Jika suatu malam, di pojok jalan penuh cat semprot dan darah kering, segerombolan pamflet tua berkumpul di bawah sinar neon yang mendesis seperti ular, mereka akan saling menatap dalam lipatan kusut dan bertanya: “Jika tinta bisa ditarik kembali, apakah kau akan tetap memilih dicetak?” Mayoritas dari mereka diam, seperti sobekan kertas yang tak pernah dibaca. Yang paling tua—pamflet bertahun ’98, dilipat berkali-kali dan pernah dilempar ke udara seperti doa—hanya terkekeh: “Kami tak pernah memilih. Kami dibikin, dilempar, dibakar, dan dilupakan.”
Di sudut ruang tak bernama, seekor megaphone tua menjerit tanpa suara. Ia pernah menyuarakan nama-nama yang sekarang jadi jargon di baju sablonan. Tenggorokannya serak oleh teriakan ribuan mulut. Tapi malam ini, ia hanya ingin tidur, dikeloni puisi yang tak pernah selesai ditulis oleh spidol permanen yang patah di tengah jalan.
Di atap kampus, poster revolusi tergantung miring. Sudah setengah terkelupas. Wajah-wajah di dalamnya buram oleh waktu, mata mereka menatap tajam ke arah yang tak lagi ada. Mereka dulu dielu-elukan. Sekarang digigit rayap dan nostalgia. Di bawah tanah, grafiti yang ditulis pakai darah bercampur cat menyanyikan mantra. Ia bukan sekadar coretan. Ia kutukan. Ia mural yang menggerogoti tembok kekuasaan. Jika kau dengarkan baik-baik, ia bicara dalam bisikan: “Kami tak lahir dari galeri. Kami lahir dari marah.”
Lalu datang para ketapel dan batu, diam-diam menyusun simfoni. Mereka tak bisa bicara, tapi setiap lemparan mereka punya tujuan. Ada batu yang pernah membelah kaca gedung dewan. Ada batu yang hanya nyasar ke tiang listrik. Semua punya sejarah. Semua menyimpan luka. Semua ingin dicium kembali oleh tangan-tangan yang dulu berani. Molotov adalah pendeta. Tubuhnya rapuh dari botol bekas dan api yang lapar. Ia pernah menjadi doa yang dilempar ke udara, memecah sunyi malam jadi jeritan. Kini ia disimpan di bawah kasur, bersama kenangan yang tak berani dibuka.
Kurpol berdiri paling belakang. Dengan helm baja dan tas selempang penuh kopi instan, ia seperti jenderal tanpa pasukan. Ia paham taktik. Ia hafal jam-jam patroli. Ia tahu di mana mata-mata tidur. Tapi sekarang ia menganggur. Ia jadi bayangan yang tak bisa dielap dengan penghapus sejarah. Di tengah mereka semua, selebaran paling muda gemetar. Ia baru saja dicetak. Tinta di tubuhnya belum kering. Ia belum tahu bahwa ia akan diludahi hujan, diinjak sepatu, atau dibakar oleh ketakutan. Tapi ia ingin terbang. Ia ingin jatuh di pangkuan seseorang yang marah. Ia ingin dibaca dan dipercaya.
Lalu datang bom rakitan, pendiam, kecil, dan sangat sabar. Ia bukan pahlawan. Ia bukan simbol. Ia hanya opsi terakhir. Tapi kadang, dunia memang butuh dentuman untuk mendengar. Dan malam itu, semua perangkat revolusi duduk melingkar. Tak ada manusia. Tak ada orasi. Tak ada komando. Hanya benda-benda yang pernah jadi saksi. Mereka bersulang dengan botol kosong, bernyanyi dalam bahasa yang hanya dimengerti luka. Satu pamflet bertanya pelan: “Apakah demokrasi pernah sampai?” Megaphone menjawab: “Entah. Tapi setidaknya kita pernah dilempar dengan harapan.”