Semalam ada pesta. Saya kebetulan tidur agak cepat. Ketika bangun, banyak sms, wasap dan mensyenan di twiter, yang memberi kabar Agus Mulyadi nongol di acara “Bukan Empat Mata”.
Saya tidak terlalu heran karena beberapa hari sebelumnya, Mulyadi sudah ngabari. Cuma dia tidak bisa secara spesifik menyebut kapan akan ditayangkan. Jadi sebetulnya dia juga menunggu-nunggu sambil mengeringkan untu.
Tentu yang tidak bisa saya bayangkan adalah bagaimana respons orang-orang di kampungnya. Mulyadi tidak sekali ini saja masuk teve. Sudah berkali-kali. Dan bayangkan, orang-orang kampungnya yang semula hanya tahu laki-laki mungil, pemalu, dan jarang keluar rumah ini, tiba-tiba nongol di teve.
Geger. Pak RT bangga. Pak Dukuh takjubnya tidak selesai-selesai. Pak Lurah mencari-cari momentum agar bisa menghadirkan Mulyadi di kantor kelurahan. Para calon bupati dan walikota Magelang mulai memasang radar tentang Mulyadi supaya bisa dijadikan tim sukses.
Setiap Mulyadi keluar rumah untuk beli Indomie goreng dan Torabika Moka kesukaannya, para tetangga yang bertemu langsung ngajak salaman. Ibu-ibu yang mengandung langsung mengelus perut mereka dan berdoa, semoga anaknya tidak sama muka tapi bernasib sama dengan lelaki yang sudah menulis dua buku ini.
Bapak-bapak yang semula khawatir kalau anaknya dilirik Mulyadi, sekarang mereka mengharapkan Mulyadi berkunjung ke rumah mereka. Di bayangan mereka, Mulyadi adalah Sang Pelanjut Tukul Arwana atau Sule. Mereka membayangkan punya menantu yang terkenal dan kaya-raya macam mereka berdua.
Mulyadi mungkin akan sampai ke sana. Bahkan lebih. Tapi sebagai orang yang sudah cukup bahagia jika dianggap temannya, saya akan berkisah sedikit soal dia.
Pemilu tahun lalu, Mulyadi banyak mendapatkan suara miring. Tidak jarang dia di-unfriend dan di-unfollow di media sosial. Apa pasalnya? Terang-terangan dia nyoblos PKS. Bagi sebagian orang, entah kenapa, nyoblos PKS saja dianggap persoalan. Tapi Mulyadi rileks. Semua itu tidak ada apa-apa dibanding penderitaan jomblonya.
Suatu kali Mulyadi pernah saya tanya, kenapa dia nyoblos PKS. Alasannya sederhana. Begitu lulus SMA, Mulyadi tidak bisa melanjutkan kuliah karena alasan ekonomi. Dia kemudian sangat tertarik belajar komputer tapi juga tidak punya uang. Akhirnya ada tetangganya yang baik hati, yang memfasilitasi Mulyadi belajar komputer. Hingga dia membuat geger dengan ketrampilannya itu saat membuka jasa edit foto. Jadi bukan menulis yang pertama kali membuat namanya melambung, melainkan membuka jasa edit foto. Si Tetangganya ini kemudian nyaleg dari PKS. “Jadi apa yang salah, Mas?” tanya Mulyadi saat itu.
Ya tidak ada yang salah. Politik yang paling realistis dan bermoral justru yang dilakukan Mulyadi. Dia tahu cara mengungkapkan terimakasih dan mengalami sendiri hubungan dengan caleg yang dipilihnya. Dia tidak perlu menerima sogokan amplop.
Ketika pemilu presiden tiba, saya beranggapan Mulyadi milih Prabowo. Ternyata tidak. Dia milih Jokowi. “Lho kok kamu gak milih Prabowo, Mul?” tanya saya waktu itu.
“Lho kenapa saya harus milih Prabowo?”
“Kan PKS mendukung Prabowo?”
“Aku kan bukan anggota PKS. Lagian ini kan pemilu presiden. Tidak ada hubungannya caleg-ku dulu. Kamu lulusan Filsafat kok goblok to, Mas? Mikir gitu saja gak bisa.”
Bajindul…
“Lha kenapa kamu milih Jokowi daripada Prabowo. Kan sama-sama gak kenal?”
“Nah, rumangsaku, Jokowi itu lebih merakyat, Mas. Aku kan bagian dari rakyat kecil. Aku suka.”
Sudah. Sesederhana itu dan tidak ndakik-ndakik. Nah ketika Jokowi mulai dianggap tidak pro-rakyat kecil, Mulyadi getol mengkritik. Pernah saya tanya kenapa begitu? Jawabannya juga membuat saya terdiam. “Mas, aku ikut memilih dia. Kalau ada apa-apa dan aku mendiamkannya, aku ikut berdosa!”
Warbyasa. Benar-benar tanggungjawab politiknya nyata. Sekalipun hanya sebatas ikut memilih. Saya tidak yakin kesadaran semacam ini banyak dialami oleh pemilih Jokowi yang lain. Pemilih yang bertanggungjawab.
Beberapa saat yang lalu, banyak kawan Mulyadi yang khawatir karena dia belajar mengaji dari aliran agama tertentu yang dianggap ekstrem. Kembali, ketika ada kesempatan, saya mencoba mendialogkan hal tersebut.
“Mul, kamu ngaji ya?”
“Iya, Mas. Di langgar dekat rumah. Aku pengen lancar baca Al-quran, Mas…”
“Benar ya, yang mengajar mengaji itu dari golongan ekstrem?”
“Nah itu masalahnya, Mas. Orang-orang sering protes aku belajar mengaji dari orang-orang seperti itu. Tapi mereka tidak mau mengajari mengaji. Bagi orang-orang kampungku, siapapun mereka asal mau mengajari mengaji ya kami terima. Mbok Mas Puthut kasih tahu ke orang-orang sok kritis itu, jawab persoalan kamo. Jangan cuma bisa marah-marah. Mau enggak mereka terjun ke masyarakat? Jangan cuma cuap-cuap di twiter dan fesbuk!”
Saya manggut-manggut. Sejauh ini, apapun yang keluar dari mulut Mulyadi masuk akal. Politik adalah soal apa yang dihadapi sehari-hari olehnya. Tidak politik yang muluk dan mengernyit. Cukup politik ndangdutan. Politik yang selalu terdengar dari radio sehari-hari, enak didendangkan, enak dipakai berjoget. Mau lagunya sedih mau gembira, bisa dipakai untuk goyang.
Justru politik macam ini yang mungkin akan menyelamatkan Indonesia.