Persahabatan Seorang Karateka dan Pesilat

Persahabatan Seorang Karateka dan Pesilat

Awal semester baru, SMPN 9 Yogyaraya mengadakan field trip ke ibu kota negeri Odni, yaitu Jayakarta. Satu kota yang penuh gedung pencakar langit, sejarah panjang, dan tentu saja macetnya yang legendaris. Dipo dan Tono sangat antusias. Ini kali pertama mereka ke Jayakarta, apalagi bisa bareng satu kelas dan guru favorit mereka, Pak Fikri.

Hari itu cerah. Rombongan kelas 7A berangkat pagi-pagi naik bus pariwisata. Tujuan mereka adalah museum sejarah nasional dan taman kota tua. Sesampainya di Jayakarta, semua berjalan lancar. Mereka berfoto, belajar sejarah, dan makan siang bersama. Tapi semua berubah saat rombongan diberi waktu bebas selama satu jam untuk menjelajahi area sekitar museum dalam kelompok kecil.

“Kita ke toko buku tua di gang belakang yuk,” usul Tono. Dipo setuju. Mereka izin ke Pak Fikri, dan berangkat berdua. Tapi setelah belok kiri dua kali dan melewati lorong sempit yang penuh mural, mereka sadar… mereka tersesat.

“Ton… ini bukan gang tadi ya?” Dipo mulai gelisah.

“Wah, iya… tapi tadi kayaknya lewat sini deh,” jawab Tono ragu.

Mereka mencoba balik arah, tapi tiba-tiba tiga pria bertubuh besar muncul dari gang sebelah. Wajah mereka seram, dengan tatapan tajam. Salah satu dari mereka berseru, “Heh, anak sekolah ya? Tasnya sini!”

Dipo dan Tono saling pandang. “Bukan cari ribut, tapi kita gak bisa kasih tas sembarangan, Pak,” kata Dipo tegas.

“Berani ya?” Preman itu mendekat, tangannya hendak menarik tas Dipo.
Tono bergerak cepat, menghalangi tangan preman itu.

“Kita cuma mau balik ke museum. Gak cari masalah.”

Tapi mereka malah diserang. Salah satu preman mencoba memukul, tapi Tono menangkis dan membalas dengan sapuan kaki rendah. Dipo melompat ke samping dan menendang tangan salah satu preman hingga pisau lipat yang disembunyikan jatuh ke tanah.

Pertarungan kecil terjadi di gang sempit itu. Dipo dan Tono tak menyerang membabi buta, mereka hanya bertahan, menangkis, dan melumpuhkan gerakan lawan. Tono menggunakan teknik kuncian sederhana untuk membuat salah satu preman tak bisa bergerak, sementara Dipo berhasil menendang kaki preman lainnya hingga terduduk.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan, “Berhenti!”

Pak Fikri datang bersama satpam dan beberapa petugas keamanan museum. Para preman itu melarikan diri.
Dipo dan Tono terengah-engah. Pak Fikri mendekat, wajahnya campur antara marah dan khawatir. “Kalian ini… luar biasa, tapi juga ceroboh! Untung gak kenapa-kenapa!”

Di bus perjalanan pulang, Dipo memegang es batu di lengannya yang memar. Tono tersenyum kecil. “Setidaknya kita nemu toko buku… walau gak jadi masuk.”

Dipo tertawa pelan, “Dan nemu preman juga. Kombo lengkap.”

Meski tersesat, pengalaman itu jadi salah satu kenangan paling seru dan menegangkan selama field trip. Dan tentu saja, menambah lagi cerita panjang persahabatan Dipo dan Tono yang tak pernah biasa-biasa saja.

*

Hari itu matahari Yogyaraya bersinar lembut. Suasana sekolah mulai tenang, apalagi setelah field trip yang sukses. Tapi sejak beberapa hari terakhir, Dipo merasa ada yang berbeda dari Tono. Biasanya Tono paling cepat tertawa, paling semangat latihan, tapi kini lebih banyak diam.

“Ton, kamu kenapa sih? Ada apa?” tanya Dipo saat duduk di bawah pohon mangga, tempat favorit mereka.

