Di diri saya sedang terjadi pertempuran antara Dian Sastro versus Dian Sastrowardoyo. Sosok pertama adalah realitas yang dihadirkan oleh media, dan yang kedua adalah seseorang yang sibuk meyakinkan orang lain agar memanggil dirinya dengan Dian Sastrowardoyo atau Dian saja.
Suatu sore, teman saya menyodorkan sekeping cakram padat yang berisi rekaman sebuah acara reality show bertajuk Mimpi Kali Yee. Acara ini disiarkan oleh SCTV dan kali itu berisi tentang mimpi dua remaja putri yang menjadi kenyataan, bertemu dengan idolanya: Dian Sastro. Di salah satu bagian dalam acara tersebut, kita bisa mendengar dan melihat bagaimana Dian Sastro mencoba membenarkan cara orang memanggil dirinya. Panggilan yang tepat bagi dirinya adalah Dian Sastrowardoyo atau Dian saja, sebab nama Sastrowardoyo adalah nama keluarga yang ditulis dengan satu kata, tidak terpisah, sehingga nama Dian Sastro tidak tepat. Dibalik hal tersebut, ada sebuah fenomena yang menarik, karena ada dua ‘Dian’ yang sedang beroperasi di tengah khalayak, Dian yang pertama adalah Dian Sastro yang selama ini dicitrakan media massa, dan satu lagi Dian saja atau Dian Sastrowardoyo yang beroperasi sebagai dirinya sendiri di tengah teman-teman dekatnya maupun keluarganya, dan yang kebetulan waktu itu punya kesempatan untuk ‘membenarkan’ Dian Sastro versi lain yang sudah terlanjur dicitrakan media massa. Dalam diri seorang konsumen media massa, atau paling tidak pada diri saya, dimulailah genderang pertempuran antara Dian Sastro versus Dian saja.
Saya tidak kenal Dian atau Dian Sastrowardoyo, yang saya kenal adalah Dian Sastro. Sekalipun saya tahu nama lengkap Dian Sastrowardoyo bahkan nama panggilan dia sehari-hari lewat berbagai media massa, namun nama yang melekat kuat di benak saya adalah nama Dian Sastro. Permasalahan nama kemudian menjadi tidak sederhana lagi di dalam kasus ini. Bagi saya, Dian yang selama ini saya kenal cukup baik dengan perantara berbagai media massa adalah Dian Sastro. Dan saya merasa sangat akrab dengannya.
Beberapa tahun yang lalu, saya mengenal Dian Sastro lewat seorang teman. Dia membawa sebuah majalah yang berisi wawancara eksklusif dan foto Dian Sastro. Teman saya itu begitu mengagumi Dian Sastro, dan ketika saya melihat foto serta membaca wawancara yang ada, saya merasa teman saya berlebihan. Bagi saya waktu itu, Dian Sastro tidak lebih dari selebritis yang lain, menarik sebentar untuk kemudian dilupakan atau dengan cepat diganti oleh kemunculan selebritis yang lain.
Hampir bersamaan dengan peristiwa itu, saya menonton sebuah video klip di televisi yang menggunakan Dian Sastro sebagai modelnya. Mungkin klip itu lebih dulu muncul dibanding wawancara di majalah yang dibawa teman saya. Tapi karena saya tidak mempunyai perhatian khusus dengan sosok Dian Sastro, saya tidak begitu mencermati dan menandai apakah wawancara di majalah itu lebih dulu ada atau klip itu yang lebih dulu muncul. Waktu itu saya menonton dengan pacar saya yang dengan nada seperti agak kesal bertanya, apakah menurut saya Dian Sastro itu cantik atau tidak. Dengan tegas saya menjawab bahwa Dian Sastro tidak cantik. Saya bahkan menambahkan bahwa ia, pacar saya, lebih cantik dibanding Dian Sastro. Pacar saya pura-pura cemberut waktu itu, tapi saya tahu, dia senang sekali. Tidak lama setelah itu, saya putus dengan pacar saya, dan saya tetap tidak menaruh perhatian kepada Dian Sastro.
