Pagi tadi, sehabis bangun tidur lalu salat Subuh berjamaah, pasangan Mulyadi dan Mardiasih merasa bahagia sekali. Di pekarangan belakang rumah mereka yang sempit, dua pohon cabe berbuah. Juga satu-satunya pohon pisang yang tumbuh pun berbuah. Mereka lalu berbincang di depan kolam kecil, sambil minum teh.
Lima tahun lagi, Mulyadi pensiun sebagai pegawai sebuah perusahaan swasta dengan level menengah. Lebih banyak punya bawahan daripada punya atasan. Mardiasih bekerja sebagai penerjemah dan penyunting di sebuah penerbitan besar. Karena dianggap pegawai senior, ketika anak kedua pasangan ini lahir, Mardiasih diperkenankan bekerja di rumah.
Mulyadi menikah dengan Mardiasih 25 tahun lalu. Mereka berdua anak petani dari desa. Lima tahun setelah menikah, mereka membeli rumah. Cicilan tentu saja. Baru kurang dari setahun lalu rumah yang mereka tinggali lunas.
Mulyadi punya warisan sawah lumayan luas, tapi dijual ketika anak pertama mereka masuk TK. Tidak ada TK murah di kota. Sisa uangnya dibelikan mobil seken.
Mardiasih juga punya warisan. Sawah dan rumah. Sawah dijual ketika anak keduanya masuk TK. Sisa uangnya dipakai untuk membeli mobil baru setelah mobil lama juga dijual. Warisan rumah juga dijual ketika anak pertama mereka masuk kuliah. Sisanya untuk membeli mobil.
Total aset mereka, sebuah rumah dengan dua buah mobil, dan dua buah sepeda motor. Anak pertama mereka sudah bekerja di bank, anak kedua hampir tamat kuliah. Tahun depan, si anak pertama berencana menikah. Tentu saja tabungannya selama bekerja belum cukup. Mulyadi berencana menjual sebuah mobil mereka untuk menghelat acara pernikahan anaknya.
Ketika nanti Mulyadi pensiun, dan anak keduanya menikah, entah aset apa yang tertinggal di pasangan ini.
Di kampungnya dulu, Mulyadi tak perlu butuh waktu lama untuk membeli rumah. Apalagi jika dia mau tinggal di kampung Mardiasih karena si istri punya rumah warisan. Kalau di kampung dulu, Mulyadi bisa memanen pisang semampu tenaganya. Pisang di kebun bapaknya puluhan batang. Kalau di kampung, bukan hanya dua batang pohon cabe dan kolam kecil yang dimiliki oleh mereka berdua.
Secara ekonomis, apakah pasangan Mulyadi dan Mardiasih menjadi lebih makmur dibanding kedua orangtua mereka? Lebih terdidik jelas iya. Lebih makmur? Saya tidak tahu. Yang jelas begitu mereka menua, aset mereka mulai surut. Begitu mereka pensiun, tunjangan pensiun mereka tak akan cukup untuk hidup lima tahun.
Jadi selama mereka nanti bekerja 30 tahun, yang terjadi adalah siklus: memulai dari tidak punya apa-apa, kemudiaan punya, lalu menuju tidak punya. Dan ingat, aset di kampung habis.
Ada banyak pasangan seperti Mulyadi dan Mardiasih di kota-kota besar di Indonesia. Sebuah fenomena sosial yang belum banyak dikaji.