Awal tahun 2002, seorang budayawan dari komunitas budaya paling penting di Jakarta, membuat seruan agar toko-toko buku menurunkan semua buku terbitan dari Yogya. Itu adalah salah satu puncak ‘perseteruan’ Yogya-Jakarta dalam dunia buku.
Buku-buku terbitan Yogya dianggap sebagai terbitan ngawur, diterjemahkan dengan asal-asalan, tidak membayar royalti, digarap dengan buruk, dll.
Saya ikut merasakan kemarahan para insan buku Yogya saat itu. Sebelum kejadian itu, percik perselisihan sudah sempat terjadi. Salah satu penerjemah terbaik Yogya yang menerjemahkan ‘L’immortalite’ salah satu karya agung Milan Kundera dikuliti habis-habisan di sebuah majalah terbesar dan tepercaya saat itu.
Saya masih ingat, banyak pihak gerah. Seandainya ada cacat dalam penerjemahan itu, menurut anggapan banyak orang di Yogya, bukanlah cacat akut yang perlu dibabat sebegitu rupa.
Penerbit Yogya tidak mati. Mereka berbenah. Tapi justru gelombang besar yang hampir mengandaskan industri buku Yogya adalah kasus ‘BG kosong’. Puluhan penerbit kecil remuk. Lebih dari sepertiga penerbit menghilang lenyap.
Itu hanyalah secuplik kisah penerbitan buku di Yogya. Ada juga betapa heroiknya sebuah jaringan toko buku sekaligus penerbit melawan jaringan buku dan penerbitn terbesar di Indonesia. Ada aksi saling gertak dan saling tuntut mengenai hak cipta.
Tapi penerbit Yogya tidak mati-mati. Beberapa bahkan menjelma menjadi penerbit besar seperti Diva Press, Media Presindo, Arus, dll. Mereka penerbit-penerbit hebat yang mampu keluar dari belenggu dan jepitan persoalan.
Hingga kemudian, secara estafet, generasi baru buku bertumbuhan di Yogya. Diisi anak-anak muda dari berbagai generasi. Saya perlu menceritakan beberapa cuplikan di atas karena kebanyakan pelaku buku di Yogya ketika kejadian-kejadian penting itu terjadi pada industri buku Yogya, kebanyakan dari mereka masih berada di sekolah dasar.
Pelaku buku Yogya mungkin masih beruntung. Karena ada tokoh seperti Adhe Ma’ruf yang mendokumentasikan dengan sangat baik kronik perbukuan Yogya dalam bukunya: “Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007)”. Itu buku yang sangat penting.
Ada terlalu banyak stereotipe yang diberikan kepada penerbit Yogya, yang bisa kita bantah. Memang ada penerbit buku Yogya yang tidak baik dalam membayar royalti, tapi tidak semua. Beberapa bahkan terbaik dalam memberikan hak kepada penulis. Penerbit Yogya dianggap membayar penerjemah paling murah, itu juga tidak benar sepenuhnya. Ada banyak yang membayar bagus bahkan di atas rata-rata penerbit besar di Jakarta. Kalaupun ada banyak hal yang keliru, ngawur, dan jika kita menganggap itu cacat bawaan penerbit Yogya, maka hal seperti itu lahir dari cara berpikir yang tidak adil. Seakan lembaga, entitas bisnis, pelaku industri, tidak bisa memperbaiki diri.
Tapi yang menarik adalah lahirnya barisan baru penerbit Yogya pasca-2008. Ketika internet tumbuh, dan kelak ketika media sosial menyeruak dalam kehidupan kita.
Satu generasi perbukuan hadir dengan pola yang baru, melengkapi para ‘senior’ mereka. Tentang hal ini, rasanya Adhe Ma’ruf perlu membuat buku kedua: “Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (2008-2018)”.
Tentu saja tidak semua hal terjadi dengan mulus dan lancar. Anak-anak muda punya peranti kebudayaan mereka sendiri. Mereka punya cara sendiri. Saya selalu percaya, orang-orang terbaik akan menemukan cara untuk memperbaiki diri.
Kalau ada kegagalan penerbit, ya begitulah bisnis. Semua bisnis bisa berhasil dan bangkrut. Ada saat pasang dan surut. Tapi menganggap bahwa penerbit buku Yogya tidak profesional, ngawur, buruk, itu jelas penilaian yang tidak adil. Kita tidak akan lengkap melihat wajah dunia buku di Indonesia tanpa melihat Yogya.
Saya orang yang berpikir sederhana. Kalau ada yang salah ya diperbaiki. Salah lagi ya diperbaiki lagi. Apa salahnya?
Dunia buku Yogya dibangun oleh banyak sekali orang dan dengan banyak sekali kekeliruan. Tapi tidak ada yang bisa menampik bahwa dunai buku Yogya bergerak dinamis. Ekosistem buku Yogya belum dibilang baik, tapi dibanding kota lain, saya kira masih yang terbaik.
Saya hanya mau memberi tahu. Budayawan yang pada awal tahun 2002 menyerukan agar toko-toko buku menurunkan buku-buku terbitan Yogya, belum lama, mungkin tahun kemarin, karyanya diterbitkan oleh penerbit indie Yogya, dan diluncurkan di Yogya.
Saya, tentu saja, tidak datang. Saya tidak pendendam. Apalagi kejadian waktu itu, posisi saya bukan penerbit. Saya sudah menjadi penulis. Dan saya sudah menerbitkan sebuah buku. Diterbitkan penerbit buku kecil di Yogya, yang kemudian penerbit itu ambruk, sementara pemiliknya hampir gila.
Saya hanya mengingatnya saja. Mencatatnya. Sebab itu penting buat saya.