Beberapa tahun lalu, serombongan anak muda dari Yogya yang sedang gandrung dengan tasawuf, sowan ke seorang kiai kampung di daerah Pantura. Maksud mereka tentu saja untuk menambah wawasan dan kedalaman pemahaman tentang ilmu laku spiritual tersebut.
Tapi sampai berjam-jam di rumah Sang Kiai, tidak ada satu kalimat pun yang menyenggol soal tasawuf. Rombongan itu dijamu makan, lalu diajak ngobrol banyak hal sambil guyon.
Ketika mereka sudah mulai putus asa dan memutuskan hendak pamitan, seseorang mengetuk pintu. Dia membawa stopmap hijau cap Sriti. Rombongan yang dari Yogya langsung tahu, sebab di Yogya banyak dan sering sekali orang seperti itu mengetuk pintu. Ciri khasnya sama: tak bisa berbahasa Jawa; pintu sudah ditutup tetap diketuk dengan keras; kalau stopmapnya dibaca langsung ketahuan itu program palsu. Peminta sumbangan palsu. Semacam pengemis dengan menyaru sebagai warga desa yang hendak membangun masjid.
Sang Kiai mempersilakan peminta sumbangan itu untuk duduk. Tapi sebagaimana biasa, orang seperti itu tidak mau disuruh duduk. Maunya cepat dikasih uang, sokur kalau banyak, habis itu segera pergi mengetuk pintu rumah yang lain.
Sang Kiai pun masuk kamar, tak lama kemudian dia sudah membawa amplop tebal berisi sumbangan dan diberikan kepada Si Peminta Sumbangan. Sudah bisa ditebak, orang itu hanya mengucapkan terimakasih secukupnya lalu pergi bergegas.
Begitu Sang Kiai kembali duduk, salah satu rombongan menyeletuk, “Itu tadi peminta sumbangan palsu, Pak Yai… Di Yogya sering sekali. Terutama kalau bulan puasa…”
Anggota rombongan yang lain menyahut, “Kalau tadi Njenengan baca isi stopmapnya, pasti langsung tahu kalau itu sumbangan palsu, Mbah Yai. Orang seperti itulah yang sering merusak wajah Islam.”
Anggota rombongan yang lain lagi menyahut, “Lha Mbah Yai kok mudah percaya sama orang begituan to?”
Setelah diam agak lama, Kiai itu berkata pelan. “Begini, Mas-mas… Orang itu datang kepada saya meminta sumbangan membuat masjid. Kalau saya punya uang ya saya sumbang. Kalau tidak punya, ya tidak saya sumbang.”
“Lha tapi kan itu sumbangan palsu, Pak Yai…” sahut salah satu orang di ruangan tersebut.
“Kalau benar seperti itu, biarlah menjadi tanggungjawab dia sama Tuhan…”
“Tapi kan Mbah Yai bisa menyelidikinya dengan misalnya membaca proposal sumbangan di dalam stopmap itu…” sanggah yang lain.
“Untuk apa?”
“Untuk mengetahui apakah itu penipuan atau tidak…”
“Sekelebat pemikiran seperti itu pun saya tak punya. Saya tidak pernah punya pikiran buruk kepada siappapun yang mengetuk pintu rumah saya. Semua saya anggap baik. Semua saya anggap sudah diizinkan Tuhan untuk datang ke rumah saya. Tugas saya kemudian adalah memuliakan mereka.”
Seluruh ruangan mendadak hening.