Akik di tulisan ini, merujuk kepada batu permata dan akik. Sebetulnya dua hal tersebut berbeda secara ciri maupun harga. Tapi di tulisan ini akan saya permudah dengan sebutan akik saja.
Sebagai fenomena ekonomi, tidak ada yang aneh dengan gegeran akik akhir-akhir ini. Agak mirip dengan booming lukisan. Saya sederhanakan teori dasarnya: ketika perekonomian melambat, uang harus tetap diputar, sebab investasi konvensional tidak memberi harapan dan kepastian maka dibutuhkan bentuk investasi lain. Pemilihan bentuk-bentuk investasi lain ini menemukan objeknya masing-masing, baik yang sudah siap maupun yang dipersiapkan secara khusus. Lukisan dan akik termasuk sudah siap. Tokek, louhan dan gelombang cinta itu perlu disiapkan secara khusus.
Paparan singkat di atas hanya lambaran saja. Saya tidak akan masuk ke analisis objeknya lebih jauh karena harus melibatkan banyak variabel. Tapi saya akan sedikit mempersoalkan bagaimana pemerintah memandang perkembangan akik dewasa ini.
Dari pemindaian yang saya lakukan lewat media online, setidaknya ada tiga sikap pemerintah. Pertama, pemerintah ingin memajaki objek perdagangan akik. Kedua, pemerintah khawatir beralihnya perekonomian masyarakat ke akik akan mengganggu agenda swasembada pangan. Ketiga, pemerintah mulai waspada terhadap dampak perusakan alam yang diakibatkan oleh akik.
Sebelum saya ngomyang soal ketiga poin tersebut, saya akan memberikan sedikit ilustrasi. Di Jakarta, banyak pengamen yang mulai kehilangan pekerjaan karena makin “tertib”-nya jalur bis dan mekanisme transportasi. Lagi-lagi, satu elemen masyarakat tersingkir karena sebuah kebijakan. Itu biasa dan itu risiko sebuah kebijakan. Tapi pemerintah yang baik akan memberi solusi kepada kelompok masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Sebab pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan buat rakyatnya. Pemerintah kita dari dulu (bukan hanya di era Jokowi) agak sedikit bisa membuat kebijakan tapi tidak mau menerima risiko atau memberi solusi terhadap pihak “yang terdampak”. Tinggal glanggang colong playu.
Untung ada akik. Para pengamen itu kemudian menjadi pengrajin akik di Rawa Bening, yang putaran omset di tempat tersebut rata-rata 10 kali lipat dibanding sebelum terjadinya geger akik.
Cukup itu saja ilustrasi saya. Mari kita kuliti pelan-pelan tiga sikap pemerintah terhadap munculnya akik.
Sejak saya penelitian cengkeh dan kopi, saya melihat ada sikap pemerintah yang mirip. Di banyak pemerintah daerah, cengkeh dan kopi yang punya nilai ekonomi tinggi tidak diperhatikan oleh pemerintah hanya karena tidak jelas pemasukannya secara formal di lembar keuangan pemerintah daerah. Titik. Mental pemerintah yang ingin “mbathi” seperti ini jelas persoalan serius. Pertama, tugas utama pemerintah itu bukan mencari laba atas kerja rakyatnya tapi menyejahterakan rakyat. Bahwa untuk itu diperlukan uang, tentu saja.
Kedua, perekonomian selalu dilihat yang formal di atas kertas, di lembar pendapatan. Pemerintah tidak sadar bahwa dengan harga cengkeh dan kopi yang bagus, maka masyarakat akan melakukan aktivitas ekonomi lebih banyak sehingga perekonomian lokal menjadi dinamis. Bahkan di banyak tempat, infrastruktur yang mestinya menjadi kewajiban pemerintah pun diambil alih oleh masyarakat. Ketika panen cengkeh bagus, mereka perbaiki jalan di wilayah mereka sendiri. Mental “mbathi” yang instan inilah yang harus disingkirkan dari otak pemerintah. Dari sana kita tahu akar soal bagaimana pemerintah mau memajaki akik. Mbok nggak usah. Kalau pun toh dipajaki yang dipajaki tempat jualannya saja. Biarkan perekonomian akik ini berada di tingkat stabilitas tertentu. Sekarang kan sedang bergelembung. Biarkan gelembung itu pecah dulu. Stabil dulu. Baru diatur. Kalau rakyat yang terintegrasi dalam sistem ekonomi akik ini punya duit, tidak akan duit itu dilarikan ke luar negeri. Pasti akan berputar di dalam negeri dan membuat dinamis perekonomian kita.
Lalu soal ketakutan agenda swasembada pangan. Lagi-lagi cara pikir pemerintah masih terbalik. Pertama, masyarakat akan berjalan dengan logika ekonominya sendiri. Kalau memang dengan bertani kehidupan mereka menjadi tidak terjamin dan tiba-tiba harus ada kue ekonomi lain berupa akik yang bisa membuat mereka sejahtera ya sah-sah saja. Toh selama ini pemerintah tidak menjamin badogan dan kesejahteraan rakyat, bukan? Lalu apa urusannya kok jadi ceriwis amat ketika rakyat menemukan badogan dan kesejahteraannya sendiri.
Kedua, logika rakyat juga tidak seformal seperti otak pemerintah. Coba datang saja ke lapangan. Mereka yang bertani ya masih bertani, baru mereka kemudian mencari dan mengolah akik ketika urusan pertanian mereka sudah beres. Tidak kok terus ditinggal semprung begitu saja. Ketiga, pemerintah tampaknya harus memikirkan ulang konsep dan prinsip-prinsip swasembada pangan kalau memang hal seperti booming akik saja dianggap mengganggu agenda ini.
Soal potensi perusakan alam. Dalam hal ini kita harus berhati-hati. Tapi saya syok juga pikiran “cerdas” ini tiba-tiba dipikir oleh pemerintah ketika mereka tidak mikir ini dalam soal tambang emas dan batubara, maupun dalam soal tambang bebatuan untuk pabrik semen. Mbok ancaman kerusakan alam yang besar saja dulu diselesaikan. Jangan ngurus ancaman kerusakan alam karena akik. Sebab kerusakan alam karena akik tidak ada sekuku hitamnya tambang emas. Tapi saya setuju bahwa tetap ada aturan main. Seperti misalnya “penambangan” akik di wilayah hutan lindung maupuan daerah rawan bencana, harus diatur dengan adil. Kenapa harus ada kata “adil” sebab sering kali aturan dibuat untuk melarang satu pihak dan memberi kelonggaran dan kesempatan bagi pihak lain. Dalam konteks itulah hukum harus ditegakkan. Sebab pencuri ayam ya harus tetap dihukum. Jangan kok pencuri ayam tidak boleh dihukum. Hanya saja hukuman pencuri ayam tidak boleh sama dengan hukuman untuk orang yang melakukan korupsi miliaran rupiah.
Saya kira itu dulu pendapat saya. Nanti kalau ada waktu saya lanjutkan lagi. Teruslah menggosok akik, teruslah mengasah estetika, teruslah berdagang. Itu semua baik buat Anda dan buat bangsa ini.