“Lukisan itu bukan penisilin…”
Ketika mengucapkan kalimat itu, nada suara Agus Suwage terdengar sinis sekaligus humoris. Ia tersenyum, sambil memasang kacamata bacanya. Kalimat itu bukan ditujukan kepada saya. Suwage hanya mengulang sebuah jawaban, ketika salah seorang kawannya bertanya tentang lukisan-lukisannya yang dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Hubungan lukisan dengan masyarakat, begitu hasil olah pikirnya, tidak seperti penisilin pada borok.
Senja ini adalah kali kedua saya bertemu dengannya. Pertemuan pertama saya, berlangsung di tempat yang sama, beberapa bulan yang lalu. Ada beberapa hal yang sama antara pertemuan pertama dan kedua, ada juga yang tidak. Saya menandai itu semua, diam-diam.
Saya datang dalam hujan, dengan naik sepeda motor. Mantel yang saya kenakan, tidak kuasa menahan deras hujan. Beberapa bagian pakaian saya, basah. Begitu masuk ke bangunan studio Suwage yang juga digunakan sebagai tempat tinggal sementara bersama keluarganya, saya melihat Titarubi, istrinya, sedang duduk di sebuah pojok menghadap komputer. Ada empat laki-laki di ruangan itu, tiga orang juga sedang khusyuk menekuri komputer masing-masing. Sementara, Suwage duduk menghadap meja panjang. Di depannya, majalah Rolling Stone edisi terbaru, tergeletak. Setumpuk katalog pameran, teronggok di pojok meja. Kami pun duduk berhadap-hadapan.
Seseorang tidak perlu tahu tentang dunia senirupa untuk mendengar nama Agus Suwage. Namanya banyak disebut orang untuk beberapa konteks yang berbeda. Salah satu teman saya, seorang aktivis dari Jakarta, menyebut Suwage sebagai teman minum bir yang baik. Ia, teman saya, cukup datang naik angkot ke rumah Suwage yang saat itu bermukim di Jakarta, lalu bisa sejenak menggusah jauh aktivitas sehari-harinya dengan menenggak berbotol-botol bir. Gratis, tentu saja. Seorang lagi kawan saya, seorang aktivis LSM, berkisah bagaimana rumah Suwae menjadi kantor dadakan untuk membantu korban bencana alam ketika Yogya digedor gempa.
Kira-kira dua tahun yang lalu, nama Agus Suwage banyak menghias media massa karena kasus Pink Swing Park. Kolaborasi seninya dengan seorang forografer muda bernama Davi Linggar, menuai protes dari sekelompok orang atas dalil moral. Kasus itu menggema di mana-mana, bahkan memantik perdebatan yang serius sekaligus melebar tentang senirupa di media massa.
Dan seorang kawan baik saya di Yogya, seorang pembuat buku-buku katalog pameran senirupa mengatakan, tentu saja dengan nada separuh bercanda, “Orang yang antre membeli lukisan Suwage, dari sini sampai Tugu.” Yang dimaksud ‘dari sini’ adalah rumah kontrakan saya, yang dimaksud dengan ‘Tugu’ adalah sebuah situs kota Yogya yang cukup penting, berdiri di tengah perempatan jalan. Jarak antara rumah kontrakan saya dengan Tugu, kira-kira 5 kilometer.
Saya punya kenalan beberapa perupa, dan saya agak sering main ke tempat mereka. Di masing-masing tempat, biasanya selalu ada kolektor maupun kurator. Di sana, saya sering mendengar nama Suwage disebut. Dengan jam terbang yang tinggi, pengalaman yang banyak, harga karya-karyanya yang melambung, nama Agus Suwage, tidak henti-hentinya didengung-dengungkan. Suwage, siapapun ia, harus diakui, suka maupun tidak suka, masuk dalam jajaran perupa papan atas Indonesia.
Tidak harus paham senirupa memang, untuk mendengar nama Agus Suwage. Saya adalah contohnya.
Kini, saya berhadapan dengan sosok itu. Di luar, hujan tidak mau berhenti. Di dalam ruangan besar ini, dua ekor anjing saling menggonggong, saling berkejaran. Sedianya kami akan berbincang di lantai atas, tempat Suwage biasa berkarya. Namun deras hujan yang menghantam atap, dikhawatirkan mengganggu alat perekam saya mencengkeram suaranya.