Hingga kemudian tibalah suatu masa di mana hari-hari saya dipenuhi oleh Dian Sastro. Setiap kali saya mengobrol dan bertemu dengan teman-teman saya, satu-dua nama Dian Sastro pasti disebut. Ketika saya menonton televisi, saya melihat potongan-potongan wajah Dian Sastro, dan ketika saya membaca koran maupun majalah, selalu ada Dian Sastro entah berbentuk foto maupun lengkap dengan kisah tentangnya. Waktu itu, Dian Sastro sedang memerankan seorang tokoh dalam film remaja yang tidak mungkin saya lupakan: Ada Apa Dengan Cinta (AADC).
Suatu saat, saya benar-benar sangat penasaran untuk melihat film AADC, tapi setiap kali saya lewat gedung bioskop Mataram, satu-satunya gedung bioskop yang saat itu memutar film AADC di Yogya, saya jadi kembali malas karena melihat antrean yang luar biasa panjang. Satu peristiwa yang membuat saya nyaris takjub sekaligus membuat saya kesal karena menyadari saya tidak akan sanggup mengikuti antrean itu hanya gara-gara penasaran ingin menonton sebuah film.
Tapi rupanya saya beruntung saat itu. Seorang teman saya sudah menonton film AADC dua kali bersama temannya, dan pacar teman saya itu juga sudah menonton dua kali bersama teman-temannya. Mereka berdua lalu memutuskan untuk menonton film itu berdua. Sayangnya, ketika tiket sudah terbeli, pacar teman saya ternyata ada acara mendadak dengan keluarganya. Lalu teman saya menawarkan agar saya mengganti tiket yang sudah terbeli. Dengan senang hati, akhirnya saya berangkat berdua bersama teman saya tersebut.
Saya masih ingat persis bagaimana suasana di gedung bioskop saat itu. Selain saya melihat banyak sekali anak muda, saya juga melihat banyak orangtua yang datang bersama anak-anak mereka yang mungkin masih berada di bangku sekolah dasar. Dari percakapan antarorangtua yang sempat saya dengarkan, mereka menonton film itu karena anak mereka bersikeras bahkan menangis jika mereka tidak mengajak menonton film AADC.
Ketika masuk ke dalam gedung bioskop ternyata nomor kursi saya ada di barisan depan sehingga harus mendongakkan kepala saat menatap layar. Saya menonton film AADC dengan cara yang tidak nyaman. Belum lagi sound system gedung bioskop tersebut ternyata tidak jelas sehingga banyak percakapan di dalam adegan film AADC yang tidak bisa saya ikuti dengan jelas. Selain itu, suasana di dalam gedung bioskop juga sangat bising, setelah saya perhatikan baik-baik, anak-anak muda itu selain memang datang dengan berombongan, ternyata mereka sudah pernah menonton film ini sebelumnya. Saya bisa menduga hal itu karena mereka sangat hapal dengan seluruh adegan film. Dering telepon genggam juga terdengar di sana-sini menambah gaduh suasana di dalam gedung, bahkan ada beberapa orang yang membawa peluit dan meniupnya di saat adegan-adegan yang ramai dan menyenangkan, misalnya adegan ketika Cinta berciuman dengan Rangga. Di gedung bioskop itulah pertama kali saya mengakui bahwa Dian Sastro cantik sekali. Bahkan waktu itu saya sempat mengatakan pada teman saya bahwa Tuhan lupa menaruh kekurangan pada manusia ciptaan-Nya yang bernama Dian Sastro. Dan waktu itu saya mengeluarkan joke dengan pertanyaan: Apakah persamaan kota Bandung dan Dian Sastro? Jawabnya, sama-sama diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.
