Tidak ada sedikit niat pun di hati saya untuk menulis hal yang jelek di tulisan ini. Baik itu tentang Islam, NU atau Muhammadiyah. Kebetulan saja, sore ini saya teringat masa-masa muda dulu, saat masih mahasiswa.
Sebagai bukti bahwa saya tidak mungkin punya niat buruk di dalam tulisan ini tentang dua organisasi Islam di atas, saya beber sedikit kisah sebagai latar. Bapak saya berorganisasi Muhammadiyah, ibu saya juga. Besar kemungkinan kenapa ibu saya di Muhammadiyah, mungkin karena pengaruh bapak saya. Tetapi sejak kecil, justru oleh bapak, saya selalu dicarikan guru ngaji dari NU. Kalau tidak salah ada dua alasan yang saya ingat: Pertama, supaya tajwid dan Bahasa Arab saya bagus. Kedua, ini yang lebih penting, di lingkungan saya, jarang ada orang Muhammadiyah yang jadi guru ngaji.
Total sampai saya SMP, ada setidaknya 5 guru mengaji saya yang semua dari NU. Tetapi harapan bapak saya kandas, sampai besar, saya tidak menguasai Bahasa Arab, hal yang kemudian paling saya sesali ketika sudah besar. Kalau ada pelajaran nahwu-sharaf, saya selalu membolos. Saya memang agak mbeling waktu kecil…
Menjadi Muhammadiyah di lingkungan saya adalah minoritas. Tetapi bapak saya, sejauh ini orang yang paling santai menghadapi perbedaan itu. Ia tidak pernah memaksa saya masuk ke organisasi tersebut, sampai sekarang. Hanya, dulu sekali, saat saya mau masuk perguruan tinggi, ia berpesan kalau aktif berorganisasi, saya diminta untuk memilih masuk HMI. Alih-alih masuk HMI, kelak saya malah ikut mendirikan LMND.
Sikap santai bapak saya, terbawa sampai tingkat yang “agak longgar”. Kalau terjadi perbedaan hitungan saat hari raya Idul Fitri, bapak saya selalu ikut NU. Kalau hitungan Muhammadiyah lebih dulu tiba, ia tetap tidak puasa di hari itu, tapi melakukan salat Id di keesokan harinya, ikut NU. Ada satu lagi, sekalipun Muhammadiyah, kalau tarawih bapak saya selalu memakai hitungan 20 rakaat, dan kalau salat Subuh selalu memakai doa Qunut.
Saat kuliah, karena terlibat di kegiatan politik mahasiswa, saya terbiasa berkeliling kota. Di saat itulah, saya sering bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan. Kisah-kisah bersama mereka, juga candaan, selalu saya ingat.
Di Surabaya, saya pernah bertemu dengan seorang pentolan aktivis mahasiswa PMII yang kuliah di 2 perguruan tinggi, satu di IAIN dan satu lagi di Universitas Kisten Petra. Ia, NU tulen. Sebutlah namanya: Muhaimin.
Di kalangan NU, ada berbagai macam lelucon (saya kira tidak ada niat untuk mengejek) antara NU dan Muhammadiyah. Muhaimin pernah bertanya kepada saya, apa perbedaan orang-orang Muhammadiyah dan orang-orang NU di saat mereka bertemu? Orang Muhammadiyah akan bertanya, “Anda sudah salat?” Sedangkan orang NU akan bertanya, “Sampeyan sudah makan?”
Muhaimin juga pernah bercerita, tentu saja ini hanya guyonan belaka. Suatu saat, ada anak seorang Kiai NU yang kuliah di luar negeri. Di perantauan, si anak berpacaran dengan orang Yahudi. Kemudian mereka akan menikah. Lalu si anak pulang ke Indonesia untuk minta izin menikah kepada bapaknya.
“Pak, saya mau menikah…”
“Alhamdulillah… Memang seumuranmu sudah pantas menikah…”
“Tapi…” (Dengan nada ragu dan agak takut…)
“Kenapa?”
“Calon istri saya…”
“Kenapa?”
“Orang Yahudi….”
Si bapak diam sejenak. Lalu tersenyum dan berkata, “Alhamdulillah… Kukira calon istrimu orang Muhammadiyah…”
Mendengar itu, saya tertawa ngakak. Lalu saya bercerita soal bapak saya, yang orang Muhammadiyah tapi kalau salat Subuh memakai doa Qunut dan kalau salat Tarawih memakai hitungan 20 rakaat. Muhaimin kontan merespon, “Bapakmu itu bukan Muhammadiyah, tapi NU cabang Muhammadiyah!”
Ada banyak kisah-kisah lucu seperti itu. Tetapi yang termutakhir, beberapa minggu lalu, saat saya singgah di Jakarta dan bertemu dengan kawan lama saya yang menjadi wartawan. Sebutlah namanya: Zaki.
Zaki orang Jawa Timur, kalau ngomong ceplas-ceplos dan medok. Ia, Muhammadiyah tulen. Sekalipun sudah tinggal lebih dari 10 tahun di Jakarta, dan kalau ngomong kadang sudah pakai Elu-Gua, tetap saja “G”-nya tebal dengan cengkok Jawa Timuran…
Sebagai wartawan, ia sudah berkeliling dunia. Tetapi ia mengaku kalau tidak begitu lanyah berbincang dalam bahasa Inggris. Kemudian ia bercerita…
Suatu saat, karena kesal dengan keterbatasannya, ia ingin menguasai bahasa Inggris dengan cara cepat. Pada saat itu sedang tenar model menguasai bahasa asing dengan cara membaca mantra-mantra, yang menjamur di daerah Jawa Timur. Kemudian ia mengontak salah satu temannya untuk sama-sama datang ke tempat yang bisa menguasai bahasa asing hanya lewat mantra.
Entah kenapa, ibunda si Zaki ini tahu kalau si anak mau melakukan hal itu. Lantas sang ibu menelepon Zaki…
“Zak, aku dengar kamu mau belajar bahasa Inggris dengan mantra-mantra?! Lebih baik kamu gak bisa apa-apa daripada kamu menjadi musyrik!”
Takut dengan ancaman sang ibu, Zaki langsung menelepon temannya yang sudah dijanjikan untuk berangkat bersama-sama belajar bahasa lewat mantra.
“Aku enggak jadi berangkat…”
“Kenapa?”
“Koen enak NU… Lha awak iki Muhammadiyah, Rek! Repot iki urusane…” (Kamu enak karena orang NU, saya ini orang Muhammadiyah! Jadi repot urusannya…)
Sore ini, saya benar-benar tertawa ngakak sendirian, mengingat kejadian-kejadian itu…