Beberapa minggu lalu, ada orang mengirimi saya kutipan tulisan saya lewat medsos. Saya hampir tidak pernah terlalu peduli dengan kutipan macam itu. Tapi khusus kali itu tidak. Karena tertulis: “Puthut EA; Dua Sisi Sunyi).
Saya butuh waktu lama untuk mengingatnya. Mesin pencarian google pun tidak bisa menemukan. Tapi saya merasa pernah membuat tulisan itu. Tapi di mana?
Hingga suatu saat, iseng saya membaca di Facebook status Uda Alfi-Limbak Malintang Sati yang mengunggah tulisan saya. Tentu tulisan itu dianggap bagus dan dipuji banyak orang. Tapi saya tak begitu peduli. Puji-pujian sudah bukan hal yang penting buat saya. Hanya saja, saya merasa, sepertinya ada hubungan antara karya saya yang lenyap itu dengan Uda Alfi. Saya kemudian menggoogling lagi nama Alfi, dan menemukan judul pameran “Dua Sisi Sunyi.” Ini dia!
Tapi sayang, saya tak mendapatkan informasi apa-apa. Tidak ada nama saya di sana. Apalagi karya saya. Kemudian saya kontak Uda Alfi, apakah dia punya katalog pameran atau semacamnya? Malah dia curhat. Lukisan-lukisannya khusus di pameran itu, lenyap. Padahal itu salah satu seri karya terbaiknya. Mendapati dia kehilangan lukisan-lukisannya yang mahal itu, dan membandingkannya dengan saya yang hanya kehilangan sehimpun prosa, saya agak sumeleh. Ya sudah, mau gimana lagi.
Tapi dengan bercakapnya kembali saya dengan Uda Alfi terkait naskah saya, membuat saya tiba-tiba punya gambaran tentang prosa itu. Itu adalah salah satu prosa paling memuaskan yang pernah saya tulis. Terdiri dari 7 atau 8 tulisan.
Beberapa hari kemudian, setelah mencoba bertanya ke beberapa orang yang punya kemungkinan memiliki naskah itu, tetap saja tidak ada hasilnya, saya pun menyerah.
Mendadak dua minggu lalu, Uda Alfi memberitahu kalau kayaknya dia punya barang satu kopi naskah itu. Semangat saya menyala kembali. Sayang dia tak berkabar lagi.
Hingga beberapa hari lalu, di halaman Facebooknya dia mengunggah foto yang mengabarkan kalau dia sedang di studionya. Cepat saya menjaprinya dan meminta kepastian. Ternyata dia bilang ada. Bahkan dua buah. Satu dijanjikan untuk saya. Saya gembira sekali.
Sore tadi, lewat jasa gosend saya menerima kiriman naskah yang hilang itu. Buru-buru saya buka, dan saya baca lagi karya yang hampir saya anggap lenyap itu. Hal yang sungguh mustahil mau saya lakukan dalam kondisi biasa. Saya tidak pernah mau membaca apalagi memeriksa ulang tulisan saya. Dan saya merasakan sesuatu menyenangkan merambat di dada. Ternyata jumlah karya saya ada 9 buah prosa. Kesembilan karya itu punya satu kesatuan. Tidak terpisah satu sama lain.
Terimakasih, Uda! Apalagi dia bilang, jika naskah itu diterbitkan boleh memakai lukisannya yang hilang sebagai sampul buku. Sungguh saya sedang diguyur rahmat sore ini.
Kini saatnya mencari penerbit yang cocok untuk menerbitkan naskah ini…