Sesekali, di tengah-tengah perbincangan, Suwage harus meninggalkan meja panjang ini jika namanya diseru oleh anaknya. Sesekali pula, percakapan harus terhenti ketika ponselnya berdering. Tangannya juga tidak bisa diam. Ada saja yang dikerjakannya, mencorat-coret di atas kertas, lalu berpindah mencorat-coret di selembar tissu. Membersihkan kacamata plus-nya berulang kali, atau kalau tidak, beranjak lalu berjalan mendekati tiga laki-laki di ruangan itu, melihat layar monitor mereka, kemudian balik lagi ke kursi tempatnya duduk. Entah berapa kali, cangkir minumnya diisi. Ia seperti tidak betah duduk diam. Seperti selalu ada yang ingin dikerjakan.
Saya merasa ada yang berbeda dengan pertemuan pertama, ada yang kurang di dirinya. Berkali-kali, ia mengambil permen dari sebuah kotak. Setelah diemut beberapa saat, dilepehkannya butir perman dari mulutnya. Kemudian mengambil lagi. Begitu terus. Dan ketika saya memastikan dengan cara bertanya, Suwage mengiyakan, “Sudah sebulan ini, aku berhenti merokok…”
Suwage lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada tahun 1959. Ia berdarah Tionghoa-Jawa, dan lahir dari keluarga pedagang. Sekalipun berada dalam lingkungan pedagang, namun orangtua Suwage membebaskan anak-anak mereka melakukan apa yang mereka sukai, termasuk sekolah di mana saja. Lingkungan tinggal keluarga itu berada di kampung yang membaur dengan masyarakat lain, Jawa, Tionghoa sampai Arab.
Di kampung tempat ia menghabiskan masa kecil, Suwage mengaku kalau ia tidak pernah merasakan diskriminasi. “Kami biasa saling bercanda, gojlok-gojlokan: Dasar China! Dasar Jawa! Dasar Arab!”
Mendengar kisah itu, saya jadi teringat kalimat Enin Supriyanto, seorang kurator muda, yang mengatakan kalau tidak banyak perupa Indonesia yang mempunyai watak kosmopolitan. Suwage, menurut Enin, salah satunya. Dan bisa jadi, lingkungan masa kecil yang plural itu, telah menempa Suwage untuk berjiwa kosmopolitan.
Sebagaimana orang yang berdarah Tionghoa, Suwage juga mempunyai nama Tionghoa: Oei Hok Sioe. Tetapi kebijakan Orde Baru yang ambigu tentang etnis Tionghoa, Suwage pun memakai nama Jawa: Agus Susanto. Nama Wage, diambil dari nama bapaknya.
Ketika kecil, seingat Suwage, tidak ada perilakunya yang menunjukkan kalau suatu saat ia menjadi seorang perupa. Di luar jadwal sekolahnya, ia malah banyak menghabiskan waktu untuk berolahraga, seperti main sepakbola, tenis meja dan bulutangkis. Satu-satunya yang ia ingat, yang berhubungan antara masa kecil dengan garis dan warna hanyalah, ia sering menggambari lantai rumahnya. Rumah orangtua Suwage berbentuk memanjang, dan di sepanjang lantai itulah, Suwage menggambar. Untuk mewadahi keusilan tangan Suwage kecil, orangtuanya lalu memasang papan tulis besar. Di sanalah kemudian Suwage belajar mencorat-coret.
Hasil corat-coret di papan tulis itu, kelak ketika Suwage mulai masuk ke bangku SD dan SMP, membawa hasil. Ia sering menyabet gelar lomba menggambar sampai tingkat kabupaten. Karena Suwage sekolah di SD dan SMP Katolik, di saat perayaan keagamaan di sekolah, Suwage juga sering diminta oleh guru-gurunya untuk membuat gambar-gambar seremonial keagamaan.
Selain suka menggambar, Suwage juga suka bermain musik. Ia sudah bisa memainkan alat musik gitar sejak duduk di bangku SMP. Ia tergila-gila kepada grup band manca negara, Led Zeppelin. “Dari dulu cita-citaku menjadi anak band!” ujarnya lantang.
Lulus SMP, Suwage meneruskan sekolah di SMA Kolese de Britto, Yogyakarta. Di kota pelajar inilah, pergaulan Suwage semakin meluas, dan ia semakin membenamkan diri dalam dunia musik. Waktunya habis untuk main musik, mejeng dan mabuk-mabukan. “Supaya rambutku keren seperti Sex Pistols, aku membasahi rambutku dengan bir…” ungkapnya.
Suwage kemudian harus membayar seluruh kesenangannya itu dengan harga mahal, ia tidak lulus ujian. Ia tertawa mengenang masa itu, “Teman-temanku gaul, tetapi otak mereka cemerlang. Sementara aku, hanya berotak pas-pasan.” Suwage beruntung, ia tidak terlalu malu sebab sebagian besar teman sekelasnya waktu itu, juga tidak lulus ujian.
