Almarhum teman saya berwajah sok dingin. Blas tidak tertawa.
“Piye mau kabare, Mbake?” ujar saya sambil berbisik lirih karena laki-laki yang dapat ‘bonus’ tempe masih berada di meja seberang.
“Mungkin dikira tempene dijupuk Gusti Allah.” kata teman saya sambil nyekikik. Saya ceritakan hal tersebut ke beberapa teman yang lain. Jadilah sebuah perlombaan keberuntungan: menunggu orang, tidak peduli laki-laki atau perempuan, duduk di depan kami, dan berdoa dengan memejamkan mata sebelum menyantap hidangannya.
Saya termasuk sering dapat korban. Paling sering dan paling mudah didapat adalah tempe. Tapi kadang juga kerupuk, tahu, lumpia, kalau mentok apes ya terpaksa ayam atau telor. Tempe adalah idola. Tidak ‘kotor’ di tangan. Dan mudah memindahkannya. Entah itu ke piring orang atau ke piring teman sendiri.
Sering pula saat almarhum sedang khusyuk makan, saya letakkan tempe hasil ‘kecepatan’ tangan saya ke piringnya. Dia hanya bisa misuh, “Asu. Bajingan kowe. Cah koyo bajingan. Betul-betul kowe ki…”
Kalau kemudian korban sudah pergi, kami baru tertawa ngakak. Biasanya ekspresinya seperti ini, kami menepukkan kedua tangan kami, sambil berteriak, “Tempeku endi?!”
Lalu semua orang akan ikut tertawa. Mbak Ning yang baik dan lembut hatinya itu, juga terkekeh. Tapi hampir tiap hari ia berpesan, “Mas, mbok ojo ngono to… mesakke wonge…”
Almarhum teman saya menjawab ringan, “Santai wae Mbak Ning… wonge wis dimesakke Gusti Allah, soale tempene ilang pas berdoa. Hooh to, Mbak?”
Mbak Ning hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Bagor yang paling tidak suka dengan keisengan itu, adalah target kami. Setiap ia makan, kami berkeliling meja-meja bonbin sambil mata kami menyelidik siapa yang akan berdoa sambil memejamkan mata. Kalau dapat korban, misalnya tempe, kami akan taruh ke piring Bagor. Karena banyak orang yang melakukan, maka piring Bagor bisa berisi banyak lauk-pauk. Tentu saja Bagor tidak bisa bertindak apa-apa.
Karena ada banyak aktivitas di bonbin, bagi orang yang tidak terbiasa, maka akan heran kalau sore hari saat Mbak Ning tutup, kami menghitung totalan. Misalnya almarhum, “Mangan, ayam, endog dadar, tempe lima, es teh pitu, gelas siji.”
Misalnya Bagor, “Mangan, ayam, tempe loro, es nescafe telu, es teh siji, gelas loro.”
Saya, “Mangan, tempe pitu, endog, teh anget lima, kopi siji, gelas siji.”
Sebutan terakhir: gelas siji atau loro, qtau pernah lima, merujuk pada gelas yang kami pecahkan dengan tidak sengaja. Entah mabuk, entah kesempar pas tertawa ngakak, entah kesenggol saat kami main kartu.
Mungkin pedagang gelas langganan Mbak Ning curiga, sebetulnya ia jualan makanan atau jualan gelas..