“Mas, tiket pesawat terbang ke Aceh itu mahal gak?” Agus Mulyadi langsung nyerocos begitu saya membuka pintu rumah. Bahkan saya belum sempat duduk di kursi batu yang ada di beranda.
“Ya coba cek saja lewat Traveloka, Gus.” ucap saya sembari melirik langit, mendung cukup tebal dan suara geluduk menderu.
“Mas, kalau menikah dengan perempuan dari Aceh itu susah gak?”
“Wah, jinguk kowe, Gus. Ya gak tahu wong aku menikah dengan orang Jakarta.”
“Lho siapa tahu, Sampeyan kan wawasannya luaaaas, temannya banyaaak…”
“Coba ya nanti tak tanya ke teman-temanku yang dari Aceh. Tapi setahuku di Aceh gak ada adat kayak Panaik di Bugis. Jadi kemungkinannya gak susah-susah amat…”
“Kalau kayak aku ini dapat orang Aceh prospektif gak ya, Mas?”
Saya mulai sadar. Ada hal yang membuat bloger muda ini bersemangat. “Melihat prejengan kamu yang gampang beradaptasi, terus rajin salat 5 waktu, kayaknya sih prospektif, Gus…” dan saya pun penasaran. “Memang kamu sudah janjian ketemu sama Bu Guru SMA dari Aceh itu, Gus?”
“Ah, ya belum lah, Mas…”
“Tapi sudah punya nomer teleponnya, kan?”
“Itu juga belum, Mas…”
“Sudah saling menyapa lewat inboks?”
“Belum juga, Mas…”
“Gus, di kantor ada palu?”
“Kayaknya ada, Mas. Tak ambilkan po? Mau dipakai mbetulin apa, Mas?”
“Mau tak pakai nuthuki untumu!”
***