Semenjak itu, hari-hari saya tidak bisa dilepaskan dari Dian Sastro. Ia ada pada hampir di setiap pikiran, ucapan dan tindakan saya. Di mana pun saya berada, saya merasa sedang diperhatikan oleh Dian Sastro. Saya selalu merasa perlu membaca semua media yang memuat Dian Sastro, merasa perlu menonton acara televisi yang ada Dian Sastro, dan saya juga membeli sebuah poster yang besar untuk ditempelkan di dinding kamar kontrakan saya. Saya merasa waktu itu memasuki masa-masa yang intens dengan Dian Sastro, dan membawa Dian Sastro masuk dalam diri saya beserta segala perilaku personal maupun formasi sosial yang saya lakukan sehari-hari. Saya adalah orang yang sulit tidur malam, dan menjelang saat-saat genting di mana saya harus memaksakan tidur malam namun sering tidak berhasil, saya sering berlama-lama menatap poster Dian Sastro. Saya merasa ‘berbicara’ dengannya tentang banyak hal bahkan ketika saya selesai mandi dan harus berganti pakaian, saya bertanya dengan lembut pada poster Dian Sastro, pakaian apakah yang harus saya kenakan hari ini?
Di lingkungan pergaulan sehari-hari, di tengah berbagai macam jenis kawan dan kolega, Dian Sastro juga mulai tumbuh bersama dengan diri saya. Banyak teman yang menyapa dengan pertanyaan apa kabar Dian Sastro? Lalu saya dengan tenang akan menjawab Dian Sastro sedang sibuk shooting iklan. Beberapa orang yang lebih tua dari saya juga sering menyapa saya sebagai pacar Dian Sastro, sebuah sapaan bagi saya yang saya rasakan sebagai sapaan yang menyenangkan. Saya juga mempunyai nama panggilan sebagai semacam ‘nama sayang’ untuk Dian Sastro, yakni ‘Dik Dian’.
Saya merasa, saya sedang menjalani sebuah proses, meminjam istilah dari Geertz, sebagai ‘permainan yang mendalam’. Dan ruang sosial di mana saya sering berinteraksi juga seakan memfasilitasi itu. Teman-teman saya sering memberi tahu hal-hal yang tidak saya ketahui tentang Dian Sastro, termasuk jika mereka melihat ada media massa yang sedang memuat wawancara dengan Dian Sastro atau menonton acara televisi yang ada Dian Sastronya. Bahkan salah seorang teman dari Jakarta mengirimi saya VCD semua film-film Dian Sastro. Dengan demikian saya tidak menonton film-film Dian Sastro dengan rentetan kronologis pembuatan filmnya, sebab saya lebih dulu menontong AADC, baru kemudian menonton Bintang Jatuh dan Pasir Berbisik. Adegan-adegan tertentu di film-film tersebut begitu melekat kuat dalam benak saya, misalnya adegan ketika Dian Sastro memakai sarung bermotif kotak-kotak dan terlihat sangat malu-malu dalam Bintang Jatuh, atau misalnya bagaimana Dian Sastro marah di dalam ruang kerja madingnya ketika ia gagal wawancara dengan Rangga dalam AADC, dan ketika Dian Sastro memakai topeng pemberian Dik Doank dalam Pasir Berbisik.
Permainan mendalam itu berlangsung dengan lembut dan intens. Saya merasa senang sekali ketika hubungan Dian Sastro berakhir dengan pacarnya. Saya merasa sangat cemburu ketika Dian Sastro diisukan sedang berpacaran dengan cowok tertentu. Saya sudah berbelas kali menonton AADC dan baru satu kali saya menonton adegan Dian Sastro berciuman dengan Rangga, yaitu ketika pertama kali menonton AADC di gedung bioskop Mataram. Selebihnya, setiap kali adegan ciuman itu berlangsung, saya selalu melewatinya, enggan melihatnya.
Bagi saya, Dian Sastro adalah sosok perempuan yang sangat menyenangkan. Pada diri Dian Sastro sepertinya berkumpul segala jenis berkah yang ada pada manusia. Ia memiliki kecantikan dan tingkah laku yang sulit dicari kelemahannya, dan sulit menerima bagaimana mungkin ada manusia yang begitu luar biasa. Mengenal Dian Sastro bagi saya, adalah semacam isyarat bahwa saya tidak boleh bersedih, dan dunia tempat saya hidup, adalah arena untuk memaklumkan segala kegembiraan dan kebahagiaan.
