Sebagai anak muda yang hidup di bumi Mentaram, kami tentu tidak bisa lepas dari gojeg. Kami adalah anak kandung mulai dari almarhum Basiyo sampai Den Baguse Ngarso, dari Marwoto sampai Bambang Rabies. Waktu itu Dewo PLO, Anang Batas, Kelik Pelipur lara dkk sudah mulai meniti karir di dunia cengengesan.
Kata almarhum teman saya, ” Urip ki anane mung 3: nyekikik, nyekikik karo nyekikik.”
Dalam kehidupan sehari-hari, gojeg kere yang konvensional ala Yogya juga kami lakukan.
Bagor biasa menggoda Mbak Ning dengan gojeg lawasan yang hampir semua orang Yogya tahu, kecuali sedikit orang dan dari sedikit orang itu adalah Mbak Ning.
“Mbak Ning, es teh!” kata Bagor sambil duduk dan mengeluarkan ududnya.
“Sepurane, Mas. Es-e entek, je…”
“Yoh, nek ngono es jeruk.”
Mbak Ning lalu kluthak kluthik mulai mempersiapkan minuman. Ia kemudian agak mikir, dan berjalan mendekat ke arah Bagor, “Mas, sing entek ki es-e, je…”
“Lho lha iya…” jawab Bagor tenang seperti tidak ada masalah.
“Lha kok sampeyan pesen es jeruk?”
“Ora. Aku ki mau pesen es teh.”
“Ho’oh. Njuk takjawab nek es-e entek.”
“Nah, njuk aku pesen es jeruk!”
“Lha ya es-e ki entek, Mas!” Mbak Ning mulai ngotot.
“Aku ki pesen es jeruk. Dudu es. Salah-e es jeruk ki apa je kok mung masalah es entek wae njuk dadi korban?”
“Ah embuh, Mas. Angel omongan ro kowe…”
“Lho berarti ora iso to? Nek ora iso ki ra sah dilakoni, Mbak Ning… Urip ki digawe santai wae.”
Biasanya Mbak Ning cuma bisa tertawa ngekek sambil berpikir bahwa ia sedang berhadapan dengan salah satu orang yang reputasi hidupnya hanya dibangun dari satu hal: positif kenthir.
Berhadapan dengan kami artinya berhadapan dengan bahasa dan cara berpikir yang sama sekali… Semua orang harus bersiap dengan itu. Sebagai contoh, suatu saat Denny, salah satu orang yang dikenal punya kepribadian baik dan punya solidaritas tinggi mengingatkan ke masyarakat penghuni Bonbin bagian pojok bahwa ada 3 agenda yang harus dilakukan. “Awake dhewe dina iki nduwe telung agenda, Dab: niliki Ical neng Panti Rapih, kondangan neng manten-e Mas Agus, karo syukuran wisudane Mas Heri. Penake piye alur-e?”
Kami kemudian sibuk diskusi supaya ketiga kegiatan bisa berjalan dengan efektif. Lalu Denny menyimpulkan: “Oke, berarti jam papat sore awake dhewe neng Panti Rapih niliki Ical, bar kuwi dilanjut dolan neng Ndayu: mangan-mangan neng syukurane Mas Heri, njuk lagi neng Wisma Kagama: neng kawinane Mas Agus.”
Semua orang mengangguk setuju. Tiba-tiba almarhum sahabat saya nyeletuk. “Nek menurutku kok ora ngono ya…”
“Ha njuk piye?” tanya Denny dengan gusar karena ia merasa sudah memutuskan lewat jalan musyawarah mufakat.
“Awake dhewe ki lebih baik neng kawinane Mas Agus terakhir wae. Sakdurunge kuwi neng sore jam papat niliki Ical neng Panti Rapih sik. Bar kuwi langsung meluncur neng syukurane Mas Heri.”
Orang-orang mulai mencerna dan pelan-pelan mengernyit. Di saat itu biasanya Bagor dengan tangkas menerobos, “Ora efektif kuwi!”
Orang-orang yang bingung itu kemudian menoleh ke arah Bagor.
“Nek menurutku, agenda pertama ki tetep niliki Ical jam papat neng Panti Rapih, agenda terakhir neng kondangane Mas Mas Agus. Di sela-sela kuwi, awake dhewe neng syukurane Mas Heri.”
Orang-orang kembali terlihat berpikir. Lalu mulai mengernyit. Saya menambahi, “Aku entuk usul ra?”
Mereka menoleh ke saya.
“Ngene, kondangan nikah neng Mas Agus ki mending terakhir wae. Jam papat awake dhewe meluncur neng Panti Rapih niliki Ical, bar kuwi njuk mangan-mangan neng acara syukuran wisudane Mas Heri.”
Orang-orang mulai mengernyit kembali dan kemudian mulai sadar, lalu serempak bilang, “Cah bajingaaaan kabeeeeeeh!”
Kami bertiga tertawa ngikik.
Tapi yang paling kami sukai adalah kalau ada anggota masyarakat bonbin yang patah hati. Biasanya, ketika sudah mulai reda, mereka curhat. Kami biasanya mencoba mendengarkan dengan khusyuk. Mencoba berempati. Setelah selesai curhat, dengan senyumnya yang penuh misi, almarhum teman saya akan bicara, “Kisah cintamu ki betul-betul… tapi kowe ki salah panggonan curhat.”
Orang tersebut biasanya akan bingung.
Sahabat saya melanjutkan, “Lha kami ki nek ana kisah asmara berakhir tragis ki senenge ra umum, je…”
“Kok iso?”
“Lha slogan kami ki: kanca seneng, melu seneng. Kanca susah: tansaya seneng.”
Orang yang curhat biasanya akan tidak datang untuk sementara waktu. Mungkin karena malu. Kalau ada orang yang bertanya kenapa Si Orang Curhat lama tidak nongol, salah satu dari kami pasti nyeletuk, “O cah kae lagi belajar mendewasakan diri, bahwa tragedi bagi dia itu hiburan buat kami.”
Orang-orang lalu tertawa. Kami kembali memainkan kartu di atas meja. Kembali mabuk. Kembali tertawa.