Lulus SMA, karena bosan tinggal di Yogya, ia pergi ke Bandung untuk mendaftar masuk jurusan arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tetapi tidak lolos. Kemudian ia mendaftar masuk Institut Seni Indonesia (ISI), dan mendaftar lagi ikut tes di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Kali ini, ia lolos keduanya, diterima di ISI dan ITB. Namun, ia lebih memilih kuliah di ITB, Fakultas Seni Rupa dan Desain, dengan jurusan Desain Grafis, pada tahun 1979.
Sekalipun kuliah di bidang desain grafis, tetapi sebetulnya hatinya mulai jatuh cinta pada seni murni. Ia jarang belajar. Buku-buku yang dibaca dan dipelajarinya bukan buku-buku tentang desain grafis, melainkan tentang seni murni. Mata kuliah sketsa, yang memang ada di jurusan Desain Grafis, dilaluinya dengan nilai tinggi. Semasa kuliah itu, ia pernah ikut pameran senirupa beberapa kali. Pameran pertama yang ia ikuti adalah pameran bersama pada tahun 1984 dengan tajuk “Ini Baroe Seni Roepa, Ini Seni Roepa Baroe”, yang diselenggarakan di France Cultural Center and Bandung Youth Center, di Bandung.
Pada tahun 1986, Suwage lulus dari ITB, lalu hengkang ke Jakarta, bekerja di sebuah kantor desain grafis. Setahun kemudian, ia keluar dari tempatnya bekerja, bersama beberapa temannya kemudian membuat kantor desain grafis sendiri dengan nama Work Gallery. Selama bekerja sebagai pendesain grafis, Suwage tetap melakukan hobinya melukis. Bahkan sebuah ruang di kantornya, disulap seperti galeri mini, dan di sanalah karya-karyanya dipajang.
Hingga suatu saat, sekitar tahun 1991, Jim Supangkat yang saat itu bekerja di Yayasan Seni Rupa Indonesia (YASRI), sedang ada sebuah proyek dengan kantor Suwage. Saat Jim bertandang ke kantor Suwage dan melihat karya-karya Suwage, ia menawari Suwage untuk ikut pameran. Semenjak itu, Suwage mulai ikut di berbagai pameran, baik di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1993, karya Suwage ikut dipamerkan di Belanda, saat itu sebuah lukisannya berjudul Separuh Realita Separuh Mimpi yang dikerjakannya pada tahun 1989, laku terjual. Lakunya karya tersebut, di luar negeri lagi, membuat hati Suwage menggembung. Jalan pikirannya mulai terbelah.
Sekalipun beberapa lukisannya telah laku, Suwage tidak bisa memilih meninggalkan pekerjaannya dan kantornya. Ia masih ragu-ragu, apakah menjadi seorang perupa bisa menghidupinya?
Keraguan Suwage cukup beralasan, apalagi ketika kantor desain grafisnya berkembang dengan cukup baik. Sebagai gambaran saja, saat itu, Suwage dan teman-temannya sudah mampu menyewa kantor seharga 75 juta rupiah. Harga yang tidak murah untuk menyewa kantor, sekalipun berada di Jakarta. Suwage gamang untuk jangka waktu yang lama. Di kantornya, ia mendapatkan uang yang bisa menghidupi dirinya dengan kecukupan.
Hidup dengan menjejakkan kaki di dua dunia yang berbeda, membuat kantor Suwage sempat tidak terurus. Satu per satu teman-temannya pergi, akhirnya Suwage memutuskan untuk menutup kantornya pada tahun 1994, dengan cara yang pahit. Sebagai pemilik saham terbesar, ia menomboki proyek-proyek yang gagal dieksekusi kantornya.
Tetapi dunia desain grafis tidak begitu saja ditinggalkannya. Ia masih mengibarkan bendera di bidang itu sebagai pekerja paruh-waktu, dengan alasan yang sangat pragmatis, soal ekonomi. Pada tahun 1995, ia menikah dengan Titarubi. Di tahun itu pula, ia memutuskan untuk hidup penuh-waktu sebagai seorang perupa dengan segala risikonya. Dari pernikahan tersebut lahirlah dua puteri: Carkultera dan Gendis.
Di saat-saat itu, Suwage mengakui, ia sering ‘separuh menodong’ kepada Biantoro Santoso, teman satu SMA-nya dulu, yang kelak mendirikan Nadi Gallery. Beberapa lukisannya diserahkan ke Biantoro, jika ditanya berapa harganya, Suwage menjawab, “Terserah.” Biantoro kemudian sering memberi uang untuk lukisan-lukisan Suwage yang diserahkan kepadanya. Lukisan-lukisan Suwage saat itu sudah sering dibeli oleh kaum ekspatriat yang tinggal di Jakarta. Hal itu, semakin menebalkan kepercayaan diri Suwage.
