Semenjak tulisan serial yang saya tulis dengan spontan ini, saya banyak ditanya oleh orang, apakah peristiwa-peristiwa ini karangan atau kisah nyata? Ini kisah nyata. Selain almarhum sahabat saya yang menjadi tokoh utama, semua pelaku masih hidup dan sesekali ikut berkomentar. Selain itu, banyak orang yang juga menjadi saksi dan sesekali mereka berkomentar.
Setelah saya beritahu, biasanya mereka akan bertanya, kenapa kisahnya bisa ‘sekonyol’ itu? Jujur saja ‘kekonyolan’ yang saya ceritakan sudah saya pilih. Banyak hal yang jauh lebih konyol yang tidak bisa saya ceritakan atau kalau saya ceritakan, mungkin Anda tidak percaya. Saya akan mencoba sedikit dari banyak hal yang saya sengaja sembunyikan kali ini.
Dulu, salah satu hal yang kami sukai adalah mengisap ganja. Kalau kami beli bahkan sampai tidak ada istilah untuk menakar kuantitasnya sehingga kami memakai istilah sendiri: ‘sak bantal’.
Di zaman kisah ini berlangsung, ada istilah ‘sak lin’ atau kependekan dari ‘sak lintingan’, kemudian ‘sak am’ atau ‘sak amplop’, kemudian yang terbanyak ‘sak garis’. Satu linting, satu amplop dan satu garis. Satu garis itu kira-kira ganja yang dibungkus satu lembar koran dibagi 4. Kami biasa membeli ‘sak bantal’ isinya ganja sebesar satu lembar koran ditekuk menjadi dua. Kami namakan ‘sak bantal’ karena bisa untuk bantalan tidur.
Semua ganja kami disimpan di rumah almarhum sahabat saya. Jika ia keluar, ia membawa satu bungkus rokok penuh dengan daun istimewa itu. Saat mengisap ganja, kami juga tidak pernah sembunyi-sembunyi. Paling sering di dalam mobil. Awalnya, kami ketakutan. Sering kami memperingatkan almarhum agar kalau mengisap jangan di jalan raya karena banyak polisi. Tapi yang terjadi, ia malah membuka jendela saat ada polisi dan berteriak, “Pak Polisi, iki lho ganja! Ganjaaaa! Gaaaaaaanjaaaaaa!”
Kami pucat semua. Itu salah satu ketakutan terhebat yang pernah saya rasakan. Tapi anehnya, polisi tersebut tidak memgejar, dan kami memutuskan tidak akan pernah lagi memperingatkan almarhum. Kalimat yang paling sering kami dengar dari almarhum dan selalu diulang-ulang: “Negoro ki ngopo to… Ganja ki marai lucu, damai, nyenengke, kok malah dilarang. Negoro ki ra seneng po nek awake dhewe seneng. Criwis banget je…”
Biasanya kalau sudah seperti itu, salah satu dari kami nyeletuk, “Nek kowe takon ngono ki, njuk kami ki mbok kon takon sapa, je? Piye nek awake dhewe ra sah ngrembug negoro? Ora nyenengke je…”
Lalu kami tahu ia akan menjawab apa, dan kami selalu tertawa terbahak-bahak, “O ngono ya… Baiklah…”
Polisi. Dalam rentang kehidupan kami yang tidak jelas itu, paling sering kami berhadapan dengan polisi lalulintas, terutama almarhum. Ia sejak kuliah semester satu sudah mengendarai mobil ke kampus dan tidak pernah punya SIM. Jangankan SIM, STNK pun kadang ia lupa.
Suatu malam, kami tertangkap cegatan polisi di Malioboro. Kami ditilang. Setelah diberi surat tilang, tanpa kami sadari, almarhum menjalankan mobil, memutar sehingga kami berhadapan dengan cegatan polisi di tempat yang sama. Kami hanya diam dan sudah memaklumi, almarhum sedang melakukan perbuatan iseng yang tidak dapat diganggu gugat.
