Anda yang suka sepakbola tentu tahu istilah “False Nine”, yang mudahnya diterjemahkan sebagai “penyerang palsu”. Kenapa “nine”, karena umumnya, penyerang itu bernomor punggung 9. Atau dalam nomor penandaan taktik sepakbola, penyerang selalu diberi kode 9 dan 10.
Dalam definisi yang sederhana, Penyerang Palsu (selanjutnya cukup saya sebut PP) adalah pemain yang dipasang di depan sendiri, tampak sebagai striker tunggal, tapi pada prakteknya, dia justru turun ke bawah mengambil bola, sembari memberikan kesempatan pemain-pemain lain untuk merangsek ke depan.
Jadi pemain yang dijadikan PP ini bukan sembarang pemain. Dia tidak harus bomber, yang penting punya stamina yang bagus, kecepatan, penggocekan, umpan yang akurat, dan satu lagi: gerakan tanpa bola yang maut. Dalam bermain bola, gerakan pemain utama ketika tidak mengendalikan bola, sama pentingnya dengan saat dia menggocek bola.
Para alay sepakbola mengenal PP dengan sosok Messi, saat ditangani oleh Guardiola. Tapi sejarah PP sendiri, konon sudah lama sekali. Hanya saja dihidupkan ulang, diperkenalkan lagi oleh, catat ini ya, catat: Spalletti. Ya, saat si kepala plontos itu melatih Roma dan kehabisan stok striker karena badai cedera. Akhirnya dia memainkan Totti yang semula dikenal sebagai gelandang serang untuk menempati PP pada musim kompetisi 2005/2006.
Di Liga Inggris, kalau menurut Mbah Google, Van Persie juga pernah main sebagai PP. Lagi-lagi ketika itu, Wenger juga kehabisan stok striker.
Ya, intinya itu lah ya… Karena bukan itu yang penting.
Spalletti memang dikenal sebagai pelatih yang kaya formasi. Dia bisa memainkan apa saja dari mulai 4-2-3-1, sampai 4-1-4-1. Apapun formasinya, dia selalu berusaha menempatkan seorang PP. Gambar di bawah, adalah perkiraan skema dia saat nanti, dua jam lagi, Roma memulai pertandingan saat melawat di kandang Udinese.
Di satu sisi, Roma punya potensi yang besar. Hanya dengan besutan yang tidak begitu lama, Roma kembali menjadi kesebelasan paling produktif di Liga Seri A Italia, mengalahkan Juventus. Dan itu hanya membutuhkan waktu singkat, ketika trio Perotti, El Shaarawy, dan Mohamed Salah, sudah saling nyetel.
Tapi di sisi yang lain, Roma punya persoalan besar dengan hadirnya Dzeko. Pemain jangkung ini adalah striker murni, yang mengandalkan tendangan geledek, sundulan, dan kecepatannya. Padahal, dalam skema Spalletti, tipe seperti ini mestinya tidak terpakai. Tapi anehnya, Dzeko selalu diberi kesempatan. Dan hasilnya? Ya, dia gagal memberikan permainan terbaiknya. Terlebih jika berhadapan dengan lini belakang kesebelasan bergaya Italia, Dzeko sering kehilangan bola, dan terlihat putus asa.
Saya tak tahu persis, kenapa Dzeko dipaksa main. Mungkin sudah telanjur dibeli dengan harga lumayan mahal. Mungkin juga untuk memberi rasa percaya diri. Di sepakbola, penting memberi rasa percaya diri pada seorang striker, terlebih jika lama dia tak menyumbangkan gol untuk kesebelasannya. Saya menduga, Spalletti dalam dua bentangan itu ketika memutuskan memasang Dzeko.
Tentu hal itu bukannya tanpa risiko. Salah satunya ya Roma akan sering kehilangan peluang ketika dalam posisi mudah menceploskan gol. Selain itu, akan ada satu pemain yang kurang produktif dalam memberikan kontribusinya terhadap tim. Hal seperti ini buruk dalam sepakbola jika musuh Roma seperti Madrid atau Juventus, sebuah tim yang setiap pemainnya punya keterampilan di atas rata-rata. Sehingga berkurangnya kontribusi satu pemain saja, akan sangat terasa.
Jujur saja sebagai seorang Romanisti, saya juga menaruh belas kasihan kepada Dzeko. Saya bisa merasakan bagaimana menjadi pemain yang “seolah tak berguna”, tapi terus diberi kepercayaan.
Tapi di sisi yang lain, sebagai fans, kami juga butuh kemenangan. Sialnya, saya tak pernah tahu bagaimana bisa Dzeko kompatibel dengan skema Spalletti.
Tentu pilihannya ada 3: Dzeko mengubah karakternya, Spalletti mengubah gayanya dalam meracik taktik, atau Dzeko dijual.
Dengan berat hati saya harus bilang, tampaknya pilihan ketiga yang paling memungkinkan. Kecuali ada keajaiban menyusup di poin satu dan dua.