“Mas, pakai jasa pawang hujan itu menurutmu sirik, gak?” Laki-laki yang bertanya itu jelas bukan sembarangan. Kala itu, dia sedang mempersiapkan hajatan pernikahan di panggung terbuka.
Jujur saja, saya berat sekali menjawab pertanyaan itu. Karena makin tua, saya makin sadar, tidak semua hal bisa saya omongkan apalagi dalam ranah agama, tema yang tidak saya kuasai. Tapi pertanyaan ini punya implikasi besar pada keputusannya. Saya merasa keliru jika tidak membantunya membuat keputusan yang tepat.
“Biasanya kalau kamu sakit, apa yang kamu lakukan?” Saya mencoba bertanya dari sisi yang lain.
“Kalau sakit biasa saja yang kadang cuma kerokan atau minum obat, Mas. Kalau parah ya pergi ke dokter.”
“Oke. Kamu sebetulnya paham gak logika obat yang kamu minum. Berisi zat apa saja, dan bagaimana zat-zat itu kelak bekerja di tubuhmu sehingga bisa menangkal sakitmu.”
“Ya enggak, Mas.”
“Berarti kamu bermodal percaya saja.”
“Dan modal pengalaman. Karena jika keluargaku minum obat itu, maka mereka sembuh.”
“Oke. Modal percaya dan pengalaman.”
“Kamu paham gak cara kerja dokter ketika ngobati kamu? Yang mumet kepalamu tapi yang disuntik pantatmu. Atau obat-obat yang dia kasih.”
“Enggak paham.”
“Tapi percaya?”
“Percaya.”
“Kenapa?”
“Karena dia sekolah kedokteran dan ya memang dia dianggap bisa menyembuhkan.”
“Oke. Kamu pasti gak paham cara kerja pawang hujan kan?”
“Gak paham.”
“Sama.”
“Lho kok dadi ndagel ngene, Mas…”
“Bentar, mau tak lanjutin… Tapi kamu punya pengalaman orang-orang di sekitarmu pakai jasa pawang hujan kan?”
“Punya.”
“Berhasil menghalau hujan?”
“Berhasil.”
“Apa bedanya dengan obat dan dokter? Kan kamu sama-sama gak paham, dan sama-sama berdasarkan referensi keberhasilan?”
Laki-laki itu diam. Mikir. Manggut-manggut. “Tapi kalau dokter dan obat kan ada sekolahnya, Mas?”
“Berarti ini urusannya antara sekolah dengan gak sekolah? Apa pelawak mesti sekolah dagelan agar bisa menghibur orang? Apakah ada sekolah agar ahli nyanthet orang? Kalau gitu mestinya aku jadi filsuf dong, gak jadi penulis. Dan kamu gak jadi apa-apa wong lulusan SMA, itu pun ijazahmu ilang. Padahal tulisanmu bagus, dan kamu punya ketrampilan lain.”
Dia tertawa. Tentu saja sambil mikir.
“Pawang Hujan tentu ada ilmunya. Kalau enggak ya gak mungkin ada regenerasi. Mestinya sudah punah. Hanya saja kita tidak tahu bagaimana cara melakoni ilmu itu…”
“Soal siriknya, bagaimana?”
“Nah, itu. Aku tanya tapi kamu harus menjawab jujur ya…”
Dia mengangguk.
“Kamu kalau sakit terus minum obat atau pergi berobat ke dokter, kamu percaya dengan obat dan dokter atau percaya yang menyembuhkan Tuhan?”
Dia terlihat ragu.
“Percaya Tuhan yang menyembuhkan.”
“Kalau aku seringnya enggak begitu. Aku sering percaya pada obat dan dokternya. Padahal kalau berkaca pada sikap tauhid, hal itu keliru. Mestinya Tuhan yang menyembuhkan, hanya saja lewat obat dan dokter. Obat itu terdiri dari zat-zat yang diciptakan Tuhan, manusia yang meramunya juga diciptakan oleh Tuhan. Dokter diberi akal oleh Tuhan. Diberi kemudahan mencari ilmu juga oleh Tuhan, dll.”
“Eh, aku juga begitu ding, Mas.”
“Berarti sebetulnya kita sudah biasa sirik kecil-kecilan, kan?”
“Iya.”
“Jadi, kalau misal kamu jadi menggunakan jasa pawang hujan, sebaiknya pikiranmu disetel dari sekarang: bahwa Tuhan yang bisa menghentikan dan mengatur hujan, hanya saja lewat mekanisme tertentu yang dipelajari oleh pawang hujan. Dan pawang hujan juga ciptaan Tuhan.”
Kini, laki-laki itu manggut-manggut lebih mantap.
“Terus jadi mau pakai jasa pawang hujan atau tidak?”
“Jadi, Mas.”
“Lain kali jangan tanya beginian kepadaku ya? Tanyakan ke para kiai. Soal beginian, aku gak begitu ngerti.”
Ketika hajatannya tiba. Mendung tebal. Di sekitar tempat itu hujan lebat. Hanya di sekitar tempat itu, hujan turun rintik-rintik. Itu pun sesekali.
Saya tidak tahu, dia jadi pakai jasa pawang hujan atau tidak. Yang jelas, patut disyukuri, semua acara lancar…