Tono hanya tersenyum tipis. “Gak apa-apa kok, cuma lagi banyak pikiran.”
Tapi Dipo tahu, sahabatnya tidak sedang baik-baik saja.

Beberapa hari kemudian, saat pulang sekolah, Tono akhirnya bercerita. “Kemarin, aku nerima surat dari orang tuaku. Katanya… mereka gak jadi balik ke Odni tahun ini.”

Dipo menoleh cepat. “Hah? Bukannya dulu katanya mereka udah mau pindah kerja ke sini?”

Tono mengangguk pelan. “Iya, awalnya begitu. Tapi proyek kerjaan di negeri padang pasir diperpanjang. Bahkan Mama kayaknya mau tetap tinggal di sana karena ada kesempatan sekolah lanjutan. Jadi mungkin… aku dan adik-adik bakal tetap di sini sampai SMA.”

Dipo terdiam sejenak. Ia tahu betul betapa Tono merindukan keluarganya. Setiap cerita tentang ibunya selalu penuh semangat, dan tentang ayahnya selalu dengan kagum.

“Aku kira… tahun ini bakal kumpul lagi. Udah bayangin makan malam bareng, jalan-jalan, cerita bareng. Tapi ya gitu…”

Tono tertunduk. Dipo memegang bahu sahabatnya. “Ton, denger ya. Mereka emang gak pulang sekarang, tapi mereka tetap sayang sama kamu. Dan kamu gak sendiri. Kamu punya kakek-nenek, adik-adik… dan gue. Kalo lu jatuh, gue bantu angkat.”

Tono menatap Dipo dengan mata berkaca-kaca, tapi senyumnya mulai kembali. “Makasih ya, Dip. Kadang, kamu kayak abang juga sih… walau agak bawel.”

Mereka tertawa kecil.

Beberapa minggu kemudian, Tono mulai menulis surat rutin untuk orang tuanya, dibantu Dipo. Ia juga mulai aktif mengajar adik-adiknya belajar malam. Meskipun rindu masih sering datang diam-diam, Tono tak lagi menyimpannya sendiri.

Di ruang kelas 7A, saat pelajaran Bahasa Indonesia tentang “cerita keluarga”, Tono menulis esai berjudul: “Keluarga yang Tak Satu Atap, Tapi Satu Hati.”
Dan saat dibacakan di depan kelas, semua terdiam. Termasuk Dipo—yang tahu, di balik kata-kata itu, ada keberanian yang tidak semua orang punya.

*

Setelah masa-masa berat yang dilalui Tono, suasana sekolah sempat tenang dan damai. Namun kedamaian itu tak berlangsung lama. Awal semester genap membawa satu wajah baru ke SMPN 9 Yogyaraya: seorang siswa pindahan dari luar kota, bernama Candodik.

Candodik, anak tinggi besar dengan suara berat dan tatapan tajam. Ia duduk di kelas 8B, tapi keberadaannya segera terasa di seluruh sekolah. Dalam seminggu, sudah banyak cerita beredar tentangnya: pernah dikeluarkan dari dua sekolah karena perkelahian, suka mengintimidasi, dan… katanya pernah membuat seorang siswa pingsan hanya karena tersenggol. Dipo dan Tono awalnya tidak terlalu peduli. Tapi semua berubah saat Candodik mulai mendekati beberapa siswa kelas 7, termasuk teman-teman mereka.

Suatu hari, Nia terlihat gelisah saat pulang sekolah. Dipo yang melihatnya bertanya, “Kenapa, Nia?”

“Ada anak kelas 8… Candodik. Dia maksa pinjam uang. Katanya buat bayar ongkos, tapi tiap hari dia minta. Kalau gak dikasih, dia mulai ngejek-ngejek,” jawab Nia dengan suara pelan.

Tono mengepalkan tangan. “Mulai lagi. Kayak waktu anak-anak kelas 8 yang dulu.”

Keesokan harinya, Candodik mulai mendekati Miguel, anak yang dulu pernah dibully. Dipo dan Tono tak tinggal diam.
“Hei, Candodik, kamu nak apa sama Miguel?” tanya Dipo di depan kelas.

Candodik menyeringai. “Kula cuma ngobrol santai, kenapa? Kowe dadi bodyguard sekolah, ya?”

