Kalau ada laku spiritual yang agak nyeleneh, salah satunya dilakukan oleh Jumadi. Setiap hari kerjanya datang ke penjara, menjenguk orang-orang yang tidak dikenalnya, membungkuskan makanan untuk mereka, menghibur mereka, dan ini yang agak aneh: memintakan doa dari mereka agar dirinya dan orang-orang di luar penjara hidup penuh berkah dan keselamatan.
Jumadi mendapatkan amalan itu dari gurunya, pensiunan copet di Jalan Solo, Yogya. Sang Guru suatu saat menegurnya ketika Jumadi tertawa lepas begitu membaca berita di koran tentang seorang koruptor yang tertangkap tangan. “Apa yang membuatmu bergembira membaca berita semacam itu? Gembira karena koruptornya tertangkap? Gembira karena koruptor berkurang? Gembira karena selama ini kamu menyimpan semacam rasa dengki pada orang-orang macam itu?”
Jumadi terdiam. Dia tidak siap dengan pertanyaan gurunya. Dia juga tidak pernah merenung kenapa selalu merasa gembira jika ada koruptor yang tertangkap.
“Bukannya kamu mestinya bersedih? Karena masih banyak saudaramu yang ingkar pada amanah.”
“Iya. Mestinya saya bersedih, Mbah Guru…” ujar Jumadi masih dalam keadaan ragu.
“Tapi sekaligus mestinya kamu bersyukur…”
“Bersyukur kenapa, Mbah Guru?”
“Sebab Tuhan masih menjaga aibmu sehingga tidak dibuka di depan umum. Apakah kamu merasa pada sisi sifat yang lain, merasa lebih baik dari koruptor itu? Bukankah setiap manusia punya sisi gelap? Dan hanya karena kasih sayang Tuhan-lah, dijaga aib kita ini supaya tidak terang benderang diketahui publik?”
Jumadi tumungkul. Satu persatu aib yang ada di dirinya muncul. Dia menjadi sangat malu sekalipun hanya dirinya sendiri yang tahu.
“Maka sesungguhnya, orang-orang yang sedang dipenjara itu, punya potensi sifat mulia…
“Mereka dipermalukan oleh Tuhan sehingga tidak punya tempat lagi untuk bersembunyi. Sehingga menyadari tidak ada yang mampu melindungi mereka. Tidak kekuasaan mereka, tidak pula harta mereka…
“Mereka diceburkan ke lumpur kehinaan, dipaksa untuk sadar alangkah lemah diri mereka. Bagi mereka yang sadar, rasa hina itu bisa menjadi anak tangga menuju ke kemuliaan. Tidak ada lagi yang bisa mereka agungkan, dan tidak ada lagi yang bisa mereka sombongkan…
“Lalu kamu bergembira untuk apa? Untuk aibmu yang masih dijaga Tuhan? Untuk kesombonganmu yang masih punya tempat untuk bersemayam?”
Jumadi meneteskan airmata…
“Pada derajat tertentu, berbahagialah mereka yang dipenjara di dunia. Karena akan membantu dilucuti semua dosa dan aib mereka. Dihentikan dengan paksa agar tidak melanjutkan kekeliruan hidup mereka. Sehingga pada sisi yang lain, alangkah tidak beruntungnya orang-orang yang tidak dan belum dipenjara…”
Jumadi menangis keras sekali. Sepanjang malam, dia terus menangis. Keesokan harinya, dia makin menangis ketika membaca wawancara seorang tersangka korupsi dengan seorang wartawan.
“Apa komentar Bapak tentang tuntutan Jaksa dengan pidana selama 10 tahun penjara?”
“Bagi saya, sudah tidak penting lagi berapa lama tuntutan Jaksa. Itu sudah bukan tema hidup saya. Percuma saya dituntut 5 tahun penjara kalau hal itu tidak membuat saya menyadari kekeliruan saya dan menjadikan saya lebih baik lagi…”
Usai membaca itu, Jumadi langsung memutuskan dirinya untuk melakukan laku “dari penjara ke penjara”. Membawakan mereka makanan, menghibur mereka, dan memintakan doa mereka untuk orang-orang di luar penjara, termasuk dirinya.