Bagi kebanyakan penggemar sepakbola, Mourinho bisa jadi adalah bintang. Termasuk saya. Dia muncul dari pinggir panggung yang redup dengan karakternya yang kuat, kecerdikannya yang tajam, dan pesonanya yang terang.
Soal prestasi, sudahlah. Mou, bahkan ketika mendaku dirinya sendiri sebagai The Special One pun langsung diamini oleh pers dan pecandu olahraga sepak dan sundul ini. Tapi akhir-akhir ini, Mou kehilangan pesonanya. Karakternya luntur. Dia hampir saja kehilangan semua hal yang membuat fans sepakbola di penjuru dunia dahulu begitu memujanya.
Sebetulnya apa sih yang spesial dari Mou? Kepiawaiannya dalam meracik taktik? Ada terlalu banyak pelatih sepakbola yang juga hebat. Dan hampir semua pelatih jika direkrut kesebelasan besar untuk menukangi, kemampuan itu wajib adanya. Jadi bukan itu semata. Kemampuannya dalam menyusun pemain? Dalam dunia sepakbola yang makin industrialis, puluhan klub dengan ratusan pemain, sesungguhnya semua ada di level yang tak jauh amat bedanya. Terutama jika para pemain itu ada pada kesebelasan-kesebelasan kaya. Semua hampir setara. Kehebatannya dalam membuat drama saling lempar ejekan? Ah, semua pelatih besar sangat terlatih untuk hal begituan. Sama kayak politikus kita. Itu hal yang secara “kultural” akan tumbuh bersama mereka.
Jadi apa yang sebetulnya spesial dari seorang Mou? Bagi saya, dia memiliki apa yang saya sebut sebagai “kijang bidikan”. Kalau Anda menggeluti ilmu kepemimpinan, ada satu manuver pemimpin yang jarang diambil karena risikonya terlalu berat: menjadi kijang bidikan.
Ketika organisasi Anda dalam masalah yang berat, ketika kekalahan atau kekeliruan sedang menimpa anak buah Anda, sementara musuh dan publik menyorot itu dengan lampu yang teramat benderang, maka Anda harus keluar dari sebuah gerumbul, bagaikan seekor kijang. Para pemburu yang sudah mengepung pasukan Anda dengan semua senjata yang ada, segera mengalihkan fokus. Mengejar Anda. Memburu Anda. Ingin membunuh Anda. Ingin menumpas Anda. Dan Anda harus terima risiko itu. Untuk kemudian membiarkan pasukan Anda kembali menemukan waktu jeda, menemukan diri mereka kembali, memperbaiki kesalahan, menempa diri lagi, bertarung lagi. Menjadi kuat. Dan makin kuat.
Begitu mereka sudah kuat lagi, saatnya Anda masuk ke gerumbul lagi. Biarkan anak buah Anda menerima sorotan atas prestasi mereka.
Dulu, Mou melakukan itu. Ketika pers dan publik hendak membunyaki para pemain dan kesebelasannya, dia muncul di panggung dengan sorot lampu yang terang. Mencibir. Membuat kegaduhan. Menjadikan dirinya sebagai kijang bidikan. Di saat yang sama, para pemainnya merasa aman, segera memperbaiki diri, lalu berprestasi. Mou, lebih dari sekadar pelatih. Lebih dari seorang yang terlatih membuat drama. Dia siap mengorbankan dirinya sampai habis.
Tapi semenjak musim lalu, Mou tampil menyedihkan. Dia buang aib kesebelasannya ke pubik, dia melakukan konfrontasi terbuka dan melebar ke para pemainnya, orang-orang yang seharusnya dipimpinnya. Hingga semua berakhir dengan antiklimaks: Mou terusir. Dia bukan lagi keluar sebagai “kijang bidikan” yang molek dan memancing para pemburu. Dia tak lebih dari harimau budukan yang berjalan gontai dan sekarat, dan hanya dikejar oleh ribuan lalat.
Semua orang berharap, ketika Mou kemudian berlabuh ke MU, bahkan para “haters” MU pun berharap Mou kembali menemukan jatidirinya. Sebab urusan sepakbola bukan melulu soal menyepak kulit bundar dan menyarangkannya ke dalam gawang.
Tapi apa yang terjadi setelah MU mengalami tiga kekalahan beruntun? Mou menyalahkan nasib, menyalahkan wasit, dan menyalahkan pemainnya. Menyedihkan sekali.
Kalau seperti ini terus terjadi, Mou bukan hanya akan terusir dari MU. Tapi juga dari panggung sepakbola. Panggung yang sekalipun menjadi makin industrialis dan kapitalis, tapi suportivitas dan sekian nilai yang dirindukan manusia, akan terus berusaha dipelihara dan dijaga martabatnya.
Kamu ada apa, Mou? Ayolah!