Mungkin maksud langkah politik lembaga relawan “Kawan Ahok” ini baik. Tapi bisa jadi ini sebuah kekeliruan langkah politik yang justru bisa menjegal Ahok menjadi Gubernur DKI untuk kali kedua.
Mari kita lihat bahwa niat politik ini semula terlihat tepat. Pertama, jelas dari semua calon yang bakal muncul, popularitas Pak Ahok lebih mencorong. Kedua, dia juga petahana. Dalam Pilkada kali ini, petahana memang cukup diuntungkan dengan berbagai pembatasan kampanye langsung dan alat peraga kampanye.
Kawan Ahok ini mungkin dibuat agar nilai tawar Pak Ahok tinggi di depan partai-partai politik. Sehingga jika kelak dia menang maka tidak mudah baginya untuk disetir oleh parpol-parpol yang kelak akan mengusungnya.
Tapi ternyata persoalan menjadi rumit ketika hanya ada satu parpol yang siap mengusungnya yakni Nasdem. Dengan perolehan Nasdem yang hanya 5 kursi, maka Pak Ahok hanya punya satu jalan keluar: lewat jalur independen.
Artinya, Kawan Ahok yang semula dipakai sebagai pendukung sekaligus pemberi nilai tawar, ternyata berbalik sebagai pengganjal. PDIP yang cukup dekat dengan Ahok pun kemudian menjauh. PDIP sadar, dalam pertarungan politik di DKI, mesin politik lebih utama. Selain itu, dia juga sadar, Kawan Ahok akan segera mengisolir parpol pendukung jika nanti menang.
Di sinilah kekeliruan ini bisa berujung tragis. Petahana dengan popularitas yang sangat tinggi, ternyata tidak membuat Ahok dengan mudah memenangi laga. Bahkan jika nanti calon yang muncul 4 pasang, belum tentu Ahok akan lolos ke babak kedua.
Di Pilkada DKI jelas ada beberapa partai yang sudah cukup punya pengalaman dan menguasai medan. Termasuk punya kader-kader dan mesin politik yang efektif. Hal itu bisa terlihat dari perolehan kursi DPRD. Sebut saja PDIP (28 kursi), Gerindra (15 kursi), dan PKS (11 kursi). Memang, perolehan kursi ini tidak secara otomatis menjamin kemenangan calon yang bakal diusung. Tapi jangan lupa, perolehan kursi ini setidaknya menunjukkan mesin politik partai-partai tersebut bekerja dengan baik.
Dalam situasi seperti ini, apa yang paling mungkin bagi Ahok? Keliru besar jika dia mengandalkan mesin relawan Kawan Ahok. Untuk gebyar kampanye dan hore-hore sih tidak masalah. Menurut saya, duel politik ini akan cukup berimbang lagi kalau Ahok bisa mendekati partai lain yang punya mesin cukup besar. Misalnya Hanura dan Demokrat, yang masing-masing punya 10 kursi. Tapi masalahnya, kedua partai tersebut mau atau tidak? Terlebih jika Ahok “dipagari” betul oleh relawan Kawan Ahok.
Kalau kemudian ternyata partai-partai lain sepakat diam-diam untuk “mengisolasi” Ahok, perkara menjadi makin runyam.
Sekali lagi, dalam politik, niat baik kadang tidak cukup. Karena niat baik yang tidak diimplentasikan dengan strategi yang baik, akan membuat siapapun bisa tergelincir. Dan hal itu bisa menimpa Ahok.
Jadi begitulah…