Saya juga sering mengatakan kepada teman saya hal-hal yang berbau lucu tapi saya rasa sebagai hal yang menyenangkan, misalnya saya sering berkata bahwa Dian Sastro menurut perasaan saya sedang ‘mendekati’ diri saya. Hal itu bisa dilihat karena tiga hal. Pertama, karena Dian Sastro pindah dari Fakultas Hukum ke Fakultas Filsafat. Kedua, karena Dian Sastro pindah dari agama Katolik ke agama Islam, dan yang ketiga karena pada salah satu wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta Dian Sastro berkata bahwa ia ingin menjadi penulis. Saya yang seringkali lupa tentang identitas-identitas tertentu (lulusan fakultas filsafat, beragama Islam, dan seorang penulis), tiba-tiba merasa perlu mengingat itu semua karena seorang Dian Sastro.
Saya juga sudah mempunyai jawaban yang pasti jika ada orang berkomentar bahwa suka terhadap Dian Sastro itu perasaan yang murahan, sebab banyak sekali orang yang menyukainya. Lalu dengan siap saya akan menjawab: Saya bangga menjadi bagian dari massa, dan ada yang membedakan antara mereka dan saya walaupun sama-sama suka Dian Sastro, mereka sekadar mengaguminya dan saya kelak akan benar-benar menjadi pacarnya. Bahkan saya dengan sigap akan memberi batasan waktu yang jelas untuk menjadi pacar Dian Sastro, saya butuh waktu dua tahun. Atau saya akan menjawabnya dengan, jika saya sudah menghasilkan sepuluh judul buku.
Saya benar-benar merasakan Dian Sastro yang disampaikan oleh beragam media berkelindan dengan impuls-impuls saya terhadap seorang perempuan dan berbaur dalam diri saya tumbuh membangun ruang-ruang fiksi yang permanen. Saya merasa senang sekali ketika bersama dengan teman-teman saya di Akademi Kebudayaan Yogyakarta menerbitkan dua antologi puisi bareng-bareng yang berjudul Dian Sastro for President! Dan Dian Sastro for President! versi reloaded. Saya merasa bahagia sekali ketika suatu saat pulang ke rumah dan mendapati di salah satu dinding poster Dian Sastro dipajang oleh ibu saya berdekatan dengan poster Chairil Anwar. Saya juga sering mengganti greeting di telepon genggam saya dengan kalimat: Hidup Dik Dian! Atau menggantinya dengan: Dik Dian, iya sih!
***
Intensitas saya dalam permainan mendalam itu mengingatkan saya pada imajinasi saya sewaktu masih kanak-kanak. Sewaktu saya kecil, di samping rumah saya tumbuh pohon jambu air di mana saya merasa pohon itu adalah kerajaan saya. Dalam pergaulan saya waktu kecil, baik di sekolah, di surau maupun di tanah lapang, teman-teman saya mengamini bahwa saya mempunyai sebuah kerajaan sebagaimana saya juga menyepakati bahwa masing-masing teman saya juga mempunyai kerajaan masing-masing entah di pinggir sungai atau di bagian-bagian tertentu dalam rumah mereka. Jika berada di atas pohon jambu air itu, saya benar-benar seperti seorang raja. Di sana saya merasa sedang dikelilingi oleh prajurit-prajurit, saya mempunyai singgasana, dan saya sering memimpin peperangan. Apalagi jika pohon itu sedang berbuah, saya sering melempari orang-orang yang lewat dengan buahnya yang ranum baik mereka meminta atau tidak. Saya merasa benar-benar sedang seperti melempar hadiah-hadiah untuk rakyat saya yang sedang lewat.
Hal yang sama terjadi jika saya berkunjung di kampung nenek saya di sebuah pegunungan. Di sana saya sering main di sungai yang banyak sekali bebatuan besar. Saya senang sekali dengan salah satu batu besar dan saya selalu mengatakan bahwa batu itu adalah kapal saya. Dengan berdiri dan duduk di atas batu besar itu, saya merasa sedang berlayar mengelilingi dunia.