Ketika ditanya soal keberaniannya untuk mengambil keputusan menjadi seorang perupa penuh-waktu, ia hanya menjawab, “Aku sudah lelah berkompromi, kepada klien, juga kepada keinginan diriku sendiri.”
Secangkir kopi dihidangkan di depan saya oleh salah seorang laki-laki yang dari tadi sibuk menghadapi komputernya. Bau kopi mengambang di ruang, menyatu dengan bau hujan yang datang lewat pintu. Beberapa kali, Suwage menenangkan kedua anjingnya yang menggonggong keras.
Jakarta, Mei 1998. Rezim Soeharto sedang terjun bebas ke titik yang paling rendah. Diawali dengan krisis moneter pada menjelang akhir tahun 1997, diikuti dengan krisis politik karena gerakan anti-Soeharto mulai mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan rezim yang telah berkuasa hampir 32 tahun itu.
Gerakan perlawanan mulai menjamur, demonstrasi mahasiswa merebak di mana-mana. Faksi-faksi kekuatan di bawah pemerintahan pun mulai terbelah. Hingga mencapai puncaknya di bulan Mei. Penculikan para aktivis dan gugurnya para mahasiswa di berbagai kota, semakin menyulut api perlawanan. Tetapi sebuah kerusuhan yang sampai sekarang masih menjadi misteri, Kerusuhan Mei, meledak di Jakarta, kemudian diikuti di berbagai kota lain seperti Medan, Palembang, Pekanbaru, Bandar Lampung, Solo dan Surabaya.
Di Jakarta, di jantung kekuasaan, kerusuhan terjadi dengan skala yang besar. Ribuan mobil dan bangunan hangus terbakar, 1.200 lebih manusia mati, paling banyak terpanggang api. Rasisme anti-China berkobar. Ada berbagai analisa tentang kerusuhan itu, dari mulai politik rasisme rezim Soeharto yang memang mendua terhadap etnis Tionghoa, yang pada titik tertentu ketika kekuasaannya terancam sering dikumandangkan untuk mengalihkan isu vertikal (baca: antara rakyat versus penguasa) menjadi isu horisontal (baca: antara non-Tionghoa versus Tionghoa), sampai perebutan pengaruh antara pejabat-pejabat tinggi militer. Tetapi apapun teori yang coba dipakai, hanya ada satu hal yang jelas, korban berjatuhan di mana-mana, korban-korban yang tidak berdosa.
Suwage berada di sana, di tengah huru-hara itu. Famili jauhnya menjadi korban. Ia gusar dan galau, tetapi bukan karena pada tubuhnya mengalir darah Tionghoa, melainkan lebih pada persoalan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Sebuah negara-bangsa bernama Indonesia, dan pada khususnya sebuah kota bernama Jakarta, sedang meleleh, seperti efek cat air pada lukisan-lukisannya…
Di saat itulah, ia berpikir untuk pindah dari kota itu. Sebelum kejadian itu, ia memang sempat berpikir serius untuk pindah ke Yogya. Pertimbangannya saat itu sederhana saja. Ia berpikir tentang kota yang kondusif buat pertumbuhan anak-anaknya, terutama berhubungan dengan pendidikan. Ia juga merasa, kalau di Yogya, ia bisa lebih banyak berjumpa dan bergaul dengan para perupa, sebuah kesempatan yang susah ia dapatkan jika ia berada di Jakarta.
Sepanjang tahun 1998 yang penuh gejolak itu, Suwage nyaris tidak menghasilkan karya. Sebab realitas sosial yang ia hadapi, jauh lebih tragis dibanding apa yang sanggup ditorehkan seorang pelukis di atas kanvas. Ia dan Titarubi malah ikut terlibat di dalam aktivitas politik, terutama mengadvokasi para aktivis yang diculik dan dipenjara rezim Orde Baru.
Tahun 1999, Suwage dan keluarganya pindah ke Yogyakarta. Saat ia dan keluarganya berada di Yogya, ia mencoba kembali intens menggeluti dunia senirupa. Tetapi menjadi perupa penuh-waktu, bukan perkara mudah saat itu, terutama dalam hal ekonomi. “Selama itu, aku sering dibantu keluargaku. Aku sering meminjam uang orangtuaku dan saudara-saudaraku. Ikrarnya pinjam, tetapi tidak pernah mengembalikan…” ujarnya sambil tersenyum.
