Beberapa petugas berpakaian preman mengamankan gang masuk dan gang keluar. Tidak lama kemudian, 6 petugas berlari mengepung rumah kusam itu. Setelah memberi kode aman, 5 petugas lengkap dengan rompi peluru dan penutup muka, bersiaga di depan pintu. Hanya butuh waktu kurang-lebih 3 menit, pendobrakan dan penggeledahan rumah itu selesai.
Komandan mereka masuk diiiringi oleh petugas juru foto dan pakar forensik. Mereka masuk ke rumah tersebut. Tak lama kemudian, seorang petugas menghampiri sekumpulan wartawan yang terlihat sudah tak sabar. Mereka berkumpul di bawah pohon kersen, persis di samping mulut gang.
Belasan wartawan segera berlari menyerbu masuk ke dalam gang ketika sudah dipersilakan. “Kondisi aman,” kata petugas itu, “komandan mempersilakan para wartawan untuk melihat kondisi rumah.”
Penyerbuan rumah itu sudah diberitahukan ke beberapa wartawan sejak tadi Subuh. Kata salah satu sumber, para wartawan diajak untuk memperlihatkan kepada publik bahwa PKI memang sedang bangkit lagi. Tampaknya, para petinggi mereka merasa terganggu dengan guyonan dan cemoohan yang beredar di berbagai media sosial. “Jangan sampai kewaspadaan masyarakat atas bahaya laten PKI luntur,” demikian satu kalimat yang sempat dikatakan oleh Sang Komandan, sesaat ketika rombongan wartawan masuk ke dalam bis yang dikawal ketat oleh aparat.
Para wartawan masuk ke rumah kecil itu sambil memotret semua ruangan. Rumah itu hanya ada 2 kamar, 1 ruang keluarga (petugas kelak menyebut sebagai ruang untuk rapat) yang menjadi satu dengan dapur. Plus satu kamar mandi dan wc.
Tidak ada perkakas apapun di ruangan yang disebut sebagai ruangan rapat itu. Hanya ada asbak dan beberapa gelas kotor. “Mereka bergerak cepat, mungkin baru dua atau tiga jam yang lalu meninggalkan tempat ini.” tegas Sang Komandan.
Di kamar mandi, hanya ada sebuah sabun yang tinggal seukuran jempol kaki orang dewasa, sebuah sikat gigi yang tergeletak di lantai. “Mereka terburu-buru. Itu buktinya, sikat giginya terjatuh.” Sang Komandan terus memberikan keterangan sambil menemani para wartawan yang sibuk memotret.
“Nanti, tanya jawabnya nanti saja di luar.” Sang Komandan menghentikan beberapa wartawan yang hendak bertanya.
Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah kamar yang kosong. Tak ada satu pun barang. “Ini menunjukkan bahwa mereka sangat terlatih. Ruangan ini bersih. Diduga di sinilah disimpan ratusan kaos bergambar palu arit yang akan dibagikan ke masyarakat sekitar.” Suara Sang komandan bergema, ditingkahi ratusan jepretan dari kamera para wartawan.
Kemudian mereka bergantian masuk ke dalam kamar yang dianggap sebagai kamar terpenting. “Kamar ini menunjukkan bahwa sekalipun terlatih, mereka terdesak oleh pasukan kami.
“Lihat itu, dari jamur di temboknya, kita tahu bahwa komunisme itu seperti jamur yang akan merapuhkan tembok dan benteng republik ini. Maka dari itu, kita harus senantiasa waspada.
“Nah, gorden, karpet, dan sprei yang berwarna merah itu menunjukkan kalau mereka anti-Pancasila dan NKRI. Kalau mereka pro-NKRI, mestinya warna gordennya kuning, putih, atau hijau.
“Nah, di dalam kardus itu ada sebungkus mi instan. Itu menunjukkan bahwa mereka sudah berjejaring dengan Tiongkok, dan jelas sudah tidak Pancasilais. Kalau masih Pancasilais, mereka pasti makan beras.
“Dan sebuah buku yang tertinggal itu, makin menunjukkan bahwa mereka komunis sejati. Judul bukunya: “Bagaimana Si Miskin Mati”. Karya George Orwell. Kalian tahu kan George Orwell? Ya, dia nama samaran pengarang komunis bernama Pramoedya Ananta Toer yang pernah dibuang ke Pulau Buru. Pokoknya ke depan, masyarakat harus waspada kepada orang-orang yang sering ngomong soal kemiskinan. Mereka pasti komunis.
“Terakhir, botol minuman itu. Petugas kami sedang menyelidiki di lab, apakah bibir yang menyentuh bibir botol itu saat minum, lebih sering ngomong soal Aidit atau Muso. Bibir itu jelas tidak akan meninggalkan jejak rajin membaca ayat-ayat Tuhan. Komunis tidak kenal Tuhan. Mereka jauh dari zikir.
“Baik, sementara itu dulu. O ya, diperkirakan mereka yang tinggal di sini mungkin 4 atau 5 orang. Sampai saat ini, mereka belum kita pastikan, apakah dari faksi Muso, Aidit, Sudisman, atau Nyoto. Mari kita keluar…”
Para wartawan kemudia naik kembali ke bis. Mereka kemudian bertanya ke petugas yang mengawal mereka, saat bis masuk ke restoran, apakah tanya-jawab akan dilakukan di sini.
Petugas itu menganggukkan kepala. Setelah makan, katanya. Kata Komandan mereka, wartawan tak boleh terlalu lapar. Sebab jika lapar, akan mudah membela kaum komunis. Dan hal itu akan terlihat dari cara wartawan itu bertanya.
Para wartawan lalu makan sampai kenyang. Dan saat sesi tanya-jawab, tidak ada yang bertanya.
“Terimakasih atas kepedulian kawan-kawan wartawan. Hari ini, kita telah bahu-membahu dalam satu barisan untuk ikut memberantas PKI dari bumi kita tercinta Indonesia.”