Karena hendak menerbitkan buku terbaru saya tentang klub judi di waktu muda, tiba-tiba saya ingin mendatangi beberapa tempat yang mengingatkan masa-masa itu. Salah satunya adalah Gudeg Ceker Margoyudan Solo.
Ketika sedang asyik main judi mesin, tiba-tiba Almarhum teman sahabat saya, Sang Tokoh Utama yang kepadanya saya dedikasikan buku saya yang bakal terbit Februari nanti, mengajak makan malam. Kami bertiga keberatan karena mesin kami sedang “nggambar”, sebuah istilah untuk mesin yang bagus, banyak kemenangan yang kami raih, dan poin-poin bertambah.
“Kalian ki kanca cap apa, ana kancane ngelih kok malah ngeboti mesin judi…” Mendengar kalimat seperti itu, seperti biasa kami langsung menggantung kursi, itu artinya tidak ada orang yang boleh memainkan mesin-mesin judi kami karena masih menyimpan uang di sana dalam bentuk poin.
Masuklah kami berempat ke dalam mobil. Ketika salah seorang di antara kami bertanya makan di mana, seperti biasa almarhum hanya bisa menjawab, “Ra sah cerewet.” Kemudian dia menoleh ke arah saya yang duduk di sebelahnya, “lha kok kowe mung meneng wae ki wis tobat po piye?”
Saya agak tak paham maksudnya. Pikiran saya masih tertuju di mesin judi yang saya tinggal. Dan naluri saya menyatakan kami bakal punya sedikit perkara.
“Lha ya dilintingke siji. Murni.”
Saya segera paham. Lalu saya lintingkan dia ganja murni. Saya sulut. Saya ulungkan ke dia. Saat itu sekira jam 1 dinihari. Dan seperti biasa, dalam waktu singkat, mobil kijang merah itu penuh gelak tawa.
Jalan Solo sudah habis kami susuri. Kembali salah satu dari kami bertiga bertanya ke Almarhum: makan di mana?
“Kalasan.”
Ketika Kalasan lewat, kami tanya lagi, dijawab: Prambanan.
“Meh merdukun po piye?” tanya Bagor. Maklum dia agak trauma ketika kami berburu dukun di Prambanan ketika hendak main judi, untuk bertanya kursi nomor mesin berapa yang membawa keberuntungan. Sang Dukung menjawab beberapa nomor kursi. Saya lupa persisnya. Tapi supaya mudah kisah ini, Sang Dukung menyebut angka 81, 85, 87, dan 89. Segera dengan semangat tinggi kami menuju ke salah satu tempat kami berjudi. Akhirnya kami lemas. Nomor kursi hanya berakhir di nomor 60.
“Dukun bajingan,” kata Bagor, “Muhammadiyan ki wis bener melarang wong percaya karo dukun!” Sebagai orang Muhammadiyah, segala hal yang berbau organisasi itu tak pernah dia lupakan.
“Muhammadiyah ki ya melarang judi…” sahut Almarhum saat itu, sambil mengempaskan tubuhnya di salah satu kursi. Dia telah memilih kursi. Akhirnya kami juga.
Kembali ke perjalanan mobil. Sampai Prambanan, sebelum kami bertanya, dia sudah menjawan: “Neng Klaten ketoke luwih akeh pilihan.” Dan begitu kami sampai Klaten, dia segera bersorak seakan kartu mesinnya keluar formasi Siki, “Neng gudeg ceker Solo wae!”
Kami cuma diam. Dia kemudian menceritakan betapa dahsyatnya gudeg ini. Hanya satu yang saya ingat, karena waktu itu Presiden Indonesia adalah Gus Dur, dia bilang bahwa Gus Dur sering makan di situ.
Ketika kami berempat akhirnya sampai di Gudeg Margoyudan, antrean sangat masih sangat panjang. Ketika tiba giliran kami, Ibu Penjual bilang, “Ceker-e telas, Mas…”
Rasanya saat itu seperti saya sedang memencet tombol yang berpotensi Siki atau Full House, tapi keluar Two Pairs. Ibu Penjual merasa kasihan dengan kami, lalu mencoba mencari-cari ceker yang tertinggal, dari ribuan ceker yang terjual dinihari itu. Akhirnya dia mendapatkan dua ceker. Satu dikasih ke Bagor, satu lagi ke Almarhum. Kunthet memang tak makan daging. Sedangkan saya tak merasa penting dapat ceker atau tidak, yang penting adalah meja judi saya.
Kami makan lalu tertawa cekikikan. Pengaruh ganja masih kuat sekali. Cekikikan terus sampai hari menjelang Subuh. Langsung saya lemas ketika menyadari bahwa sudah hampir pukul 4 pagi. Segera kami naik mobil, menuju ke Yogya. Tempat judi tutup jam 5 pagi.
Kami semua kecewa sebab kalau sampai tak terkejar, poin-poin judi kami lenyap. Hanya Almarhum yang rileks. “Kalian kok padha kemrungsung ki ngapa, je? Lha nek ilang poin-e ya mengko sore main maneh…”
Kami bertiga hanya bisa merutuk. Uang kemenangan kami bisa hilang semua karena masih berwujud poin di mesin judi. Dan benar, jam 6 pagi baru kami sampai Yogya. Ketika akhirnya saya diturunkan di kos, sebelum keluar mobil, saya bilang, “Suk maneh nek mangan aja neng Solo, Bung. Kurang heroik. Sisan neng Jakarta wae.”
Percaya atau tidak, beberapa hari kemudian, kami benar-benar makan di Jakarta.
Semalam, untuk mendapatkan ceker, saya sampai Solo jam 11. Padahal warungnya buka jam 2 dinihari. Demi masa lalu yang terus tumbuh di diri kami.