Persoalan ekonomi bukan satu-satunya masalah yang dihadapi Suwage saat itu. Ia juga masih dibuntuti oleh peristiwa-peristiwa sosial-politik sebelumnya, yang membuatnya sulit berkarya. Dalam kondisi seperti itu, akhirnya ia menerima tawaran residensi artis di Jepang selama enam bulan. Keputusan tersebut diambil karena ia ingin sejenak berjarak dari realitas, sehingga bisa kembali berkarya.
Kopi beraroma rempah yang sejak tadi dihidangkan untuk saya, sudah tinggal separuh. Titarubi sudah pamit pergi keluar. Tiga laki-laki di ruangan itu masih asyik menekuri komputer masing-masing. Kedua anjing yang satu berwarna hitam dan satu lagi berwarna coklat itu, sesekali masih bertikai.
Lalu Suwage berkisah tentang kerja-kerja senirupanya, terutama menyangkut tema-tema karya-karyanya. “Dulu, di awal-awal berkarya, aku banyak merespons kondisi sosial-politik di Indonesia.” Sekalipun begitu, tema-tema tersebut diolah dengan sentuhan sinis dan humoris. Dua gaya sentuhan yang tidak gampang, dua hal yang diam-diam, saya dapati pada diri Suwage. Hal itu tampak memang dari judul-judul karya lukisannya seperti Keluarga Bencana dan Mengubur Mitos, keduanya dibuat pada tahun 1985. Karyanya yang berjudul Separuh Realita Separuh Mimpi, yang dibuat pada tahun 1989, juga menunjukkan betapa Suwage menaruh perhatian pada tema sosial-politik. Di tahun itu pula ia membuat lukisan berjudul Wisudawan dengan Langit Mendung. Sederet karya lainnya seperti Kotak Pedagogi (1992), juga karya instalasinya berjudul Manusia dan Benderanya (1993) meneguhkan pilihan temal yang sedang digauli Suwage.
Setiap karya yang muncul dari tangan Suwage, jelas punya sejarah masing-masing. Hanya ia yang tahu, dari pintu mana dan lewat jalan seperti apa, sebuah karyanya hadir. Sebagian ia kisahkan, sebagian lagi ia simpan di kotak rahasia.
This Room of Mine, sebuah buku-seni yang ia kerjakan pada tahun 1996, mempunyai kisah tersendiri. Suatu saat, ada seorang teman dekatnya yang sedang membangun rumah. Si teman datang ke Suwage dan bilang kalau rumah tersebut akan jadi dua minggu lagi, tinggal pemasangan instalasi listrik, dan meminta ijin agar bisa menumpang di rumah kontrakan Suwage. Tentu saja, sebagai teman yang baik, Suwage mempersilakan. Jadilah si teman dengan keluarganya menumpang di rumah kontrakan Suwage dan keluarganya. Rumah Suwage mendadak penuh. Bahkan ruangan di mana Suwage biasa melukis, terpaksa dipakai untuk menyimpan berbagai perabot. Selama itu, Suwage tidak bisa melukis. Ia hanya bisa mencorat-coret kertas di dalam kamarnya. Sialnya, waktu yang konon hanya dua minggu, ternyata molor begitu lama hingga delapan bulan. Dari sanalah, karya Suwage berupa buku-seni, buatan tangan, dan dicetak terbatas itu, lahir.
Salah satu seri karya Agus Suwage yang banyak diingat oleh khalayak pemerhati senirupa adalah serial self-portrait. Serial potret-diri itu, mempunyai kisah tersendiri pula. Saat itu, Suwage mulai berpikir bahwa ia ingin mengkritik dirinya sendiri sebelum mengkritik orang lain. Dan ada satu masa, ketika ia tinggal satu rumah dengan seorang fotografer bernama Erik Prasetyo. Awalnya, ia menggunakan foto-foto wajah hasil jepretan Erik untuk menjadi bahan lukisan-lukisannya. Tetapi setelah pikiran tentang kritik-diri itu muncul, ia meminta Erik untuk memotret wajahnya dalam berbagai pose. Ia banyak memeragakan binatang, berpose dengan binatang, dan berbagai perkakas teknologi.
Binatang, termasuk salah satu objek yang sering dihadirkan oleh Suwage. Ia mengakui, selain binatang itu lucu, nafsu kebinatangan masih sering merasuki manusia. “Lihatlah, babi itu kan lucu, tetapi sering terpinggirkan,” katanya sambil tersenyum. Mendengar itu, saya menundukkan kepala, melihat dua ekor anjing yang mungkin kelelahan bercengkerama, dan mengelesot di bawah meja panjang, di dekat kaki saya.