Tono maju, suaranya tenang, “Kalau ngobrol santai, gak usah bikin orang lain takut.”

Candodik mendekat, kini hanya beberapa jengkal dari Tono. “Situ dua bocah karate-silat itu ya? Denger ya, kula meniku mboten kayak anak-anak 8 yang dulu. Kulo mboten takut sama njenengan berdua.”

“Asem, sok berbahasa jawa dia, Ton,” kata dipo.

“Lah, kita juga jawa, Dip,” jawab Tono.

“Iya, ya…” ucap Dipo.

Sejak saat itu, Candodik tak hanya jadi ancaman buat siswa lain, tapi juga punya dendam pribadi dengan Dipo dan Tono. Ia mulai menyebar kabar buruk, memprovokasi siswa kelas atas untuk menjauhi dua sahabat itu. Bahkan, ia diam-diam mulai mengadu ke guru bahwa Dipo dan Tono sering membuat keributan secara diam-diam.

Situasi makin rumit ketika suatu hari, alat olahraga hilang dari gudang, dan Candodik mengatakan bahwa ia melihat Dipo terakhir keluar dari gudang. Bukti tidak kuat, tapi nama baik Dipo mulai goyah.
Tono tahu, kali ini lawan mereka lebih licik. Bukan hanya tangan, tapi juga pikiran dan siasat. Dan untuk menghadapinya, mereka tak cukup hanya dengan bela diri tapi harus dengan strategi, keberanian, dan bantuan teman-teman yang percaya pada mereka.

*

Hari itu langit Yogyaraya mendung, seakan tahu ada badai yang akan datang bukan dari awan, tapi dari dalam sekolah.

Sudah sebulan lebih Candodik menyebarkan fitnah. Nama Dipo mulai tercemar, Tono mulai dijauhi sebagian teman. Guru-guru mulai ragu, dan bahkan Pak Eko, wali kelas mereka, mulai sering memanggil keduanya untuk memberi “peringatan”.

Puncaknya terjadi hari Jumat sore. Alat-alat ekskul kembali hilang dan kali ini, Candodik “menemukan” jaket karate Dipo tertinggal di ruang gudang.

“Saya yakin itu jaket Dipo, Pak. Saya lihat dia dekat-dekat ruang gudang sebelum latihan,” kata Candodik di depan Pak Fikri dan Bu Tini.
Tono yang mendengar langsung mendobrak masuk ruang guru. “Itu fitnah pak! Saya bareng Dipo selama latihan, gak ada dia ke gudang!”

Candodik menyeringai kecil. “Jadi kamu juga bohong ya, Tono?”

Pak Fikri mencoba menenangkan, tapi suasana sudah panas.

Setelah pulang sekolah, Dipo dan Tono mendapat pesan dari Candodik lewat Miguel. “Kalau kalian memang lanang, ketemu di lapangan belakang jam lima. Kita selesaikan semuanya. Jangan bawa guru.”

Dan mereka datang.

Lapangan belakang kosong dan sepi, hanya suara angin dan langkah kaki. Candodik sudah menunggu, bersama dua temannya. Tapi Dipo dan Tono datang tak sendiri beberapa teman kelas 7 ikut hadir, diam-diam ingin menyaksikan.

“Kalian pikir bisa bersih nama kalian? Di sekolah ini, yang kuat yang berkuasa!” teriak Candodik.

Dipo maju. “Ndasmu! Kami gak butuh kuasa. Kami cuma butuh kebenaran.”

Pertarungan lalu pecah.

Candodik menyerang duluan, cepat dan brutal. Gerakannya tidak rapi, tapi keras. Dipo menangkis pukulan pertama, sementara Tono menahan dua anak lainnya. Perkelahian itu bukan sembarangan. Ini bukan adu jagoan, ini soal harga diri, nama baik, dan keadilan.

Candodik berhasil mendorong Dipo hingga jatuh. Tapi saat ia akan memukul lagi, Tono melompat dan menahan tangannya.
“Cukup Candodik! Kalau kamu mau menang, menanglah dengan jujur. Jangan pakai tipu tipu!”

