Hari ini, edisi yang muncul agak ganjil karena seri 8,5. Ada 0,5-nya. Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, supaya pembaca tidak bosan, cerita sejenak melompat ke sebuah generasi sesudah kami.
Kedua, karena tiba-tiba ada duo legendaris yang kebetulan berjumpa dan ngobrol asyik dengan saya. Siapa lagi kalau bukan Gajoel dan Pengky. Kisah legendaris mereka sekali lagi akan saya ulang di sini setelah beberapa saya bikin serial kultwit.
Ketiga, saya kira ini adalah generasi terakhir di Bonbin yang ambyar. Maka sejarah itu perlu dikenang. Setelah generasi Pengky dan Gajoel, dan teman-teman seangkatannya yang lain terutama dari Filsafat, mahasiswa semakin tertib dan manis.
Pengky anak sejarah tahun 1997. Gajoel satu angkatan, tapi jurusannya antropologi. Kedua nama itu tentu bukan nama asli. Nama asli Pengky adalah Agus Riyadi (Beberapa hari lalu saya menulis di mojok.co tentang Pengky dengan nama asli: Agus Riyanto. Tentu saja ini kekeliruan yang tidak besar dan tidak perlu dibesar-besarkan). Nama asli Gajoel: Muhammad Zulfikar Adityawarman. Mereka karib sejak mulai masuk kuliah. Karakter kedua orang ini sudah klop. Ibarat layang-layang dan sedotan. Coba pikir apa hubungan antara kedua benda tersebut…
Keduanya positif pemabuk berat. Pengky bisa menyanyi dan main gitar, Gajoel bisa melukis. Selebihnya tidak ada yang hebat-hebat amat.
Kadang kalau saya sedang ngobrol berdua dengan Gajoel, ia sering mengeluh, “Kok iso ya, Pengky ki lulus… aku malah ora..”
“Lha memange piye to, Joel?”
“Bocahe ambyar koyo ngono kok…”
“Lha kowe ki ya ambyar, je…”
“Ya berarti setidaknya dheke padha karo aku: ora lulus.”
Dari obrolan seperti itu kemudian kami mulai menapak ke kisah legendaris.
Suatu pagi, Pengky punya inisiatif yang menurutnya sampai sekarang adalah inisiatif paling jenius di lingkup UGM, ia menggoreng biji kecubung dengan biji ganja, lalu dideplok dan dicampur dengan bubuk kopi. Ketiga ramuan itu kemudian diseduh dengan air panas. Jadilah ramuan eksperimen ajaib.
Ia nongkrong di Bonbin dengan pede sambil menawari teman-temannya. Tapi tidak ada yang berani minum resep istimewa tersebut. Ketika minuman itu habis, Pengky mulai oleng. Dia tiba-tiba lari ke belakang kampus, maksudnya mau ke kompleks kegiatan mahasiswa. Namun ia teriak kencang sambil memegang tembok karena merasa tubuhnya meninggi hingga hendak menyentuh atap kampus. Pengky lupa kisah selanjutnya. Ia tidak sadar.
Kisah ini hanya bisa dilanjutkan oleh Gajoel.
Kira-kira dua jam setelah kejadian itu, Gajoel datang. Baru saja ia memarkir motornya, langsung dikerubuti adik-adik kelasnya yang memberi tahu kalau Pengky membuat heboh di ruang ujian.
Gajoel bergegas naik ke lantai dua. Di sana ia melihat Pengky dengan baju rapi, saling mendorong dengan dua orang satpam sambil disaksikan beberapa dosen yang terlihat panik. Mata Gajoel langsung terbelalak karena menyaksikan di bagian bawah, Pengky hanya mengenakan celana dalam.
Gajoel segera turun tangan. Ia membekap badan Pengky dibantu oleh beberapa adik kelasnya. Pengky kemudian dibawa turun ke ruang kegiatan mahasiswa. Gajoel kemudian naik lagi untuk menjelaskan ke satpam dan pihak dosen yang panik bahwa Pengky sedang ada masalah keluarga yang sangat berat.
Gajoel turun lagi. Ia melihat Pengky sendirian. Orang-orang tidak berani mendekatinya karena ia duduk di pagar sambil makan daun teh-tehan.
Dengan semangat persahabatan yang ekstrem, Gajoel ikut duduk dan bertanya, “Enak po, Peng?”
“Enak kripik telo iki. Nyoh, rasakno…” kata Pengky sambil mengulurkan beberapa lembar daun teh-tehan ke Gajoel. Dengan muka njempalik, mau tidak mau Gajoel menerima daun teh-tehan.
“Marning iki ya enak…” kata Pengky sambil mengulurkan buah teh-tehan.
Muka Gajoel makin njempalik, terpaksa ia menerima buah teh-tehan dan nglethusi satu persatu buah yang bahkan burung pun tidak mau memakannya.
Saking kesalnya, Gajoel kemudian mengambil kereweng di dekatnya. “Peng, gelem coklat?”
“Ya gelem…”
“Nyoh..” ujar Gajoel sambil mengulurkan kereweng. Pengky menerima lalu makan cuwilan kereweng itu dan terlihat nikmat betul. Mereka berdua bahkan mulai dulang-dulangan kereweng dan daun teh-tehan layaknya sepasang kekasih.
Gajoel kemudian merasa aneh. Ketika ia menengok ke belakang, puluhan pasang mata sedang menyaksikan drama tersebut. Drama yang dilakoni dua sahabat, yang satu mabuk berat dan yang satu tidak.
Beberapa hari kemudian, Pengky yang sedang tiduran di pusat kegiatan mahasiswa dikagetkan dengan dua orang dosen. Satu dari sastra Arab dan satu dari Arkeologi yang konon juga seorang psikolog.
Dosen sastra Arab langsung mengajak Pengky berdoa dan menasehati agar ia tabah. Pengky bingung. Tapi ia nurut saja. Setelah itu, dosen satunya memancing masalah apa yang terjadi di keluarganya. Pengky juga hanya bisa ndomblong. Tapi ia benar-benar tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Ketika dua dosen tersebut sudah pergi, Pengky lari ke Bonbin. Ia mencari tahu sebetulnya apa yang telah menimpanya. Akhirnya beberapa adik kelasnya bercerita.
“Lha terus Gajoel ngomong neng pihak dosen apa?”
“Ya katanya, Mas Pengky sedang punya masalah keluarga yang berat…”
“Asem!”
Pengky akhirnya ketemu Gajoel. “Joel, kowe jare ngomong neng dosen-dosen nek aku nduwe masalah keluarga sing berat ya?”
“Ya ho’oh. Soale ambyarmu parah. Nganggo klambi karo mung sempakan.”
“Tapi ya ojo nggawa-nggawa keluarga to, Joel…”
“Lha nek ora, kowe ki iso di-DO!”
Kisah selalu berhenti di situ. Biasanya Gajoel sembari menerawang bilang, “Jebule malah Pengky sing lulus, aku sing di-DO…”
Mendengar itu, saya selalu berusaha menghiburnya. Tapi Gajoel lagi-lagi biasanya melanjutkan, “Tur sing ndlegek maneh ki Pengky sempat-sempate ndaftar dadi guru SMA. Untung ra ketompo. Nek ketompo apa ora ambyar murid-muride?”
Ini kisah 8,5. Kapan-kapan kita lanjutkan seri kesembilan.