Kalau disepelekan orang karena penampilan, mungkin saya termasuk orang yang lumayan sering mengalami. Dengan wajah yang tak pernah nongol di media massa, apalagi televisi, dengan busana yang biasa saja, terlebih dengan wajah pas-pasan, sudah teramat sering saya dipandang sebelah mata. Di bandara, stasiun kereta, mal, gedung bioskop, berbagai ruang pertemuan, dll.
Lha tapi mau bagaimana lagi. Saya menyadari bahwa busana, penampilan, dan prejengan, itu penting untuk banyak hal. Sampai sekarang, sepasang jas-pun saya tak punya. Supaya “aman” di acara-acara tertentu, saya memakai batik biar terkesan cinta Indonesia. Itu pun kerap tak betah. Gampang merasa sumuk.
Pakaian saya sehari-hari ya cuma celana pendek dan kaos. Celana pendek pun tak bermerek terkenal. Sementara kaos pun, kaos yang dibuat oleh teman-teman saya. Bukannya ingin meniru almarhum Bob Sadino, tapi memakai celana pendek memang kebiasaan saya sejak lama karena sangat isis. Demikian juga memakai kaos oblong.
Tempat tongkrongan saya juga tempat-tempat biasa. Bukan tempat-tempat wah. Kalau di Yogya ya paling saya ngopi di Angkringan Mojok, atau kedai kopi lain. Kalau ingin ngebir ya ke Ascos. Kalau di Jakarta, saya paling suka nongkrong di Phoenam Wahid Hasyim. Kedai kopi yang sama sekali bukan kedai mewah.
Karena satu hal, beberapa bulan lalu, istri saya menghadiahi celana panjang 3 buah. Tapi ya gak mesti sebulan sekali saya pakai. Saya bahkan lupa ukuran celana dalam saya. Istri saya yang tahu karena dia yang selalu membelikan.
Hari ini, saya keluar agak pagi untuk urusan ke bank. Eh, kok ya pas parkir, ada mobil sedan mewah menyerobot parkiran yang hendak saya pakai. Padahal jelas-jelas saya bersiap parkir di situ. Tukang parkirnya juga diam. Mungkin karena mobil saya murahan.
Sebetulnya kalau untuk urusan begitu, saya gampang naik darah. Saya bisa keluar dan memaki-maki baik si tukang parkir maupun pemilik sedan mewah itu. Tapi gak tahu kenapa, pagi ini saya merasa tenang dan kalem sekali.
Bahkan saya tersenyum ke arah laki-laki berpakaian necis yang menunggangi mobil mewah itu ketika kami sama-sama naik ke sebuah gedung. Dia diam. Pura-pura tak melihat. Mungkin karena saya hanya memakai kaos “Pamit Yangyangan” yang sudah agak lecek, dan celana pendek yang sudah pudar warnanya.
Begitu masuk gedung itu, laki-laki tersebut disambut dengan baik oleh satpam dan resepsionis. Saya juga disambut sih, tapi biasa saja. Sekadarnya. Ternyata laki-laki perlente itu mau menemui direktur di kantor tersebut. Dan dia mengantre.
Sementara saya langsung disambut sekretaris direkturnya, begitu saya kabari si direktur lewat pesan pendek bahwa saya sudah sampai.
Saya melewati laki-laki itu. Saya ingin sekali menghilangkan sikap sombong. Tapi ternyata tidak bisa. Dada saya tetap saja sedikit mendongak tanpa melihat ke arah laki-laki itu.
Ternyata saya tetap saja gagal jadi cowok keren…