Ia membuka jendela ketika polisi memberikan hormat.
“Bisa pinjam SIM dan STNK, Pak?”
“Tidak ada, Pak. Yang ada hanya ini…” ujar sahabat saya sambil mengulungkan surat tilang yang barusan didapatnya.
“Lho, apa ini, Pak?” Polisi tersebut bertanya sambil agak bingung.
“Kalau tidak salah itu yang namanya ‘surat tilang’, Pak…” jawab sahabat saya dengan kalem. Perut kami mulai mengencang menahan tawa…
“Lho, Bapak ditilang di mana?”
“Lho, ya di sini, kok di mana?!” ujar sahabat saya.
Polisi tersebut bingung sambil mengulungkan surat tilang. Mobil berjalan pelan, dan sepanjang perjalanan, kami tertawa sambil teriak, “Cah bajingaaaaaan!”
Tapi ada satu kejadian yang masih ada urusannya dengan polisi yang akan kami ingat selamanya. Suatu pagi, sahabat saya sudah nongkrong di Bonbin. Ketika kami datang, kami penasaran. Biasanya ia datang ke Bonbin sudah menjelang siang.
“Kowe ngopo je kok wis njegonggok neng kene?” tanya saya sambil duduk. Teman-teman pun mulai merubung karena pasti ada sesuatu yang besar baru saja terjadi.
“Aku bar nduwe masalah je karo polisi…” jawabnya dengan muka pucat dan menerawang.
“Polisi ngendi? Parani po piye?”
“Ora usah…”
“Lha ngopo je?”
“Aku ki mau esuk tangi merga meh ujian…”
“Kok tumben kowe melu ujian?”
“Sik to, Nyuk… kowe ki takon meh tak jawab kok malah mengintimidasi. Dadi aku ki arep nyritakke, kok malah crewet banget pertanyaanmu…”
Kami mulai tertawa.
“Ngene, Cah Bagus… aku ki mbuh piye mau esuk merasa kudu melu ujian. Njuk budhal. Malah dicegat polisi neng mbunderan.”
Kami mendengarkan dengan serius…
“Terus biasa to, ditakoni nduwe SIM apa ora, ya tak jawab ora duwe. Ditakoni maneh nduwe STNK apa ora… Aku njuk klithih-klithih golek neng dompet. Jebul ra ono. Rak ya bajingan to STNK-ku kuwi… ora tau dibutuhke, begitu aku butuh malah ra ono…”
Kami mulai tersenyum…
“Njuk ditakoni, nduwe KTP apa ora. Tak jawab jujur bahwa nek sing kuwi aku ora nduwe. Ditakoni maneh, aku nduwe kartu mahasiswa apa ora. Aku malah lali nek kudune nduwe kuwi. Aku jujur njawab ora nduwe. Njuk polisine bingung. Akhire aku ngomong nek aku nduwe kartu ujian, tak takoni, “Pak, saya punya kartu ujian, Bapak mau?” Nah, polisine gelem. Kuwi kan positif polisi goblok to… Polisi kok nahan kertu ujian, kuwi positif polisi pekok banget… Aku njuk ngebut ngoyak ujian…”
“Lha kowe kudune rak ujian, njuk ngapa njegonggok neng kene?” kejar saya.
“Lho, kowe ki goblok po piye? Mbasan aku meh mlebu ruang ujian, aku ditakoni ro dosen-e endi kertu ujianku… Lha aku rak ya malah bingung to… iki sing goblok aku apa dosen-e…”
“Maksudmu sing goblok kowe po dosenmu ki piye, je…”
“Lha kan kertu ujianku digawa polisi!”
Kami tertawa tertawa terbahak-bahak…
“Nek kuwi genah sing goblok dudu dosenmu!”
Kisah itu membuat Mbak Ning yang ikut mendengar sampai harus lari ke WC saking tidak kuat menahan tawanya.
***