Kiai Pantura yang makin sepuh wajahnya makin bersinar dan teduh itu agak heran. Sudah beberapa hari ini, di depan rumahnya, di luar pagar, ada sosok tua yang celingukan. Namun setiap kali Kiai Pantura itu berusaha mendekati, orang tersebut dengan cepat pergi.
Sore ini, Sang Kiai tak mau kalah gesit. Dia menyelinap terlebih dahulu keluar dari dalam rumahnya, amping-amping dekat pagar, dan begitu orang yang ditunggunya tiba, langsung dicilukba.
Sosok yang terpergok itu langsung gedandapan. Kaget bukan kepalang. Sadar hal itu tidak baik, segera tangan Sang Kiai menggamit lengan laki-laki itu. “Mari masuk rumah saya, Kisanak…”
Walaupun dengan agak ragu, sosok itu masuk. Lalu mereka duduk berhadap-hadapan di atas tikar, di dalam rumah Sang Kiai yang adem. Setelah menawari minum, Sang Kiai bertanya dengan suara yang sareh. Sabar dan ramah. “Kisanak ini sebetulnya ada apa? Kok sudah berhari-hari gelibetan di depan rumah saya, kalau saya datangi, malah pergi…”
Orang yang ditanya, dari wajahnya mungkin seumuran dengan Sang Kiai: 70 tahun lewat sedikit. Dengan ragu, orang itu berkata, “Pak Yai, saya itu sebetulnya mau belajar salat…”
Mendengar itu, Sang Kiai hendak langsung menjawab. Tapi diurungkan. Sebab terlihat kalimat sosok sepuh di hadapannya belum rampung bicara.
“Saya datang ke beberapa orang, minta diajari salat… Tapi kok susah sekali. Umur saya ini sudah 70 tahun lebih. Baru mau belajar salat. Jangankan mengapal bacaan, urut-urutan wudu saja saya sering lupa…
“Belum lagi gerakan-gerakan salat. Membunguk harus begini, sujud harus begitu, duduk di antara dua sujud harus begini, duduk tahiyat awal dan tahiyat akhir harus begitu, dan seterusnya…
“Kalau harus menghapalkan doa sepanjang dan sebanyak itu ya berat, Pak Yai. Belum lagi gerakan-gerakannya untuk balung tua kayak saya ini…”
Sang Kiai diam. Tapi tetap dengan wajahnya yang sumeh. Selalu tersungging senyum di bibirnya. “Lha maksud Kisanak, bagaimana?”
“Anu Pak Yai, kalau saya belajar sama mereka salah terus. Saya makin tegang, makin takut salah, malah tambah sering salah…”
“Terus?”
“Mmm… Bisa gak Pak Yai mengajari saya salat yang mudah?”
“Bisa.”
“Bagaimana itu, Pak Yai? Saya hanya hapal Alfatihah saja…”
“Lha itu sudah cukup.”
“Bacaan-bacaan yang lain?”
“Sampeyan bisa gak?”
“Tidak bisa, Pak Yai.”
“Ya kalau tidak bisa, tidak usah.”
“Boleh begitu?”
“Boleh.”
“Masak sih, Pak Yai?”
“Lho Sampeyan ini memanggil saya Pak Yai, bertanya kepada saya, saya jawab, kok malah masih tanya: Masak Pak Yai. Gimana sih…”
Sosok di depan Sang Kiai tersenyum malu. Lalu dia berkata, “Kok mudah ya, Pak Yai…”
“Mau lebih mudah lagi dan lebih baik?”
“Ada yang lebih mudah tapi sekaligus lebih baik?”
“Ada.”
“Bagaimana itu, Pak Yai?”
“Setiap kali tiba waktu salat, Sampeyan datang saja ke masjid. Sampeyan tinggal datang, berdiri di belakang imam, ikuti semua gerakannya. Beres.”
“Wah kok mudah, Pak Yai…”
“Ya memang mudah.”
“Kalau belajar di tempat lain kok bisa jauh lebih susah?”
“Sudah, tidak perlu membicarakan orang lain. Yang paling penting sekarang sudah tahu cara salat yang mudah kan?”
Laki-laki tua itu mengangguk. Mereka bersalaman. Sebelum laki-laki tua itu mencium tangan Pak Kiai, Pak Kiai mendahului mencium tangan tamunya.