Suatu saat di masa kecil saya, nenek saya menghadiahi sebuah sepeda mini karena saya naik kelas dengan nilai bagus. Waktu itu saya merasa bukan hanya sedang menerima hadiah sepeda mini, tapi juga seekor kuda, sebuah sepeda motor, dan sebuah truk besar. Mengendarai sepeda mini saya di saat-saat tertentu, saya alami sebagai mengendarai mengendarai kuda, mengendarai sepeda motor, maupun menyopiri truk besar. Saya masih ingat betul, bagaimana saya suka melewati jalan-jalan tanah yang sempit dan bergelombang dengan mengendarai sepeda mini tersebut, dan saya merasa sebagai seorang pengembara yang mengendarai kuda. Di masa kanak-kanak seperti itu, batas fiksi dan fakta sering melebur dan kacau.
Setiap orang, saya kira, pernah mempunyai pengalaman di mana batas antara fiksi dan kenyataan memang tidak jelas. Bahkan di masa-masa kecil seperti itu, imajinasi tentang sesuatu bisa dianggap sebagai kebenaran faktual yang disepakati oleh banyak orang. Kami sewaktu kecil bisa membelah dengan imajinasi kami sebuah tanah lapang di mana antaranak kampung memiliki masing-masing kekuasaannya. Hal seperti itu berlaku juga pada banyak permainan yang lain, misalnya membagi kekuasaan di sungai dan di rel kereta api, misalnya juga dalam permainan pelepah pisang menjadi pedang di mana setiap orang yang terlibat dalam permainan itu terkena hukum-hukum kematian dan kemenangan. Sebuah permainan yang sangat serius.
Mungkin hal tersebut bisa terjadi karena pengalaman sosial kanak-kanak baik lewat cerita-cerita, dongeng-dongeng maupun bocoran-bocoran kosakata orang dewasa dengan gagap diterima tanpa diikuti oleh penerimaan beserta perluasan definisinya. Proses itu berlangsung terus-menerus, dan kelak di kemudian hari, ketika saya tumbuh besar, media massa ikut serta menyambung proses yang selalu tidak pernah selesai ini. Bagaimana kemudian saya akrab dengan realitas yang dibangun dan dicitrakan oleh media massa, lengkap dengan desas-desus dan gosip yang mengitarinya.
Dian Sastro adalah satu dari sekian banyak hal yang hidup sebagai akibat dari realitas yang disediakan oleh media massa pada diri saya. Realitas semacam itu juga tumbuh dalam diri saya bersama dengan bayangan tentang para pemain sepakbola, para pahlawan dunia, para koruptor dan lain-lain. Tiba-tiba saya bisa saja membenci sosok selebritis tertentu atau memuja selebritis tertentu tanpa saya pernah kenal secara langsung dengan mereka. Realitas semacam itu tumbuh sama kuatnya dengan realitas yang lain seperti misalnya bagaimana saya mengenal teman-teman dekat saya, mengenal tetangga saya, dan mengenal keluarga saya.
***
Di salah satu bagian dalam Mimpi Kali Yee bersama Dian Sastro itu, dua orang fans Dian Sastro ketika diwawancarai sebelum bertemu dengan Dian Sastro mengatakan bahwa Dian Sastro itu orang yang baik, cantik, perilakunya bagus, perfeksionis, pintar, dan mempunyai usaha yang keras jika menginginkan sesuatu. Tiba-tiba saya jadi berpikir, bagaimana mungkin orang yang tidak pernah bertemu langsung dengan Dian Sastro dapat mengatakan bahwa Dian Sastro itu baik? Mengapa mereka bisa mengatakan bahwa Dian Sastro itu berperilaku bagus, perfeksionis, dan pintar? Mengapa pula mereka bisa mengatakan bahwa Dian Sastro selalu berusaha keras jika menginginkan sesuatu?
