Ketika jenazah anaknya yang masih belia hendak diberangkatkan ke kuburan, Sang Ibu mendekati kotak sumbangan yang berisi penuh uang. Dengan suara parau, dan airmata yang sudah hampir asat, dia bicara kepada orang-orang yang datang: para tetangga dan kerabat.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu, uang ini banyak sekali bagi saya. Seandainya saja uang ini ada ketika anak saya masih di rumahsakit, mungkin akan menyelamatkan nyawa anak saya. Kini, uang ini tidak ada gunanya buat saya…”
Ibu itu terpaksa membawa pulang anaknya karena tidak lagi punya biaya. Tidak lama kemudian, Si Anak meninggal dunia.
Cuplikan kisah di atas, bukan rekaan saya. Sekalipun lebih dari 10 tahun lalu, saya masih bisa mengingat dengan baik kisah yang diceritakan oleh seorang peneliti kesehatan masyarakat di sebuah diskusi terbatas hasil penelitian tentang kesehatan dan daya dukung masyarakat. Kisah itu, malam ini, bangkit lagi di kepala saya.
Saya, juga mungkin Anda, terkadang lupa sesuatu kehilangan nilai pentingnya karena lewatnya momentum. Di kehidupan sehari-hari, sekalipun tidak sedramatis kisah di atas, sering kita jumpai hal seperti ini. Sialnya, lebih sering kita ini, sudah tak melakukan apa-apa tapi kerap memberi beban pascakejadian.
Usaha teman sedang bangkrut, dia mau menjual asetnya, kita tidak bisa menolong, begitu asetnya terjual dengan harga murah, kita datang lalu bilang, “Asetmu terlalu murah kamu jual.”
Kawan yang sedang butuh uang untuk biaya sekolah anaknya, dia mau menjual sepeda motornya, kita tidak mau membeli, tapi ketika motor tersebut laku, kita berkata, “Sayang sekali, harga motormu sebetulnya di atas itu.”
Saya kira para pembual lebih mulia dibanding para pengobral kata-kata semacam itu: ada liur cuka di mulut mereka yang gemar mengucuri luka