“Diam kamu! Kalian cuma dua bocah sok pahlawan!!”
Tapi saat itu, terdengar suara gemerisik dari belakang semak-semak. Beberapa siswa dari kelas 9 yang juga sudah muak dengan kelakuan Candodik, merekam semuanya. Salah satunya segera berlari ke ruang guru.

Beberapa menit kemudian, Pak Fikri, Bu Tini, dan Pak Ali datang dengan wajah tegas. “Hentikan semua!”

Candodik masih berusaha melawan, tapi tak bisa. Buktinya sudah jelas. Rekaman, saksi, dan pengakuan dari teman-temannya sendiri yang mulai lelah dijadikan alat.
Akhirnya, Candodik dikeluarkan dari sekolah. Tapi sebelum pergi, ia sempat menatap Dipo dan Tono, kali ini tanpa senyum licik.

“Kulo benci kalian… tapi kalian bener.”

Senin pagi berikutnya, suasana sekolah berubah. Guru-guru meminta maaf karena terlalu cepat percaya pada tuduhan. Teman-teman kelas 7 kembali mengangkat Dipo dan Tono sebagai panutan.

Bagi mereka, kemenangan kali ini bukan soal pertarungan fisik tapi keberanian untuk berdiri tegak meski dibenci, dan bertahan meski difitnah.

Dipo dan Tono duduk lagi di bawah pohon mangga.

“Ton,” kata Dipo pelan, “Ku rasa… ini pertarungan kita yang paling berat.”

Tono tersenyum, “Iya, tapi yang bikin kita kuat bukan karena karate atau silat.”

“Apa dong?”

“Karena kita gak ninggalin satu sama lain.”

“Jeg menyala wi, Toni nih bos, senggol dong!”

Mereka saling tos.

Dan angin sore berhembus pelan, seolah memberi tepuk tangan untuk dua sahabat yang tak pernah menyerah.

*

Semester baru, suasana baru. Setelah semua konflik dengan Candodik berakhir dan ketenangan kembali hadir di SMPN 9 Yogyaraya, Dipo dan Tono mulai membuka diri untuk lebih banyak berteman.

Di kelas 8A, muncul siswa pindahan dari kota Seberang, namanya cukup unik: Wiwok De Tok, tapi teman-teman mulai memanggilnya cukup dengan Wiwok.

Wiwok cepat akrab dengan semua orang. Pandai bicara, lucu, dan punya kemampuan luar biasa dalam teknologi dan komputer. Bahkan dia bisa merakit robot mini dari barang bekas. Dipo dan Tono terpukau.

“Eh, anaknya lucu ya, pintar pula,” kata Dipo.

“Iya, bisa jadi trio kita nih,” timpal Tono.

Hari demi hari, Wiwok semakin dekat. Mereka bertiga sering kerja kelompok bareng, ikut lomba bareng, bahkan pernah juara tiga lomba cerdas cermat sekolah. Wiwok juga sering membantu guru dengan proyek-proyek teknologi sederhana. Tapi, di balik senyumnya yang ramah, perlahan muncul tanda-tanda ganjil.

Wiwok mulai sering membanggakan dirinya secara berlebihan. Mulai menyindir Dipo dan Tono di depan orang lain dengan kalimat bercanda tapi menusuk, seperti:

“Wah, kalau bukan karena aku, kalian gak bakal menang lomba kemarin.”

Atau, “Latihan bela diri sih bagus, tapi ya otak juga perlu, bro.”

Dipo dan Tono hanya tertawa kaku. Tapi keganjilan berubah jadi luka saat satu kejadian besar terjadi.

Puncak pengkhianatan terjadi. Sekolah mengadakan lomba antar SMP se-kota Yogyaraya dalam bentuk festival sains dan beladiri. Dipo akan tampil dengan demonstrasi karate, Tono dengan pencak silat, dan Wiwok sebagai wakil di kategori teknologi. Mereka bertiga sempat dilatih khusus oleh guru, dan menjadi satu tim andalan sekolah.

Namun sehari sebelum lomba, file presentasi dan komponen robotik Wiwok mendadak rusak. Wiwok panik, lalu dengan wajah marah menuduh:
“Ini pasti kalian yang sabotase, kan?! Kalian iri karena aku yang paling dilatih khusus buat kategori teknologi!”