Berpikir seperti itu membuat saya berpikir terhadap diri saya sendiri. Mereka berdua, fans Dian Sastro, dan saya yang kebetulan juga pengagum Dian Sastro ternyata tumbuh dari realitas media yang mengabarkan dan mewartakan tentang Dian Sastro. Mereka berdua bahkan menceritakan bagaimana perangai mereka berubah setelah mengenal Dian Sastro (yang tentu saja lewat media massa). Salah seorang bercerita bagaimana dulu ia tumbuh sebagai seorang gadis pendiam, lalu ketika ia duduk di bangku SMP dan mengenal Dian Sastro yang terlihat lincah, renyah dan aktif lalu membuat fans tersebut meniru perilaku Dian Sastro. Sedangkan seorang lagi bercerita bagaimana ia pernah sangat kecewa ketika bangun dari tidur sebab ketika ia tidur, ia bermimpi menjadi teman Dian Sastro.
Mereka berdua dan saya, mempunyai persamaan-persamaan, selain kami sama-sama tahu Dian Sastro versi realitas media, kami juga membangun fiksi kami sendiri, sehingga fiksi tersebut tumbuh berkelindan bersama dengan realitas-realitas media yang lain, atau mungkin dengan impuls-impuls yang ada di dalam diri kami. Tapi ada juga yang membedakan antara mereka berdua dengan saya. Mereka berdua mungkin merasa senang jika bertemu langsung dengan Dian Sastro. Mereka berdua seakan tidak mempunyai sekat yang bermasalah ketika bertemu dengan Dian Sastro sebagai realitas media dengan Dian Sastrowardoyo sebagai realitas yang lain lagi. Mungkin realitas yang pertama bagi mereka, bisa digantikan atau disempurnakan melalui realitas yang kedua.
Sedangkan bagi saya, realitas Dian Sastro yang selama ini saya kenal lewat media telah tumbuh menjadi satu bangunan yang kuat, dan saya tidak sedang mempersiapkan diri dalam pertemuan dengan realitas Dian Sastro yang lain dalam wujud Dian Sastrowardoyo atau Dian saja. Bagi saya, menonton reality show Mimpi Kali Yee menjadi semacam pemantik konflik antarkedua realitas Dian.
Dua realitas Dian bagi saya menimbulkan masalah sebab saya mengukuhi yang satu dan abai dengan yang lain. Maka, berbeda dengan dua fans Dian dalam acara Mimpi Kali Yee, saya mungkin justru akan menghindari pertemuan dengan Dian Sastrowardoyo. Kehadiran yang satu bisa jadi akan menggoyang kehadiran yang lain, dan bahaya dari hal semacam itu bagi saya adalah yang terdahulu bisa goncang dan ambyar sedangkan yang baru tidak bisa menggantikan yang lama. Dalam bahasa yang lain, jika terjadi pertemuan dengan realitas Dian yang lain, saya takut bangunan Dian Sastro di dalam diri saya akan ambruk, namun realitas Dian yang lain tidak sanggup menggantikannya. Saya sungguh tidak bisa membayangkan jika realitas Dian yang lain hadir dengan segala perniknya, yang saya tidak pernah memikirkannya. Saya tidak siap jika realitas Dian yang lain datang dengan sakit perut, hadir dalam keadaan suntrut, cemburu, bawel, kelaparan, dan banyak lagi hal yang lain yang tidak pernah saya kenakan dalam realitas Dian Sastro yang selama ini saya kenal: seorang perempuan yang menyenangkan, konyol, penuh perhatian, gampang terharu, dan sejumlah hal lain yang menurut saya hebat dan bagus.
Saya tidak ingin mengulang sebuah kisah sedih di mana saya menjadi saksi ketika pohon yang tumbuh di samping rumah saya harus ditebang karena sudah terlalu besar dan bisa mengganggu bangunan rumah orangtua saya, saya juga menjadi saksi bagaimana batu besar di sungai yang berada di daerah nenek saya hilang karena harus dipecahi dan dipakai untuk membangun jalan, dan saya sulit sekali melupakan bagaimana sepeda mini saya diberikan pada orang lain karena saya sudah tumbuh besar.
Dian Sastro adalah sesuatu yang otentik dalam diri saya. Saya telah cukup puas dengan memiliki Dian Sastro yang tidak dimiliki oleh orang lain, bahkan oleh Dian Sastrowardoyo sendiri.
ooOoo