Dua malam lalu, saya kedayohan seorang sahabat yang berjualan madu. Bagi yang tak begitu mengenalnya, sahabat saya ini tentu mudah disepelekan. Ke mana-mana, dia hanya memakai sarung dan berkaos oblong putih. Prejengannya pun tak menampakkan diri sebagai saudagar yang berhasil. Ceking. Plendas-plendus. Lebih sering tersenyum daripada bicara. Sampai sekarang, dia masih belum bisa nyetir mobil. Kalau berpergian selalu diantar sopirnya dengan mobil yang biasa saja. Tidak jarang dia disangka Si Sopir daripada Sang Juragan. Tapi hal seperti ini, biasa terjadi di Indonesia, bukan?
Dia memimpin 100an karyawan dengan omzet milyaran dalam sebulan. Di antara kalangan pertemanan kami, dia adalah orang yang kami anggap ahli dalam memilih karyawan. Hampir semua orang memuji mental para karyawannya: jujur, tekun, dan amanah, dan tidak aneh-aneh.
Dua malam lalu, teman saya akhirnya membuka rahasia kenapa dia bisa mendapatkan para karyawan dengan mental berkilau seperti itu. Untuk urusan karyawan, dia tidak pernah mempercayakan kepada pihak lain. Dia harus turun tangan sendiri.
Ternyata dia punya kiat yang cukup unik. Dia berburu apa yang disebutnya sebagai “Orang-orang yang hampir putus asa”. Menurut dia, di kehidupan ini ada fase ketika seseorang dalam persoalan besar: tidak dipercaya oleh siapa saja, bangkrut, tertimpa musibah, kena fitnah, atau bertaubat dari masa lalu yang kelam.
“Biasanya orang-orang yang seperti itu selalu dalam lingkar kekelaman. Dari apes ke apes. Melakukan apapun serbasalah. Tidak dipercaya teman-temannya, saudaranya, orangtuanya, istrinya, mertuanya, pokoknya tidak ada lagi yang percaya mereka. Mereka hanya punya dua pintu: sabar atau bunuhdiri. Di saat mereka memutuskan untuk sabar itulah, mereka sudah lulus dari ujian besar kehidupan. Orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang berkilau, seperti para kesatria yang baru keluar dari hutan pertapaan. Jadi saya tidak memilih karyawan yang punya rekaman jejak yang jujur, baik, dan berprestasi. Karena menurut saya, orang-orang seperti itu sudah banyak yang mencari. Saya memilih orang-orang yang pernah berdosa, bersalah, dan bertahan dalam ujian.”
Saya manggut-manggut. Hampir sulit rasanya memahami hal seperti itu.
“Sampeyan tahu kenapa saya melakukan hal itu?”
Saya menggelengkan kepala.
“Karena saya pernah mengalaminya sendiri.”