Dipo terkejut. “Apa? Wiwok, seriusan ngomong begitu? Gak ada yang gangguin apapun punyamu!”

Tono mencoba menenangkan, “Wi, gak gitu. Kita satu tim…”

“KAGAK ADA TIM! Kalian cuma numpang nama di balik kepintaranku!” Wiwok berteriak, lalu keluar dari ruang latihan.

Malamnya, Dipo dan Tono tahu dari grup sekolah, bahwa Wiwok mengirim email ke panitia lomba dengan tuduhan bahwa Dipo dan Tono melakukan sabotase. Lebih parahnya lagi Wiwok juga mengirim rekaman editan, seolah-olah Dipo memasuki ruang lab malam hari.

Nama baik mereka langsung jatuh.

Guru-guru memanggil mereka. Mereka dilarang ikut lomba, dan digantikan oleh tim cadangan. Dipo dan Tono duduk diam di sudut sekolah, kecewa, marah, dan bingung.

“Kita dihina, Ton,” kata Dipo sambil menatap ke bawah.
Tono mengangguk pelan, “Kita udah pernah lawan preman, penindas, bahkan fitnah… tapi ini… dari orang yang kita anggap saudara.”

Namun mereka tidak tinggal diam. Mereka mulai mengumpulkan bukti. Dengan bantuan Miguel yang diam-diam ahli komputer, serta Nia yang mencurigai gerak-gerik Wiwok, mereka menemukan rekaman asli CCTV sekolah yang membuktikan bahwa Dipo dan Tono tidak pernah menyentuh ruang lab malam itu. Bahkan Wiwok sendiri terlihat sedang mengotak-atik komponennya dengan sembrono dan merusak alatnya sendiri karena kesalahan teknis.
Bukti itu dikirim ke kepala sekolah dan panitia lomba.

Pembalasan yang jujur terjadi di lapangan upacara. Kepala Sekolah memberi pengumuman: “Tuduhan terhadap Dipo dan Tono tidak benar. Bukti rekaman menunjukkan bahwa justru Wiwok yang bertindak tidak jujur. Dengan ini, Wiwok dikeluarkan dari tim lomba dan mendapat skorsing satu bulan.”

Wiwok hanya menunduk diam. Semua tatapan murid tertuju padanya yang dulu bersinar, kini redup.
Usai upacara, Wiwok menghampiri Dipo dan Tono.
“Aku… aku cuma gak mau dianggap bayangan kalian.”

Tono menatapnya, tenang. “Kami gak pernah anggap kamu bayangan. Kamu sendiri yang lari dari cahaya.”

Dipo menambahkan, “Kalau dari awal kita jujur, kita bisa saling bantu. Tapi kamu pilih jadi musuh dari orang yang paling peduli.”

Wiwok pergi tanpa kata.
Dan meski hati mereka terluka, Dipo dan Tono tahu: persahabatan bukan soal seberapa sering tertawa bareng, tapi seberapa kuat bertahan saat diuji.

*

Tahun ajaran berganti. Dipo dan Tono kini duduk di kelas 8. Mereka bukan hanya dikenal sebagai murid pemberani, tapi juga pemersatu.
Miguel kini menjadi ketua kelas. Guru-guru sering mengandalkan Dipo dan Tono dalam acara penting. Suasana sekolah lebih rukun. Tak ada lagi Candodik, dan Wiwok pun pindah sekolah.

Suatu sore di halte Transraya, Dipo berkata, “Ton, banyak yang berubah ya.”

Tono tersenyum, “Iya. Tapi ada yang nggak berubah. Kita.”

“Bener,” Dipo mengangguk. “Karena selama kita saling jaga, sekolah ini tetap punya harapan.”

“Sampai titik darah terakhir pun, gaada yang bisa menghalangi kita” kata Tono.

“Bahkan satu bumi menghalangi kita dari berteman, tidak akan menggoyahkan sedikitpun.” Jawab dipo.

Dan mereka naik bus, duduk di tempat biasa, dengan keyakinan bahwa persahabatan sejati akan selalu bertahan bahkan saat dunia berubah sekalipun.

*

Baca cerpen Bisma Kalijaga lainnya di sini

Artikel Terkait