Sebagai seorang alim, Gus Baha’ sering dimintai tolong oleh orangtua santri putri. “Gus, mbok anak saya dicarikan jodoh yang jelas…”
Gus Baha’ sambil tertawa bilang, “Pak, Pak, lha sampeyan itu hidup juga gak jelas kok minta menantu yang jelas…”
Suatu saat, Gus Baha’ ditanya oleh salah satu takmir masjid. “Gus, bagaimana hukum jika kami memakai uang masjid untuk membayar penceramah?”
Gus Baha’ diam. Kalau dijawab tidak boleh, risikonya bisa merepotkan orang banyak. Lebih banyak mudaratnya karena takmir masjid bakal mengetuk dari pintu ke pintu warga. Itu artinya masjid bikin repot orang. Kalau dijawab boleh, mestinya ya tidak. Karena peruntukan uang itu bukan untuk membayar penceramah.
“Sudah gini saja. Pakai saja tapi gak usah mencari hukum boleh atau tidak.”
“Lha nanti kalau ditanya Tuhan bagaimana, Gus?”
“Kamu jawab saja: Gus Baha’ yang tanggungjawab, Gusti…”
“Kok Njenengan pede, Gus?”
“Ya pede. Karena aku yakin Tuhan itu penuh rahmat. Lebih mudah berurusan dengan Tuhan daripada dengan fakir-fakir kayak kalian ini.. Lha ya cuma urusan honorarium untuk penceramah saja kok jadi ribet gak karuwan…”