Hujan baru saja reda, tiba-tiba Markenyot sudah berada di emperan rumah saya. Segera saya mempersilakan pemuda lugu nan sumeh dari Magelang yang sedang bekerja di Yogya sebagai Konsultan Ngguyu itu untuk masuk.
“Mas, kita punya persoalan besar…” tiba-tiba muka Markenyot tampak serius. Barisan giginya yang biasanya mrojol saka selaning lambe, tampak mendelep.
Sambil saya suguhkan segelas kopi dan keripik gedang kiriman ibu saya dari kampung, saya bertanya, “Masalah apa maneh?”
“Begini, Mas… Mas sadar gak kalau BBM mau naik?”
“Ya sadar…”
“Mas setuju gak kalau BBM naik…”
“Ya nggak setuju.”
“Nah, Mas tahu nggak kenapa gelombang penolakan BBM tidak masif padahal kurang sak-encrit lagi bakal diumumkan…”
Saya takjub oleh gelombang pertanyaan Markenyot yang saya amat-amati mulai dimirip-miripkan di acara Kick Andy. Saya menggelengkan kepala, selain memang tidak tahu apa jawaban pertanyaan itu juga sekaligus penasaran apa yang akan diungkapkan lagi oleh penulis buku yang sepintas tampilannya mirip vokalis d’Massive itu.
“Begini, Mas…” lanjut Markenyot seusai menyeruput kopi. Tangannya ngranggeh keripik gedang lalu nglethusi dengan suara yang indah secara akustik. Saya kadang heran, ada orang-orang tertentu yang kalau makan sesuatu yang serbakemeripik, mulut orang tersebut berubah jadi ruang yang bagus secara akustik. Termasuk mulut Markenyot.
“Mas tahu enggak berapa harga bensin seliter sekarang…”
Saya njumbul. Kaget. Mungkin muka saya memerah. Saya berpikir keras, mencoba mengingat-ingat: 8.000? Eh, 8.500? Eh kayaknya 9.000… Aduh, blaik! Saya mau ngranggeh hape untuk browsing harga bensin seliter, tapi mulut Markenyot sudah njeplak lagi, “Nah kan enggak tahu… Lha wong harga bensin seliter saja tidak tahu kok mau memperjuangkan kehidupan rakyat…”
Saya mau nggrundel tapi tidak punya alasan.
“Mas tahu enggak, kenapa tidak tahu harga bensin seliter padahal kan setiap minggu pasti beli bensin?”
Saya mulai berpikir. Lalu dengan masih dongkol menjawab, “Anu, Nyot… aku kalau beli bensin untuk vespaku langsung 20.000. Tiap mau habis ya ke pom bensin lagi, ngisi lagi 20.000. Makanya lupa berapa harga bensin seliter.”
“Nah, ini persoalan bangsa kita, Mas!”
Juamput, batin saya. Clekopan Markenyot membuat saya teringat Pak Harmoko.
“Sekarang hampir semua orang kalau ngisi bensin sudah tidak pakai lagi ukuran liter, tapi pakai ukuran uang. Kalau sepeda motor ya: 10.000, 15.000 atau 20.000. Kalau mobil ya rata-rata ngisi kalau tidak 50.000 ya 100.000.”
Saya mulai manthuk-manthuk tanda setuju walaupun belum tahu arah pembicaraan Markenyot ke mana.
“Kalau misalnya harga bensin dinaikkan 500 atau 1.000 atau 1.500, yang biasanya beli 10.000 ya akan tetap beli 10.000, begitu juga yang 20.000.”
“Tapi mereka kan akan tetap merasakannya, misalnya biasanya 3 hari baru habis, setelah BBM naik, dua hari sudah habis.”
“Kalau logika kayak gitu, bebek juga tahu, Mas!”
Jindul, batin saya. Tapi saya tetap penasaran.
“Secara psikologis, itu berpengaruh terhadap gaya berpikir kelas menengah kita, Mas. Karena uang yang dikeluarkan sama.”
“Gayamu, Nyot!”
“Lho enggak percaya… Berapa harga sebungkus indomie goreng kesukaan Mas?”
Saya hampir menjawab, tapi daripada salah, saya menggelengkan kepala. Tidak tahu.
“Berapa harga sebungkus rokok?”
Kembali saya menggelengkan kepala.
“Harga sekilo telor? Sekilo beras?”
Saya kembali menggelengkan kepala.
“Ini persoalan bangsa yang harus segera diselesaikan. Orang tidak sadar harga. Itu belum saya tanya harga cabe merah keriting, lengkuas atau garam dapur lho ya…”
“Coba kamu tanya berapa harga sekaleng bir atau segelas arabika Toraja di Hestek Coffee…”
“Itu tidak saya tanyakan karena Mas bisa jawab… Tapi mari kita berpikir…”
Juancuk memang bocah satu ini… Semenjak bukunya diterbitkan Bentang dan sering nongol di acara-acara televisi, mulai kelihatan lebih pede dalam bicara. Sonte!
“Coba Mas berpikir, bagaimana orang-orang seperti Mas bicara setuju dan tidak setuju soal BBM naik. Ngomong apa mereka? Tahu apa sampeyan soal harga-harga?”
Sikak! Saya hanya diam. Lalu menyeruput kopi. Sambil menyalakan udud, saya sawang wajah Markenyot yang rahangnya naik turun karena nglethusi keripik gedang. Ia tampak lebih ganteng dan kerumat dari pertama kali ketemu.
“Terus aku harus gimana, Nyot…”
“Nah, Mas harus kembali membumi. Mulai sekarang, harus sadar harga. Sehingga kalau nanti nolak-nolak, penolakan itu membumi!”
Saya manggut-manggut.
“Kita mulai dari sekarang, Mas. Sate pertelon yang tongsengnya enak itu berapa harga seporsinya?”
Kembali saya menggelengkan kepala.
“Mari kita cari tahu sekarang, Mas! Kalau tidak sekarang, kapan lagi!”
Saya langsung ambil dompet, ketika nyetater vespa, saat Markenyot sudah nggamblok di boncengan, saya baru sadar kalau sedang ‘diperalat’ untuk nraktir mbadog…