Ketika saya bertanya perihal serial karyanya yang lain, Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi, setelah sejenak terdiam, ia menjawab, “Mungkin aku berkembang lebih religius…” tetapi segera jawaban yang khidmat itu, disusul dengan tawa panjangnya. “Ya, tapi benar. Aku mulai berpikir tentang hidup-mati.”
Di karya itu, Agus Suwage melukis wajah-wajah tenar yang sudah meninggal dunia, sebut saja misalnya ada Bunda Theresa, Saddam Husein, Mahatma Gandhi, Pramoedya Ananta Toer, Kartini, dll. Tokoh-tokoh itu, anehnya, sedang merokok, dengan posisi merokok yang khas terlihat di poster penyair Chairil Anwar. “Mereka telah mati, tetapi mereka tetap hidup sebagai legenda. Juga tentang rokok itu, banyak sekali orang merokok padahal jelas-jelas di bungkus rokok diterangkan bahwa merokok itu mengganggu kesehatan.” Keterangan tersebut menyiratkan betapa kompleksnya permasalahan yang hendak disampaikan Suwage dalam sebuah karya, berlapis-lapis. Saat lukisan-lukisan itu dibuat, pada tahun 2007, jelas Suwage masih seorang perokok berat.
Lalu ia melanjutkan, bagaimana pemikirannya kemudian berkembang lagi, dan kemudian menghasilkan sebaris karya tentang tengkorak. “Pada akhirnya, hanya itu yang tertinggal dari tubuh manusia…” Kali ini, ia tidak tertawa.
Saya menghentikan pertanyaan tentang karya-karyanya, motifnya, kompleksitas temanya, dan latar-belakangnya. Ia telah menggelar 18 pameran tunggal, dan mengikuti berpuluh pameran bersama, sepanjang karirnya. Kalau saya mengorek satu per satu, saya butuh ratusan halaman untuk menuliskannya.
Saya beralih untuk menyakan perihal proses yang ia lakoni di dalam mengeksekusi sebuah karya. “Harus selesai dulu di pikiran. Itu yang paling lama…” Untuk proses itu, ia mencari informasi seputar tema yang akan digarapnya, baik lewat buku tetapi terutama lewat internet. “Google paling banyak membantuku,” ujarnya cengengesan.
Setelah itu ia membuat sketsa. Dari sketsa itu, kemudian dipindahkan ke kanvas. “Apa yang ada di pikiran dan kemudian di sketsa, 80 persen sama dengan apa yang ada di kanvas. “Yang 20 persen sisanya, benar-benar aku nikmati saat aku melukis.”
Maka ketika ada temannya yang memprotes hasil karyanya tidak berguna kepada masyarakat, ia tenang, dan jawabannya hampir sama seperti di awal tulisan ini, “Memangnya lukisan itu penisilin? Paling tidak, melukis itu terapi buatku, dan berguna buat menghidupi keluargaku.” Sebuah jawaban yang jujur, yang tidak perlu dibalut apapun, seperti perban membalut borok.
Suwage dikenal juga sebagai seorang perupa yang mengeksplorasi banyak bahan, terutama cat air. “Efek yang ditimbulkan cat air di atas kertas, sangat menakjubkan. Dan aku selalu belajar pada efek-efek itu sampai sekarang.” Ia juga mengeksplorasi bahan-bahan lain seperti cairan teh, cairan tembakau, cairan obat merah (obat luka), bahkan cairan kopi. “Tetapi kalau memakai kopi, lukisan itu lalu dirubung kecoa.” ujarnya sambil tertawa tergelak.
Persiapan yang paling penting di dalam mengeksekusi sebuah karya bagi Suwage adalah suasana hati, mental dan stamina, terlebih kalau melukis di atas kertas dengan menggunakan cat air. Sebab menurutnya, melukis di atas kertas dengan cat air tidak bisa ditinggalkan. “Efek yang dihasilkan saat cat air basah, lembab, maupun kering, itu berbeda-beda. Makanya, kalau aku mau melukis di atas kertas dengan cat air, aku benar-benar harus memperhitungkan mood-ku dan staminaku. Kalau tidak mood, dan stamina sedang buruk, sakit perut misalnya, aku akan tunda dulu.”
Membangun suasana, juga hal yang penting bagi Suwage di dalam berkarya. Ia mencontohkan, saat ia melukis wajah Thom Yorke, salah satu pentolan grup Radiohead, tokoh yang disukainya, ia terus-menerus mendengarkan lagu-lagu Thom Yorke, dan saat melukis, lagu-lagu itu terus diputar.
