Sejak dulu, jabatan menteri di Indonesia ini menarik jika dilihat dari sisi prestasi dan psikologi. Prestasi harus bagus. Tapi di sisi lain, harus mampu mengerem byk hal sebab para presiden tak ingin kalah pamor dgn para menteri.
Itu baru satu hal. Ada pula menteri yang mesti dikorbankan ketika terjadi berbagai tekanan politik. Saat Soeharto mau jatuh, kita ingat, hal yang pertama dijanjikan Soeharto justru mau merombak kabinetnya. Itu artinya, dia memberi ilusi bahwa para menterinya lah yang bermasalah. Bukan dirinya. Di zaman Soekarno, bisa kita baca dalam buku sejarah soal kabinet yang jatuh bangun.
Di era SBY, hal yang sama juga terjadi tapi yang diingat publik adalah ketika Sri Mulyani dipaksa hengkang dari kabinet. Ini salah satu drama politik terbesar saat itu. Padahal semua tahu, yang diincar musuh politik SBY dalah SBY itu sendiri. Tapi permainan politik bisa mengubah menjadi titik kompromi sebagaimana di meja catur: ketika raja terdesak, menteri siap dikorbankan.
Sementara kita tahu, SBY pernah menjadi ‘korban’ politik ala presiden Jawa. Tapi dia lihai memutar strategi untuk kemudian berbalik mengandaskan Megawati.
Bagaimana dengan era Jokowi? Beberapa kali Jokowi mengganti menteri. Tapi yang paling mengejutkan adalah ketika dia mengganti posisi Anies. Sialnya, saat itu istana tidak pernah bisa menjelaskan kenapa Anies diganti. Satu-satunya rumor yang bisa dipercaya hanyalah Anies mulai mengganggu kekinclongan Jokowi. Pindaian medsos dan suratkabar digital yang dilakukan beberapa lembaga memang menunjukkan hal itu.
Terlepas dari benar atau salah, Anies keluar gelanggang tampak muka sebagai orang yang ‘dizalimi’. Dan itu modal awal yang kuat baginya ketika mau jadi cagub DKI.
Bagi saya, dari seluruh pikuk acara capres-cawapres kemarin, justru magnet terbesar ada di Anies dan Mahfud. Coba kalau sempat, Anda tonton ulang wawancara Najwa Shihab dengan Anies Baswedan soal batalnya Anies menjadi cawapres Prabowo. Itu propaganda terbaik yang pernah saya lihat.
Saya percaya dengan ‘Mahfud effect’ dalam pilpres dan pileg tahun depan. Tapi yang akan terkena imbas itu mungkin hanya pada level partai. Mungkin PKB dan PPP akan jadi korban kalau tidak cepat bermanuver. Tapi saya percaya dengan ‘Anies effect’. Wawancara di acara Mata Najwa itu, hanyalah halaman awal dari apa yang kelak dipersiapkan oleh Anies. Dia melakukan strategi: menyerang di saat makanan sudah dingin. Dan itu mematikan sebab tidak akan ada yang siap.
Konon, Jokowi paling resah kalau Anies mendampingi Prabowo. Berbagai survei memang terlihat pergerakan yang grafiknya naik terus. Tapi Anies tidak mau. Kubu Jokowi lega. Di situlah, hidangan menjadi dingin. Drama hampir antiklimaks. Namun justru hidangan dingin inilah yang sangat ditunggu Anies…
Saya menikmati God Father dan film-film mafioso lain. Saya menikmati kisah-kisah pergantian raja-raja Jawa yang dramatis. Saya menikmati tontonan politik ini… Ada baiknya Anda membaca lagi ‘Arok Dedes’ karya Pramoedya Ananta Toer sembari mengikuti drama politik panjang, yang akan berjalan sampai delapan bulan ke depan.
Tentu sambil menyeruput kopi…