Seusai menjalankan salat Tahajud, seorang kiai mendadak ingin keluar dari langgar, ingin mencari udara segar. Di depan langgar, dia melihat salah satu santrinya sedang merokok dengan muka yang tampak serius memikirkan sesuatu.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
Si Santri njenggirat kaget. “Nggak, Pak Yai… Hanya memikirkan hal yang tidak terlalu penting.”
“Kalau aku boleh tahu, hal apakah itu?”
Si Santri diam sejenak, lalu membuka suara. “Anu, Pak Yai… Apakah kira-kira orang yang membuat Indomie goreng itu masuk surga atau tidak ya?”
“Lha memang kenapa?”
“Bayangkan, Pak Yai… Dengan harga yang cukup murah, Indomie goreng memberi kenikmatan luarbiasa. Santri-santri yang habis mengaji, bisa mengisi perut mereka, menikmati Indomie goreng. Mahasiswa-mahasiswa yang duitnya menipis, seusai mengerjakan tugas, bisa bergembira dengan cara yang sederhana: makan Indomie goreng. Banyak orang yang sedih menjadi gembira dengan tidak mengeluarkan banyak biaya. Perut kenyang, hati gembira. Bukankah itu mulia?”
Sang Kiai diam. Dia lalu duduk di samping santri kinasihnya itu.
“Apakah para pencipta kegembiraan-kegembiraan kecil semacam itu, bisa masuk surga, Pak Yai?”
“Pertanyaanmu terlalu berat, Nak…”
“Mohon maaf, Pak Yai. Seperti yang sejak awal saya matur, saya hanya sedang memikirkan hal yang tidak penting. Hanya pikiran melantur…”
“Tidak baik punya pikiran melantur. Gunakanlah waktumu untuk beraktivitas yang nyata…”
“Baik, Pak Yai…” Si Santri itu lalu bangkit, menyalami kiainya. Tapi Sang Kiai segera bertanya, “Lho, kamu mau ke mana?”
“Menggunakan waktu sebaik mungkin, Pak Yai.”
“Mau apa?”
“Mungkin membaca kitab…”
“Itu nanti saja sehabis salat Subuh…”
Si Santri kikuk. Agak bingung.
“Kamu masih punya stok Indomie goreng?”
Ditanya seperti itu, Si Santri agak grogi. “Mmm… masih, Pak Yai.”
“Kalau kamu berkenan, bolehlah kamu bikinkan aku Indomie goreng.”
Wajah Si Santri tampak sumringah. “Tentu saja akan saya buatkan, Pak Yai!”
Lalu Santri itu menyat hendak pergi bergegas.
“Eh, tunggu dulu…”
“Ya, Pak Yai…”
“Punya telor?”
“Punya, Pak Yai! Akan saya masak dengan telor!”
“Kasih irisan cabe ya…”
“Sendika dhawuh, Pak Yai!”
“O ya, jangan lupa Indomie gorengnya dobel ya…”
“Siap, Pak Yai!”
“Dan jangan lupa, minta ududmu satu. Untuk kuisap nanti sehabis makan Indomie. Kebetulan ududku habis.”
“Pasti, Pak Yai.” Segera Santri itu berkelebat pergi ke dapur pesantren dengan hati yang gembira.