Waktu masih TK, saya benci potong rambut. Sehingga saya sering lari jika mau dibawa ke tukang cukur rambut. Bapak saya perlu kreativitas ekstra untuk membujuk saya potong rambut. Mulai dari membelikan mainan sampai kesiapan untuk mengisahkan dongeng baru sebelum tidur.
Bapak saya orangnya rapi. Setiap mau berangkat sekolah, saya didudukkan di depan cermin, lalu diberi minyak rambut merk “Brisk”, kemudian dengan hati-hati disisir belah pinggir. “Biar besok pintar seperti Pak Harmoko.”
Harmoko adalah Menteri Penerangan kala itu yang paling kerap muncul di teve, memberi keterangan tentang apa saja, terutama pemutakhiran harga-harga pangan. “Pak Harmoko juga suka makan tempe,” kata bapak saya. Walhasil selain ikan laut, tempe adalah menu wajib keluarga kami. Sampai sekarang, saya penyuka tempe. Bapak saya berpindah “idola” ketika era Reformasi. Di era ketika ia waswas dengan aktivitas saya, bapak saya berhenti kagum kepada Harmoko dan berpindah kagum ke Amien Rais.
Ibu saya beda lagi. Dia punya pandangan agak ganjil tentang penampilan orang. Dia tidak pernah suka gaya yang necis. Ketika teman-teman sebaya saya sibuk bagaimana menghapus jerawat dari wajah mereka, ibu saya malah bilang: Laki-laki tanpa bekas jerawat tidak keren. Akhirnya saya tidak ikut-ikutan teman-teman saya. Ibu saya pengagum Sukarno. Konon mendiang kakek saya pengikut Sukarno. Dalam hal potongan rambut saya, dia berbeda dengan bapak saya.
Maka pembangkangan saya yang pertama kepada bapak saya adalah mengubah model rambut Harmoko-nya menjadi belah tengah. Itu saya lakukan mungkin kelas 5 SD. Tidak lama kemudian, era rambut Lupus muncul. Terus menerus sampai saya remaja: rambut model Samsul Bahri di sinetron Siti Nurbaya, lalu model rambut Hongkong seperti bintang-bintang film Hongkong.
Saya mengikuti itu semua, tapi sudah tidak pernah lagi ke tukang cukur rambut. Kepala saya cukup diberi sentuhan oleh kakak sepupu saya atau teman-teman lain yang bisa memotong rambut. Tapi obsesi saya adalah berambut gondrong seperti Heydi, sang vokalis Power Slave. Saya pengagum beliau sejak SMA sekalipun saat itu Power Slave belum mengeluarkan album. Saya pernah dihukum guru SMA saya untuk cukur rambut. Hampir semua teman laki-laki saya satu kelas kompak. Kami semua potong gundul pelontos sebagai bentuk protes. Akhirnya kembali kami dipanggil guru BP. Saat ditanya kenapa kok pelontos, saya jawab: katanya disuruh potong rambut? Waktu ditanya kenapa pelontosnya massal, apakah itu bentuk pembangkangan? Saya cuma jawab: ini hanya kebetulan karena tidak janjian. Guru BP tidak percaya. Tapi dia tidak bisa membuktikan apa-apa.
Begitu kuliah, saya berambut gondrong. Pernah sampai sepunggung. Tapi kemudian saya potong pendek gara-gara kutuan. Maklum zaman “ngaktivis” kan tidur gak jelas, keramas gak jelas. Sayang, saya tidak punya dokumentasi ketika berambut gondrong. Sehingga saya tidak bisa nggaya memajang foto berambut gondrong di Fesbuk.
Selebihnya sampai sekarang saya suka rambut pendek. Sederhana saja alasannya: kalau keramas tidak ribet dan tidak perlu sisiran. Hal itu memang membuat saya sedikit repot. Tiga bulan sekali harus menyempatkan diri cukur rambut. Ada beberapa kegiatan manusia keseharian yang bikin saya sering tertawa sendiri: bercermin dan sisiran. Maka ketika cukur rambut, saya geli sendiri karena di depan saya ada cermin besar sekali. Jadi saya bercermin juga tiga bulan sekali. Cukur kumis dan jenggot pun saya jarang bercermin.
Semalam saya mengalami hal yang membahagiakan. Istri saya dan Si Kali mengantar saya untuk cukur rambut karena rambut saya mulai butuh disisir kalau tidak bakal njebobok. Padahal saya paling tidak suka sisiran. Akhirnya datanglah kami ke salon rambut. Tukang cukur yang bertanya model apa, cukup saya jawab: pendek dan simpel.
Ketika tukang cukur mulai memotong rambut saya, Kali menjerit-jerit ke arah ibunya. Saya menoleh memperhatikan mereka berdua. Rupanya Kali minta potong rambut seperti saya. Ibunya mengambil keputusan cepat, meminta Kali juga dipotong.
Akhirnya kami, bapak-anak ini, duduk bersebelahan. Sama-sama potong rambut. Ada yang basah di hati saya ketika melirik cermin Kali dan cermin saya. Semacam perasaan: anak saya mulai tumbuh besar, dan betapa makin tuanya saya. Termasuk betapa besarnya rahmat untuk saya…
Model rambut Kali memang eksperimen ibunya dan saya. Sama seperti apa yang dilakukan bapak saya kepada saya dulu. Bedanya cuma saya tidak bilang supaya Kali mirip Harmoko.
Ada teman saya yang potongan rambutnya dari saya kenal 10 tahun yang lalu sampai sekarang tidak pernah berubah. Potongannya simpel dan pendek. Rapi. Tapi juga tidak pernah saya lihat dia menyisir rambut. Namanya Bilven Sandalista. Potongan rambut model Bilven itulah yang kerap disebut “potongan tidak punya pacar”.