Gus Baha’ punya kalimat yang dipigura, dan kelak benda itu akan diwasiatkan kepada anak-cucunya.
Kalimat itu ditulis dalam bahasa Arab, yang kira-kira artinya: “Wahai anak-cucuku, aku ini belajar banyak bukan untuk menjadi orang alim, tapi untuk memahami luasnya rahmat Allah sehingga aku bisa hormat kepada semua umat Kanjeng Nabi.”
Salah satu golongan umat Kanjeng Nabi yang terbesar adalah orang awam. Kanjeng Nabi sendiri juga rileks menghadapi orang awam. Salah satu sahabat beliau suka sekali mabuk. Namanya: Nu’aiman. Nu’aiman ini cinta sekali dengan Kanjeng Nabi. Kalau tidak bersama Kanjeng Nabi, dia pusing. Tapi kalau tidak mabuk juga pusing. Akhirnya dipilihlah jalan tengah, sering mabuk di dekat Kanjeng Nabi.
Ada banyak cerita tentang Nu’aiman ini. Orangnya jenaka, mabukan, ceplas-ceplos, dan sering mengerjai Kanjeng Nabi. Tapi Kanjeng Nabi sangat mencintainya.
Kelakuan Nu’aiman yang seperti itu, sering ditegur para sahabat. Dan Kanjeng Nabi balik menegur para sahabat tersebut. “Bagaimanapun Nu’aiman itu mencintai Allah dan rasulnya.” Dan di kesempatan lain, Kanjeng Nabi berkata, “Aku itu palinh gembira kalau bercanda dengan Nu’aiman.”
Ada sekelompok wali, yang menurut Gus Baha’, tidak pernah melakukan salat sunah qabliah dan ba’diah. Hal itu mereka pertahankan dengan tujuan agar salat sunah itu tetap dianggap sunah dan tidak membebani orang awam. Bayangkan jika pekerja jenis tertentu misal jika di zaman sekarang seperti para pekerja kasar atau mereka yang punya kerjaan ketat dalam soal waktu seperti satpam dan sopir. Tentu mereka akan berat jika dibebani dengan salat sunah seperti itu. Bahkan bisa jadi masalah. Kelompok wali ini seakan memasang badan jangan sampai orang-orang yang tidak mengerjakan salat qabliah dan ba’diah dianggap buruk. Dan jangan menganggap salat sunah sebagai beban.
Banyak wali yang suka bermain sepakbola, bahkan menari. Jadi wali itu bukan hanya kelompok orang khusyu’ saja. Kalau sepakbola diharamkan, banyak hal diharamkan, maka yang rugi ya Kanjeng Nabi. Umatnya jadi terlalu berat menjalankan dan memeluk agama Islam.
Makanya, Gus Baha’ selalu berpesan, jangan suka menghukumi dan memberi cap kepada orang lain. Apalagi dengan cap munafik.
Di zaman Kanjeng Nabi itu ada perang. Perang di zaman itu jelas. Dipimpin Kanjeng Nabi sehingga jelas siapa yang benar dan salah. Perang zaman sekarang beda. Apalagi bertengkar gara-gara politik. Ikut capres sini ada kiainya, ikut capres sana ada kiainya. Ya tidak perlu tegang. Sama-sama gak jelas. Kalau tidak jelas, musuhannya ya tak perlu keras-keras. Gak usah serius-serius kalau ikut barisan perang capres. Kalau serius dengan landasan ikut kiai atau ulama gara-gara capres, itu istilah Gus Baha’: ngajak goblok bareng.