Suwage mempunyai cara kerja tersendiri di dalam menggarap karya-karyanya. Ia mengerjakan karyanya satu per satu. Satu lukisan selesai, baru beralih ke lukisan yang lain. Jika ia merasa lelah, ia pun beristirahat. Tetapi ia juga tidak bisa meninggalkan proses melukis terlalu lama, karena jika terlalu lama tidak melukis, ia perlu beradaptasi lagi dengan laku melukis. “Tangan bisa kaku-kaku…” begitu pengakuannya.
Ia juga mengaku kalau dirinya cukup realistis terhadap gagasan-gagasannya. Tidak semua gagasan yang ada di pikirannya harus dieksekusi dalam bentuk lukisan. Kalau memang susah dieksekusi menjadi karya dua dimensi, ia akan mengerjakan gagasan tersebut dalam bentuk tiga dimensi.
“Mas, kenapa berhenti merokok?” tanya saya.
“Biar sehat. Untuk anak-anakku.” katanya, dengan mimik serius. “Mereka menjadi pendorong utamaku untuk berkarya. Merekalah masterpieces-ku.”
Hujan di luar sudah lama reda. Malam telah menunjukkan pukul 20.00, berarti saya sudah berada di ruangan ini selama 3 jam lebih. Tetapi perbincangan belum ingin saya akhiri. Masih ada sekian banyak hal yang ingin saya tanyakan, ingin saya ketahui. Cangkir kopi di depan saya sudah hampir tandas.
Kali ini Suwage mengeluarkan uneg-unegnya. Ia merasa harga lukisan di atas kertas dianaktirikan. Para kolektor sering berdalih menyimpan lukisan di kanvas lebih mudah dan tahan lama dibanding menyimpan lukisan di atas kertas. “Tetapi aku juga bisa beralasan, saat membuat lukisan di atas kertas, itu pun butuh perjuangan yang berat. Kalau soal penyimpanan, itu risiko. Ya sama dengan memelihara anjinglah… Memelihara jenis anjing tertentu kan butuh perawatan tertentu.”
Ia lalu melanjutkan, “Proses melukisnya pun sama, dari olah gagasan sampai eksekusi. Kenapa yang satu lebih dihargai dibanding yang lain?”
Soal berhubungan dengan kolektor, Suwage tentu saja mempunyai segudang pengalaman. “Aku paling tidak suka kalau mereka sok tahu, lebih tidak suka lagi, kalau mereka datang dengan gaya seakan-akan mereka punya banyak uang. Tetapi hal-hal seperti itu aku masih bisa berkompromi, asal jangan mendikte saja!” kali ini, nada suaranya agak meninggi.
Pernah suatu ketika, seorang kawannya membisiki Suwage, ada sebuah karyanya yang ditaksir oleh seorang kolektor, judulnya Dead Poets Society. Karya tersebut menggambarkan empat burung gagak yang nangkring di atas sekop. Si teman bilang, ada seorang calon pembeli, namun orang tersebut menginginkan burung-burung itu diubah warnanya menjadi hijau. Suwage marah besar. Tetapi ia bisa mengontrol diri dan hanya menjawab sambil cengengesan, “Kalau warnanya kuubah menjadi hijau, jadinya burung betet. Enggak serem, dong…” Karya itu termasuk karya kesukaan Suwage, dan sampai sekarang belum dijual.
Ia juga pernah ‘mengerjai’ sebuah galeri. Si pemilik galeri bilang, apapun yang dibuat oleh Suwage, akan dibeli. Bahkan si pemilik galeri memberi sejumlah uang agar Suwage bisa berkarya untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Akhirnya ia membuat karya-karya kolase. Begitu si pemilik galeri tahu, ia menitip pesan lewat seorang kurator agar dibuatkan lukisan di atas kanvas. Dalam hati, Suwage sebal tetapi juga ingin tertawa. Karena tidak ingin punya hutang, ia pun mengalah membuat lukisan di atas kanvas.
Agus Suwage orang yang agak perfeksionis di dalam berkarya. Baginya, beban terberat sebagai seorang seniman adalah konsisten membuat karya-karya yang bagus. Dan karya yang bagus, bermula dari gagasan yang matang, eksekusi yang baik, sampai pemajangan karya yang apik di ruang pameran. Ia tidak pernah main-main dengan karya-karyanya, “Aku hanya melepas karya-karya yang menurutku bagus…”
Sebagai seseorang yang menyukai karya seni, Suwage juga mengoleksi banyak karya para perupa lain. Tetapi ia pun mengoleksi karya-karya lukisannya sendiri. Bahkan, ia pernah membeli karyanya sendiri yang pernah dijual, saking ia suka dengan karya itu.
