Teman-teman, belakangan ini saya kebetulan banyak ditemui oleh beberapa orang dan lembaga untuk bertanya soal monetisasi dalam bisnis digital, terutama untuk proyek rintisan (start up). Sebagian dari mereka merugi. Sebagian lagi, bertanya caranya. Di sini, saya berusaha memaparkan sependek yang saya tahu, berdasarkan pengalaman saya dan pengalaman orang-orang di sekitar saya.
Monetisasi pada dunia digital pada dasarnya ada tiga. Pertama, lewat iklan. Bentuknya macam-macam. Kedua, lewat pasar saham. Ketiga, dengan cara diperjualbelikan.
Sebelum masuk ke persoalan monetisasi, ada beberapa hal yang perlu dijernihkan. Semua orang hampir sepakat bahwa dunia ke depan bergerak ke arah digital. Ya. Tapi persoalannya, apakah uang juga bergerak ke sana? Lebih lanjut lagi, apakah kue iklan akan bergerak ke sana?
Uang bergerak ke sana, jawabnya: ya. Tapi uang iklan bergerak ke sana, jawabannya: belum tentu. Para penggiat dunia digital percaya bahwa kue iklan dunia digital akan berhenti di tahun 2018, lalu akan turun. Lho kok bisa, uang dunia digital membesar, tapi uang ke iklan digital malah mentok dan akan menurun? Bagaimana logikanya?
Saya akan beri gambaran contoh saja. Misalnya produk Kopi X. Selama setahun dia membelanjakan iklan sebesar 100 miliar. Misalnya: 20 persen untuk iklan luar ruang, 40 persen iklan di televisi, 30 persen di cetak, dan 10 persen di dunia maya. Pada tahun 2020, dengan belanja iklan misalnya 200 miliar, komposisi iklannya bisa jadi: 20 persen iklan luar ruang, 30 persen iklan televisi, 10 persen iklan cetak, dan 40 persen iklan dunia maya. Tapi, uang yang dipakai benar-benar untuk memasang iklan justru turun, dari yang awalnya 10 miliar, misalnya menjadi 5 miliar. Lho kok bisa? Bisa.
Sebabnya sederhana. Produk pengiklan sudah tidak membutuhkan media tempat menaruh iklan. Produk Kopi X sudah bisa bertarung sendiri dengan membuat situsweb yang kuat, dan mesin diseminator yang mumpuni. Paling kalau dia mengiklankan diri, hanya lewat media-media macam Twitter, Facebook, dan Youtube.
Di sinilah orang sering abai. Padahal kalau kita telaah, situsweb-situsweb yang ada di Indonesia sudah mengonfirmasi sinyal-sinyal itu. Pendapatan terbesar mereka justru ketika situsweb itu diperjualbelikan. Lihat saja kasus misalnya: detik dan kaskus.
Kecenderungan yang gegabah melihat dinamika dunia digital yang luarbiasa inilah yang menciptakan ilusi. Ada berapa banyak orang yang usahanya gulung tikar karena mencemplungkan uang mereka ke bisnis ini. Ada berapa banyak orang kreatif yang menanggung malu karena sudah berjanji kepada para investor akan mendatangkan keuntungan tapi ternyata yang datang malah kerugian? Semua itu terjadi karena menganggap bahwa perkembangan dunia digital secara otomatis akan memberikan dampak kue iklan yang besar, dan lebih celaka lagi merasa bahwa kue iklan itu dengan mudah bisa dicuilnya.
Nah, lalu bagaimana dunia digital ini memberi peran yang signifikan secara ekonomi? Pertama adalah orang yang punya bisnis riil. Punya produk nyata. Misalnya Anda punya usaha kerajinan tangan, warung makan, jasa potong rambut dll. Karena mereka bisa memanfaatkan kemajuan dunia digital untuk beriklan secara murah bahkan gratis, dan bisa memviral. Hal terakhir ini yang susah terjadi di era sebelum dunia digital maju. Kedua, bagi Anda yang punya ketrampilan jual-beli. Baik Anda menjualkan barang begitu saja, atau kemas ulang dan branding ulang. Ketiga, bagi Anda yang punya kompetensi di ketrampilan-ketrampilan yang kompatibel dengan dunia digital: pemrograman, desain visual, penulisan, termasuk marketing digital, dll.
Nah, kemudian timbul pertanyaan, kalau tidak menjanjikan, kenapa orang-orang kaya itu menginvestasikan uang mereka ke dunia digital? Ya pasti. Pertama, karena itulah masa depan. Walaupun belum bisa dicandra bakal bagaimana pola ke depan, sebagai pebisnis keliru kalau mereka tidak menginvestasikan uang ke masa depan. Kedua, mereka bisa mengiklankan produk-produk mereka lewat dunia digital yang mereka bangun sendiri. Ketiga, karena terlatih dalam bual-beli, mereka bisa punya potensi memperjualbelikannya dengan lebih baik dibanding kebanyakan kita.
Terus, bagaimana sebaiknya kalau kita tidak termasuk orang-orang yang masuk dalam kategori di atas?
Menurut saya tidak ada masalah. Banyak orang punya hobi mahal misalnya mengoleksi mobil, lukisan, perhiasan, dll. Apa salahnya jika Anda mengoleksi situsweb? Keren juga, kan?
Atau untuk perjuangan ideologi. Kan justru ini saat yang paling baik. Di situ kita bisa menyebarkan gagasan dan ideologi kita dengan masif dan nisbi murah serta nisbi mudah.
Jadi, hati-hati dengan jebakan monetisasi. Anda bisa kena ilusi. Lebih baik bersenang-senang dengan situsweb Anda. Bergembiralah.