Saya punya banyak teman jurumasak andal. Teman saya juga banyak hobi memangsa makanan tertentu. Tapi untuk soal pecel, saya hanya percaya pada lidah Pak Ong Hari Wahyu.
Kelahiran Madiun dan besar di Malang, membuat lidahnya pantas disemati gelar Profesor Pecel. Memang makan pecel tidak sama seperti makanan lain misalnya kambing, bakso, ayam panggang dll. Hanya orang dengan tingkat makrifat lidah tinggi yang bisa menghayati seni menikmati pecel.
Pak Ong mungkin satu-satunya orang yang saya kenal, yang tahu kondisi perpecelan dari mulai Sleman sampai Bantul, dari Gunung Kidul sampai Kulon Progo. Dan biasanya untuk berburu pecel, dia hanya mau sendirian. “Pecel bukan jenis makanan yang enak disantap rame-rame seperti tongseng atau bakmi.” sabdanya soal pecel.
Dia sering memberitahu saya pecel di dekat rumah saya. Bayangkan, dia tinggal di Nitipratan, memberitahu saya yang kebetulan juga mendalami dunia perpecelan (sekalipun tidak sekaliber beliau), sebuah warung pecel di dekat rumah saya yang saya tidak tahu. “Pertigaan nggonmu kae ngalor sithik, ana pom bensin ta. Lha seberange ana dalan cilik, terus belok kanan. Ya wis kono iki. Ueeenaak, pecele!”
Saya juga sering memberi rekomendasi dia warung pecel. Ada pecel kaki lima Pak Endro. Baru bukak dua hari, saya sudah mecel di sana. Di depan Superindo Jakal. Sekarang telat dikit sudah habis. Lalu ada Pak Bari. Pak Bari ini mantan jurumasak pecel Bu Wiryo. Jadi berbeda dengan Pak Endro yang pecelnya gagrak Madiun. Pecel Pak Bari bergagrak Mataraman. Letaknya di seberang gapura Babadan Baru Jakal km 7. Saya makan di sana sehari persis pas dia buka. Sekarang juga harus empet-empetan kalau ngantre.
Nah, sekarang ini, saya mau merekomendasikan pecel yang agak ganjil. Letaknya di ruas jalan kecil yang menghubungkan antara Jalan Damai dengan Jalan Kapten Hariyadi. Berarti jalan kecil. Sudah begitu, warungnya juga sangat kecil. Saya tidak merekomendasikan Anda ke sana dengan naik mobil. Parkirnya susah. Dan saya juga tidak merekomendasikan Anda makan di tempat. Untuk 5 orang saja, warung itu sudah sesak. Lebih baik dibungkus saja.
Warung ini hanya menjual tiga menu: pecel, tahu tek, dan rujak cingur. Saya hanya mau membahas pecelnya saja. Karena pecel ini istimewa. Terenak dari yang enak.
Hanya saja ada keganjilannya. Porsi pecelnya sedikit sekali. Nasinya mungkin hanya sekepal kalau dimakan bersama pecelnya mungkin hanya beberapa sendok saja. Dan penyajiannya unik. Pecel itu hanya dikasih satu iris tempe dan remukan peyek teri di atasnya. Sudah.
Anda bisa menambah lauk lain tentu saja. Tapi itu tidak disarankan penjualnya. “Mas, saya lihat kok Sampeyan suka sekali dengan pecel… Kalau boleh saya sarankan, makan pecel itu jangan ditambahi lauk lain seperti ayam, telor, empal, dll. Cukup seiris tempe dan remekan peyek.”
Lhadalah, ini penjual aneh. Lauk jualannya mau dibeli banyak malah memberi saran begitu. “Kenapa, Pak?” tanya saya penasaran.
“Kalau Sampeyan makan dengan telor, ayam, empal dll, yang enak lauknya. Bukan pecelnya. Lha kalau untuk orang yang gak suka pecel ya gak apa-apa. Kalau penyuka pecel kayak sampeyan, lawaran saja, Mas. Enak atau tidaknya pecel ya dengan cara itu.”
Pecel saya bungkus. Benar. Inilah pecel sundul langit. Begitu kita kunyah, sensasi enaknya menembus angkasa. Saya sudah mencoba empat kali dan rasanya stabil. Enak sekali.
Saya ingin sekali merekomendasikan Profesor Pecel. Tapi nanti dikira saya orang pelit. “Ngirimi pecel kok mung lawuh tempe karo remukan peyek… Aku ki priyayi je…”
Tapi ya mau gimana lagi. Memang enaknya begitu. Kalau makan pecel dengan lauk ayam goremg terasa enak, jangan-jangan sebetulnya yang enak ayam gorengnya. Bukan pecelnya.