Wabah politik baper terlalu cepat menyerang negeri ini. Sebetulnya ini mirip dengan sikap baper kita di kehidupan sehari-hari.
Anggap saja ada teman atau rekan sekantor Anda melakukan kekeliruan, atau hal yang tidak Anda setujui, lalu semua hal yang dilakukannya akan salah di mata kita. Misalnya dia terlambat ngantor, tapi suatu saat si teman mempresentasikan gagasannya yang keren, maka yang terbayang pertama kali bukan proposal gagasannya melainkan keterlambatan dia. Itu baper.
Dalam politik juga kerap demikian. Misal Presiden atau Gubernur atau Bupati punya kebijakan yang kita tentang, lalu di sisi lain mereka membuat kebijakan yang bagus, hal yang paling utama terlihat adalah kekeliruannya.
Dalam konteks perjuangan masyarakat sipil di era demokrasi liberal, adalah era mendorong, mendukung, memperluas semua agenda pemerintah (di level manapun) yang pro-keadilan dan kessjahteraan. Serta mengkritik secara konsisten kebijakan yang tidak menyalahi atau melenceng.
Artinya apa? Ada kesadaran bahwa tidak mungkin memenangkan semua. Berpolitik yang rasional adalah menjauhi kemerosotan mental prinsip: modal cekak mau menang banyak. Jelas itu tidak mungkin.
Maka kalau pemerintah di level manapun membuat kebijakan A yang berguna bagi masyarakat, sementara kebijakan B melenceng dari itu, logikanya: Dukung A tolak B.
Belakangan ini yang sering terjadi: kebijakan A tetap salah karena pemerintah membuat kebijakan B.
Saya kasih contoh. Pemerintah katakanlah keliru dengan kebijakan reklamasi. Tapi tepat untuk kebijakan dana desa. Maka logika politiknya: Dukung dana desa, kritik reklamasi. Bukan: dana desa salah karena kebijakan itu berasal dari pemerintahan yang sama yang membuat kebijakan reklamasi.
Masyarakat sipil tahu kapan dia mengkritik dan tahu kapan memberikan apresiasi. Terlebih di sebuah negeri yang kebanyakan organisasi pergerakannya beranggota tak lebih besar dari jumlah murid sekolah SD kelas 1 di sebuah kecamatan di kabupaten Tuban.
Selamat merayakan Natal.