Pagi ini, saya kembali melakukan rutinitas jalan kaki. Tentu saja masih menyenangkan. Lokasinya masih sama dengan kemarin pagi yakni di seputar wilayah Pakem.
Merapi pagi ini tampil memukau. Langit cerah. Sinar matahari perlahan merambat ke Merapi. Sepasang mata saya dibuat takjub. Pikiran kembali segar. Ada semacam kegembiraan yang menyiram jiwa saya.
Bagi orang awam, Merapi sebaiknya tidak meletus. Tapi bagi para winasis dan ahli gunung berapi, Merapi justru sebaiknya meletus. Hanya saja letusannya dicicil, sedikit demi sedikit. Sebab kalau tidak meletus, Merapi justru sangat berbahaya. Energi letusannya tersimpan, dan begitu meletus maka efek destruktifnya dalam sekala gigantik.
Apa yang terjadi di Merapi mungkin mirip di diri kita dalam kaitannya dengan emosi dan beban pikiran. Semua beban dan emosi yang memuncak, lalu muntah, jebol, akan punya efek destruktif pada diri sendiri maupun orang lain. Karena itu, beban hidup dan emosi sebaiknya dikeluarkan dengan cara dicicil. Sokur mencicilnya bisa dilakukan dengan produktif dan estetis: melakukan aktivitas kesenian, berolahraga, bercanda, bersenang-senang, atau laku meditatif baik diam atau bergerak perlahan.
Ada gunung jiwa di diri kita yang jika tidak kita taklukkan akan sangat berbahaya. Tapi jika kita kenali, akrabi, akan baik buat diri kita.