Menurut saya, selalu ada yang sakral pada pilihan hidup seseorang. Termasuk menjadi penulis. Setidaknya, bagi saya.
Cara mengujinya mudah. Kalau datang seseorang, lalu dia memberi uang yang kelewat banyak, misalnya 100 miliar, dan saya diminta untuk tidak pernah menulis lagi, saya pasti akan menolak. Jika datang seseorang, dia memberi saya sebuah kekuasaan yang besar dengan catatan saya tak boleh menulis lagi hingga kelak mati, saya juga akan menolak. Di titik seperti itulah, pilihan laku hidup, profesi, sudah bukan lagi profan. Dan saya yakin hal seperti ini banyak yang masih memegang teguh, entah itu dokter, penari, pelukis, musikus, pengajar, pendamping masyarakat, dll. Kita memang tidak dapat hidup tanpa uang, tapi urusan hidup bukan melulu uang.
Dari akar fundamental seperti itulah, kita menyimpan rasa optimisme pada hidup. Karena turunan dari itu berarti ada yang tak bisa ditransaksikan, bukan melulu jual-beli, kita kenal dedikasi dan integritas.
Banyak orang mengajar dan menjadi tenaga medis di pelosok dan daerah ‘sulit’. Mengarungi bahaya. Tanpa mempertimbangkan apakah bayaran yang diterima sesuai dengan tingkat kesulitan dan marabahaya yang mengintai mereka. Ada penari sepuh yang terus menari, melatih anak-anak, bahkan jika tandon berasnya hampir habis.
Para petani di sekeliling perumahan saya tetap menggarap secuil tanah, mengusir burung-burung, tanpa peduli apakah kelak anak mereka tak bertani lagi. Mereka tak mau menjual tanah walaupun dengan bujuk rayu yang menggiurkan. “Kalau tanah ini saya jual, apa yang saya kerjakan sehari-hari?” Begitu kira-kira pertanyaan mereka.
Pilihan profesi yang bukan semata urusan materi inilah yang membentuk dan menempa menjadi pribadi yang kukuh. Punya karakter. Berkepribadian.
Omong kosong kalau penulis tidak butuh uang. Tapi jangan diperpanjang menjadi bualan yang berlebihan. Penulis butuh uang untuk hidup, hidup dibutuhkan untuk menulis. Sederhana tapi fundamental.