Saat saya mendesak bertanya, untuk apa ia menyimpan lukisan-lukisannya, ia bilang kalau ia memang suka dengan lukisan-lukisan sendiri, tetapi kemudian mengimbuhkan, “Juga untuk anak-anakku kelak.” Setiap kali menyebut anak-anaknya, mimiknya terlihat serius.
Ia memang tidak bisa tinggal diam. Tidak betah berdiam diri. Dulu, menurut pengakuannya, ia bahkan membuat spanram sendiri, dan membungkus karya-karyanya sendiri. Tetapi kini, waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk bermain musik dan chatting. Tetapi yang paling sering dilakukan, ia selalu melihat dokumen karya-karyanya terdahulu yang tersimpan rapi dalam bentuk digital. “Kadang-kadang setiap melihat karya-karyaku terdahulu, aku merasa kok aku bisa sehebat itu ya, membuat karya-karya yang bagus. Tetapi kadang, aku juga malu…”
Sebagian teman dekatnya, tahu persis, Suwage sangat menyukai musik, dan ia suka bermain musik. Saya pernah menyaksikan itu, saat pertemuan pertama. Di saat itu, ia asyik memainkan gitar bergantian dengan Enin Supriyanto. Kadang mereka berduet dengan masing-masing memainkan gitar. Kadang Enin memainkan gitar, dan Suwage meniup flute. Kepada teman-teman dekatnya, Suwage sering berseloroh, “Aku ini musisi, melukis itu hobi…”
Cobalah Anda ngobrol dengan Suwage soal musik dan senirupa, maka ia akan segera menyambar omongan itu dengan rentetan panjang. Suwage mempunyai pengetahuan ensiklopedis tentang senirupa dan musik. Beberapa judul dan tema lukisannya, ada hubungannya dengan musik.
Saya baru menyadari, di kening Suwage, terdapat bekas luka kecil, yang di pertemuan pertama kami belum ada. Ia menjelaskan kalau baru saja menjalani sejumlah operasi ringan, ada kista di paha dan di dahinya, dan ia juga baru saja menjalani operasi batu empedu. Semua itu, diceritakan dengan tenang, tanpa beban. Bahkan ketika saya bertanya soal bagaimana perasaannya ketika karyanya, Pink Swing Park, terpaksa diturunkan, ia hanya menjawab datar, “Mungkin memang masyarakat kita belum bisa menerima karya-karya seperti itu.”
Mengenai soal kebebasan berekspresi yang mulai terancam lagi, kalau dulu oleh negara sedangkan sekarang ini oleh kelompok yang mengatasnamakan agama, Suwage juga terkesan rileks. “Kalau hidup di negara yang semua serba boleh, kayaknya malah tidak asyik. Tidak ada tantangan.”
Bahkan soal tulisan-tulisan yang mengurai karya-karyanya, entah itu dari para kurator atau ulasan di media massa, Suwage pun terlihat sangat tenang. “Ya kalau suka, dibaca. Kalau tidak, ya tidak usah dibaca. Gampang, kan?”
Di depan Suwage, saya mendapati, banyak hal dilewati tanpa beban. Mengalir. Kalau bisa dipermudah, jangan dipersulit. Kalau memang sederhana, jangan diperumit. Kecuali tentu saja, dalam hal berkarya. Rasa tanpa beban juga kentara saat ia mengingat prosesi pernikahannya dengan Titarubi. Suwage beragama Kristen, sementara Titarubi beragama Islam. Agar bisa menikah, Suwage harus pindah agama, memeluk agama Islam. Ia melakoni itu semua tanpa beban. Bahkan ketika ia harus dikhitan dulu. Sambil lagi-lagi penuh tawa, ia berkisah, “Aku berangkat ke dokter naik oplet dengan memakai jins. Begitu pulang, saat obat patirasanya hilang, aku kesakitan.”
“Mas, momentum apa yang paling kamu sukai di dalam proses berkarya?”
“Saat kerja sudah selesai. Saat saya capek setelah bekerja, lalu leyeh-leyeh sambil memandang hasil kerja saya itu.”
Jam tangan saya menunjukkan waktu 21.30. Ini wawancara terpanjang yang pernah saya lakukan di dalam sekali pertemuan. Saya sudah lelah. Suwage juga sudah terlihat lelah. Mungkin ini saatnya bagi laki-laki separuh baya itu membuka botol bir, mengambil gitar dan bernyanyi.
Di bawah meja panjang tempat kami berbincang, kedua anjing itu sudah lama tertidur pulas.
Yogya, 28 November 2008