Pertama kali saya makan mi ayam ketika duduk di bangku SMA kelas satu. Di kampung saya waktu itu belum ada orang yang jual mi ayam.
Waktu itu, saya diajak makan mi ayam oleh teman-teman saya di Lasem, tepatnya Pasar Kawak (lawas). Mi-nya besar, jika digigit krekes-krekes. Tidak lembek tapi juga tidak atos. Pas. Kuahnya legit sekaligus segar. Harganya juga tidak terlalu mahal. Di tahun 1992, dengan uang 500 rupiah, saya mendapat semangkuk mi ayam dengan minuman teh botol Sosro dingin.
Habis makan mi dan masih kepedesan, dengan keringat membasahi seragam SMA, lalu biasanya saya dan teman-teman nongkrong di sana sambil udud klepas klepus. Dunia rasanya dalam genggaman. Maklum masa muda.
Saya cukup sering makan mi ayam di Pasar Kawak Lasem, seminggu bisa dua atau tiga kali. Saat itu saya sekolah di Rembang kota dan ngekos. Jarak dari Rembang kota ke Lasem, tidak begitu jauh. Hanya 10 menit naik bis dengan ongkos 200 rupiah sekali naik. Lasem juga kota yang saya lewati jika pulang kampunh seminggu sekali. Biasanya saya juga nongkrong dulu di kota tua itu. Kalau tidak makan mi ayam ya minum kopi sambil nyethe rokok.
Semenjak itu, mi ayam menjadi bagian penting bagi lidah saya. Tapi semua selesai ketika saya tinggal di Yogya. Di kota ini, memang banyak penjual mi ayam. Tapi tidak ada yang pas di lidah saya. Apalagi mi ayam yang di restoran, yang disajikan dengan kuah yang terpisah dan kadang mi-nya tidak bulat melainkan agak kotak. Saya punya sebutan tersendiri untuk mi ayam ala restoran atau warung makan mahal itu: mi ayam genit. Bagaiman tidak genit? Kuah dan mi dijadikan satu saja tidak masalah kok malah dipisah. Kan malah tidak asyik dan ribet.
Baru pada tahun 2008 saya menemukan mi ayam yang pas di lidah saya. Bayangkan, butuh waktu 13 tahun. Namanya: Mi Ayam Babar. Letaknya di jalan Kaliurang dekat UGM. Jadi dari perempatan selokan UGM, ke utara sedikit, ada pertigaan menuju Pogung Kidul. Persis di pojokan itu. Harganya juga tidak terlalu mahal, semangkuk 5.000 rupiah.
Sayang, sekitar tahun 2013, warung Mi Ayam Babar hilang bersalin rupa menjadi, kalau tidak salah, jual ayam goreng. Padahal menurut saya, pelanggan mi ayam itu banyak sekali. Nyaris tidak pernah kosong. Dengan hilangnya warung Mi Ayam Babar, maka lenyap pula mi ayam andalan saya, mi murah ala kampung yang tidak genit.
Mulailah perburuan mi ayam dilakukan lagi. Target saya tentu saja adalah mi ayam gerobak. Bukan apa-apa, mi ayam yang disajikan dengan kuah terpisah tidak pas dengan standar estetika saya. Rasanya sama anehnya melihat orang minum air mineral dengan sedotan. Mbok langsung diminum dari botolnya malah ohyes. Tentu itu menurut saya.
Sampai sekarang, saya belum menemukan mi ayam yang nilainya sama dengan mi ayam di Pasar Kawal Lasem atau Mi Ayam Babar.
Perburuan terus dilanjutkan…
Foto:
Mi ayam yang saya icipi semalam, terletak di Jalan Kaliurang km 8,5. Dekat warung siomay Mang Cepot. Harga: 6.000 rupiah. Rasa: biasa.