Saya punya teman kuliah, namanya: Shalahuddin Ghazali. Suatu saat dengan muka sendu ia bilang ke saya: “Thut, aku meh ganti jeneng.”
“Lha ngapa,” tanya saya.
“Aku kabotan jeneng.”
“Meh mbok ganti jeneng apa?”
“Pacul apa ya?”
Waktu itu saya diam saja. Arek gendheng, batin saya. Tapi sampai sekarang, namanya tetap Shalahuddin Ghazali.
Saya juga punya teman yang lain. Namanya: Gajul. Pernah suatu saat saya tanya nama aslinya, ternyata: Muhammad Zulfikar Adityawarman. Saya tanya, apakah sebutan “Gajul” itu paraban dari teman-temannya?
“Tidak,” jawabnya. “Aku kabotan jeneng. Njuk nggawe jeneng paraban dhewe.”
Kalau kita telisik nama-nama orang yang lahir di tahun 2000 ke sini, maka kita akan menemukan hal berikut ini:
1. Tidak langsung diketahui dari mana asalnya. Nama orang Sulawesi, Jawa, Batak, Maluku dll, hampir sama. Sedikit pengecualian: Bali.
2. Internasionalisasi nama. Dalam satu nama ada kata yang diambil dari bahasa Latin, Yunani, Arab, Inggris, India dll.
3. Susah dilafalkan. Karena diambil dari bahasa-bahasa yang kaidah pelafalannya tidak diketahui, orang yang membaca nama tersebut keliru ketika melafalkannya.
4. Kolom nama tidak cukup. Kadang dalam sebuah nama ada 4 sampai 6 kata. Jumlah huruf masing-masing kata bisa 5 bahkan ada yang sampai 10 huruf. Jumlahkan sendiri. Akibatnya kolom nama di blangko-blangko dan presensi tidak cukup.
5. Tidak mudah diingat. Saya kira jelas alasannya.
Dari 5 poin tersebut, kira-kira, apa maksud orangtua mereka memberi nama-nama seperti itu?
Biar terlihat maju, cerdas, dan keren? Apakah yakin bahwa makna kata-kata yang dipilih dari sekian bahasa manca itu tepat?
Syahdan, ada orang punya anak. Agar terlihat islami, ia memberi nama anaknya: Muhammad Musyrikin. Ketika nama anaknya tersebar, seorang kiai kampung memintanya mengubah dengan memberi sedikit penjelasan. Akhirnya Si Bapak membuat kenduri ulang dan mengumumkan nama anaknya yang baru: Iqbal Dholimin.
Selamat menikmati Minggu sore…